REVIEW - ONE NIGHT STAND

Tidak ada komentar

Obrolan adalah aktivitas yang istimewa. Darinya, sengaja atau tidak, dua atau lebih individu saling membuka diri. Membuka pintu bagi sang lawan, atau sekadar lubang kecil untuk mengintip ruang personalnya. Di ranah percintaan, bagi saya obrolan adalah hal paling romantis, yang bisa membentuk ikatan, bahkan dalam waktu singkat. 

Itulah mengapa, film-film seperti One Night Stand yang dibangun lewat obrolan, jauh lebih romantis ketimbang tontonan berisi luapan cinta besar-besaran. Obrolan itu terjadi antara Ara (Jourdy Pranata) dan Lea (Putri Marino), yang baru pertama bertemu ketika Ara datang ke Yogyakarta, guna menghadiri pemakaman istri Rendra (Tegar Satria), guru melukisnya semasa kecil. 

Sepanjang hari, keduanya bicara, bicara, dan bicara. Bicara di pemakaman (perlambang akhir kehidupan), bicara di sebuah pernikahan (perlambang awal hidup baru). Ara mengaku ingin pergi dari rutinitasnya, mencari kebebasan yang tak pernah dirasakan. Lea, yang akibat trauma sewaktu kecil kehilangan kemampuan menangis, mungkin sebaliknya. Kebebasan itu telah didapat, dan kini waktunya ia mencari jalan pulang. 

Terjadilah dinamika. Satu individu meraba masa depan, satu individu coba berdamai dengan masa lalu. Disutradarai sekaligus ditulis naskahnya oleh Adriyanto Dewo (Tabula Rasa, Mudik), One Night Stand mengalir mulus, berpindah dari satu persinggahan ke persinggahan lain seolah tanpa hambatan. 

Adriyanto piawai menggulirkan kisah, walau agak terlalu bergantung pada tuntutan berpesan. Mayoritas pembicaraan berisi hal-hal yang mengarah langsung pada pesan (dan tema). Mereka membicarakan trauma, cinta, kebebasan. Bukan kekeliruan, namun drama berbasis dialog justru lebih kuat, bila tujuan hadirnya obrolan adalah untuk mengolah karakter, alih-alih pesan atau tema.

Simak trilogi Before (bukan bermaksud membandingkan, namun apa artinya memberi contoh jika bukan dari yang terbaik?). Linklater banyak membahas hal-hal yang sekilas tak berkaitan dengan cerita utama. Tapi dari obrolan acak tersebut, penonton memahami internal karakternya. Apa prinsip hidup mereka? Ideologi apa yang mereka anut? Jika saling jatuh cinta, perihal apa yang akan merekatkan dan merenggangkan mereka? 

Di awal perjalanan, Ara dan Lea mendiskusikan tentang kebetulan dan takdir. Ara, sebagai figur yang taat aturan, menganggap semua sendi kehidupan telah ditakdirkan. Sebaliknya, semangat kebebasan Lea membuatnya menganggap segala peristiwa merupakan kebetulan, tanpa terikat suratan apa pun. One Night Stand perlu tambahan interaksi macam itu. 

Tapi apa pun isinya, semua perbincangan di film ini sangat enak diikuti, berkat penghantaran natural, baik di naskah, pengarahan, maupun akting. Saya kerap menemui celetukan-celetukan seperti "nyusul ya" di sela-sela interaksi. Respon kecil seperti itulah yang membangun kesan alamiah film ini, layaknya obrolan sehari-hari. 

Beberapa hari lalu di JAFF, seorang teman melempar pujian kepada Putri Marino. "Nangisnya luar biasa", begitu katanya. Saya setuju. Tangisan Putri memang mudah menular ke penonton. Menariknya, kini ia berperan sebagai wanita yang tidak bisa menangis. Percayalah, menumpuk emosi namun dilarang meneteskan air mata, jauh lebih susah ketimbang bentuk akting yang membebaskan si pelakon menangis sejadi-jadinya. Harus ada kontrol diri yang kuat, sekaligus kecerdikan untuk mengakali agar emosi tetap dapat tersampaikan. Putri punya semuanya, ditambah kemampuan mengisi jeda, supaya ketika sedang absen berdialog, performanya tidak kosong. 

Alhasil kala air mata akhirnya mengalir di akhir, ditemani puisi Perjalanan Pulang karya Joko Pinurbo, serta lagu Sampai Jumpa milik Endank Soekamti, saya juga tidak kuasa menahan tangis melihat dua individu yang meninggalkan "halte" tempat mereka singgah, sebelum melanjutkan perjalanan untuk pulang dan pergi. Indah. 

(Bioskop Online)

Tidak ada komentar :

Comment Page: