REVIEW - TUTUGE

6 komentar

Tutuge jelas salah satu horor Indonesia berdurasi terpanjang. Itu alasan saya tertarik menontonnya. Bukan status "menyabet 7 penghargaan di kancah internasional" sebagaimana tertera di akun Instagram resminya (lewat sedikit riset, anda bakal tahu ada di level mana festival-festival tersebut). Ketika banyak horor kita masih terlampau bergantung pada jump scare dengan cerita tipis, apa yang film ini tuturkan selama 141 menit?

Di Yogyakarta, Tutuge cuma tayang di Empire XXI. Saya menonton di jam terakhir (selesai pukul 21:00), dan kebetulan jalan pulang dari bioskop mesti melewati beberapa area rawan klitih yang belakangan makin marak. Tapi otak saya terlalu penuh oleh pertanyaan sampai tidak sempat merasa khawatir. Pertanyaan berupa, "Bagaimana bisa naskah sementah ini jadi produk final?".

Tentu banyak naskah horor yang jauh lebih buruk ketimbang buatan Virlan W. Langgong (juga bertindak selaku sutradara) ini. Tapi apa yang terlihat di layar lebih seperti draft awal yang dipenuhi hal-hal tak perlu. Obrolan, selipan humor, hingga aktivitas sepele yang semestinya dihapus demi memadatkan penceritaan, masih bertebaran di sana-sini. 

Sejatinya kisah Tutuge amat sederhana. Ameera (Rania Putrisari), seorang penulis novel misteri ternama, berada di Bali guna mencari inspirasi untuk karya terbarunya. Tapi risetnya gagal menemui hasil. Sampai ia bertemu Ketut (Langlang Buana), putera pemilik villa tempatnya menetap, yang mulai membagi beberapa kepercayaan mistis setempat. 

Pertama kali bertemu Ameera, ia sedang berselancar di pantai, dan ada dua informasi yang kita dapat. Pertama pewarnaan gambarnya sungguh menyakiti mata. Virlan yang juga menduduki posisi sinematografer, ingin filmnya tampak artistik. Tapi alih-alih mengkombinasikan penataan cahaya dengan coloring cermat, dia bak asal memasang filter Instagram, tanpa memperhatikan kondisi lokasi dan raw footage. Jauh dari natural. Apalagi ketika matahari bersinar terik di latar outdoor. Rasanya seperti memelototi bohlam dari jarak 10 cm.

Informasi kedua adalah bahwa Ameera seorang indigo. Itu sebabnya saat melihat perangai aneh dari Laras (Imelda Therinne), Ameera langsung sadar wanita itu sedang kesurupan. Sayangnya, Cokro (Rizky Hanggono), suami Laras yang skeptis terhadap hal mistis, tak mengindahkan ucapan Ameera. Cokro percaya, Laras yang sering linglung bahkan lupa jalan pulang, mengidap alzheimer alih-alih kesurupan. 

Ameera menolak tinggal diam. Dia kukuh berusaha menolong Laras. Apa cara yang ditempuh? Mencari "ciri-ciri orang kesurupan" di Google. Ya, seorang indigo melakukan itu. Ibarat ada dokter mencari "apa saja gejala flu", atau seorang ustaz googling soal "bacaan salat lima waktu". Itu merupakan pemahaman dasar, dan kalau pun muncul kebingungan, tentu Google bukan sumber jawaban yang bakal dipilih. 

Pemandangan seperti itu yang mendominasi 141 menit durasinya. Laras kesurupan, Ameera khawatir, Cokro skeptis, Ketut melempar lawakan. Ketika adik Cokro, Inggit (Givina), datang berkunjung, sumber lawakan bertambah jadi dua orang. Setidaknya Givina (yang juga adik Uus) cukup berbakat menangani komedi. Dialah penampil paling menghibur di sini, meski mendapat materi yang tidak spesial.

Selain repetisi ditambah momen-momen tidak perlu (memakan waktu kalau disebutkan satu per satu), membengkaknya durasi Tutuge turut diakibatkan adegan yang kerap bergulir terlalu lama tanpa ada substansi, misalnya membangun atmosfer atau mengajak penonton mengobservasi detail. Tidak ada. Seolah penyuntingan yang ditangani Ilan Hype cuma "menggabungkan" ketimbang "mengedit".

Tutuge enggan bergantung ke jump scare berisik sehingga menghindarkan penonton dari risiko pecah gendang telinga, namun sekuen teror yang Virlan bangun pun tidak mengandung kengerian maupun ketegangan. Musik serta tata suara, yang mana elemen esensial dalam horor, juga gagal membantu. Bahkan memperburuk keadaan. Tata suaranya buruk cenderung ngawur (cek bagaimana efek "mendengarkan musik" digarap di sini), sedangkan musik seperti dimasukkan tanpa memedulikan timing. 

Lupakan fakta bahwa konsep tutuge yang jadi judul luput dieksplorasi, dan baru mendadak diperkenalkan jelang konklusi. Filmnya belum mencapai tingkatan itu. Ibarat memasak nasi goreng, mengolah mitos tutuge adalah proses menambahkan bumbu. Sementara film ini seperti menggoreng beras, lalu menyajikannya dalam porsi menggunung. Kenyang kalau dimakan? Iya. Membawa penyakit juga iya.

6 komentar :

Comment Page:
L mengatakan...

Nice review 😁

vian mengatakan...

Kenapa ya, film horor yang tiba2 muncul tanpa promo gini kualitasnya cenderung gampang ditebak? (Walaupun pemainnya lumayan berkelas?)

Andri mengatakan...

Wew, Review Sangat Jelek dari Mas Rasyid, Mungkin Tutuge jadin Film Terjelek di Tahun 2022. Jadi Penasaran Sejelek apa Kualitas Makmum 2 sampai Mas Rasyid dulu gak Mau Review. Maaf Mas Rasyid Cuma Mau mengeluarkan Unek-unek, Hapus Aja Kalau Menggangu.

Rasyidharry mengatakan...

Lho tapi kan udah dimenangin di Piala Maya 😁

Andri mengatakan...

Wkwkwkwk Ternyata Makmum 2 Emang Jelek, Jadi Paham Mas setelah liat ulasan di CCrib. Ternyata gak semua film yang laris itu film yang bagus.

Unknown mengatakan...

Selaku yg pernah bekerjasama dengan sutradaranya gw setuju tone dia emang agak kurang aplikatif dengan situasinya haha