Tampilkan postingan dengan label Rania Putrisari. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rania Putrisari. Tampilkan semua postingan

REVIEW - TUTUGE

Tutuge jelas salah satu horor Indonesia berdurasi terpanjang. Itu alasan saya tertarik menontonnya. Bukan status "menyabet 7 penghargaan di kancah internasional" sebagaimana tertera di akun Instagram resminya (lewat sedikit riset, anda bakal tahu ada di level mana festival-festival tersebut). Ketika banyak horor kita masih terlampau bergantung pada jump scare dengan cerita tipis, apa yang film ini tuturkan selama 141 menit?

Di Yogyakarta, Tutuge cuma tayang di Empire XXI. Saya menonton di jam terakhir (selesai pukul 21:00), dan kebetulan jalan pulang dari bioskop mesti melewati beberapa area rawan klitih yang belakangan makin marak. Tapi otak saya terlalu penuh oleh pertanyaan sampai tidak sempat merasa khawatir. Pertanyaan berupa, "Bagaimana bisa naskah sementah ini jadi produk final?".

Tentu banyak naskah horor yang jauh lebih buruk ketimbang buatan Virlan W. Langgong (juga bertindak selaku sutradara) ini. Tapi apa yang terlihat di layar lebih seperti draft awal yang dipenuhi hal-hal tak perlu. Obrolan, selipan humor, hingga aktivitas sepele yang semestinya dihapus demi memadatkan penceritaan, masih bertebaran di sana-sini. 

Sejatinya kisah Tutuge amat sederhana. Ameera (Rania Putrisari), seorang penulis novel misteri ternama, berada di Bali guna mencari inspirasi untuk karya terbarunya. Tapi risetnya gagal menemui hasil. Sampai ia bertemu Ketut (Langlang Buana), putera pemilik villa tempatnya menetap, yang mulai membagi beberapa kepercayaan mistis setempat. 

Pertama kali bertemu Ameera, ia sedang berselancar di pantai, dan ada dua informasi yang kita dapat. Pertama pewarnaan gambarnya sungguh menyakiti mata. Virlan yang juga menduduki posisi sinematografer, ingin filmnya tampak artistik. Tapi alih-alih mengkombinasikan penataan cahaya dengan coloring cermat, dia bak asal memasang filter Instagram, tanpa memperhatikan kondisi lokasi dan raw footage. Jauh dari natural. Apalagi ketika matahari bersinar terik di latar outdoor. Rasanya seperti memelototi bohlam dari jarak 10 cm.

Informasi kedua adalah bahwa Ameera seorang indigo. Itu sebabnya saat melihat perangai aneh dari Laras (Imelda Therinne), Ameera langsung sadar wanita itu sedang kesurupan. Sayangnya, Cokro (Rizky Hanggono), suami Laras yang skeptis terhadap hal mistis, tak mengindahkan ucapan Ameera. Cokro percaya, Laras yang sering linglung bahkan lupa jalan pulang, mengidap alzheimer alih-alih kesurupan. 

Ameera menolak tinggal diam. Dia kukuh berusaha menolong Laras. Apa cara yang ditempuh? Mencari "ciri-ciri orang kesurupan" di Google. Ya, seorang indigo melakukan itu. Ibarat ada dokter mencari "apa saja gejala flu", atau seorang ustaz googling soal "bacaan salat lima waktu". Itu merupakan pemahaman dasar, dan kalau pun muncul kebingungan, tentu Google bukan sumber jawaban yang bakal dipilih. 

Pemandangan seperti itu yang mendominasi 141 menit durasinya. Laras kesurupan, Ameera khawatir, Cokro skeptis, Ketut melempar lawakan. Ketika adik Cokro, Inggit (Givina), datang berkunjung, sumber lawakan bertambah jadi dua orang. Setidaknya Givina (yang juga adik Uus) cukup berbakat menangani komedi. Dialah penampil paling menghibur di sini, meski mendapat materi yang tidak spesial.

Selain repetisi ditambah momen-momen tidak perlu (memakan waktu kalau disebutkan satu per satu), membengkaknya durasi Tutuge turut diakibatkan adegan yang kerap bergulir terlalu lama tanpa ada substansi, misalnya membangun atmosfer atau mengajak penonton mengobservasi detail. Tidak ada. Seolah penyuntingan yang ditangani Ilan Hype cuma "menggabungkan" ketimbang "mengedit".

Tutuge enggan bergantung ke jump scare berisik sehingga menghindarkan penonton dari risiko pecah gendang telinga, namun sekuen teror yang Virlan bangun pun tidak mengandung kengerian maupun ketegangan. Musik serta tata suara, yang mana elemen esensial dalam horor, juga gagal membantu. Bahkan memperburuk keadaan. Tata suaranya buruk cenderung ngawur (cek bagaimana efek "mendengarkan musik" digarap di sini), sedangkan musik seperti dimasukkan tanpa memedulikan timing. 

Lupakan fakta bahwa konsep tutuge yang jadi judul luput dieksplorasi, dan baru mendadak diperkenalkan jelang konklusi. Filmnya belum mencapai tingkatan itu. Ibarat memasak nasi goreng, mengolah mitos tutuge adalah proses menambahkan bumbu. Sementara film ini seperti menggoreng beras, lalu menyajikannya dalam porsi menggunung. Kenyang kalau dimakan? Iya. Membawa penyakit juga iya.

ANAK GARUDA (2020)

Anak Garuda merupakan satu lagi film mengenai sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) setelah Say I Love You bulan Juli tahun lalu. Menariknya, meski seluruh pemerannya berbeda, kursi penyutradaraan sama-sama diduduki oleh Faozan Rizal, naskahnya tetap ditulis Alim Sudio, sementara Verdi Solaiman beralih peran dari aktor ke produser. Ceritanya sendiri mengambil timeline selepas “pendahulunya” tersebut, sehingga wajar bila anda mengira film ini adalah sekuel. Tapi tidak. Keduanya tanpa kaitan, walau kualitasnya tidak jauh beda.

Sheren (Rania Putrisari), Olfa (Clairine Clay), Wayan (Geraldy Kreckhoff), Dilla (Rebecca Klopper), Sayyida (Tissa Biani), Yohana (Violla Georgie), dan Robet (Ajil Ditto) adalah ketujuh tim SPI yang kini sudah lulus dan menjalankan pusat pembelajaran serta rekreasi Kampoeng Kidz. Walau sudah menjalankan bisnis sendiri, sesungguhnya mereka masih belum lepas dari ketergantungan pada sang mentor sekaligus pendiri SPI, Koh Jul (Kiki Narendra). Alhasil begitu Koh Jul pergi untuk sementara waktu, perpecahan mulai terjadi di antara ketujuh muda mudi ini.

Akibat naskah yang lalai menjembatani momen demi momen ditambah penyuntingan buruk, Anak Garuda tampil bak sketsa yang dijahit paksa, di mana tiap sketsa memperlihatkan bagaimana Rocky (Krisjiana Baharudin) si volunteer baru seolah berusaha mengadu domba anak-anak SPI. Rasanya seperti menonton kompilasi episode sebuah serial pendek berjudul “Kenakalan Rocky”. Mungkin Alim Sudio ingin memperlihatkan secara lengkap apa saja aksi Rocky, tapi ujungnya sebatas menghasilkan checklist permasalahan.

Pun bicara soal Rocky, saat akhirnya alasan di balik perbuatannya diungkap, yang muncul justru ketidaksinkronan alih-alih jawaban. Di sini saya membicarakan aspek psikis karakter, yang mestinya menjelaskan bagaimana faktor “A” menyulut tindakan “B, C, D” dan seterusnya. Hal itu tidak dilakukan, atau tepatnya, tidak dilakukan secara layak. Seolah penulis beranggapan jika masalah masa lalu atau luka hati seseorang bisa jadi alasan untuk membuatnya melakukan keburukan apa pun. Padahal tidak sesederhana dan seacak itu.

Setidaknya di tengah-tengah “invasi Rocky”, Anak Garuda masih menyenangkan diikuti berkat akting solid beberapa pemain utama yang konsisten menyuntikkan energi bagi jalannya cerita. Memerankan Olfa yang menyimpan kepedulian tinggi terhadap salah satu murid SPI yang mentalnya terganggu akibat trauma, Clairine bisa memberikan tatapan penuh kepedulian serta memanfaatkan kesempatan kala dituntut mengolah emosi lebih lanjut. Tissa seperti biasa, selalu memberikan warna dan tak terjebak monotonitas dalam menangani situasi apa saja, bahkan yang sederhana sekalipun. Malah Kiki Narendra selaku penampil paling senior di sini yang agak mengganggu. Mau tidak mau perbandingan sulit dihindari. Ketika Verdi Solaiman begitu natural membawakan sosok Koh Jul yang selalu berapi-api melontarkan kalimat-kalimat inspiratif, Koh Jul versi Kiki bagaikan karikatur.

Melewati pertengahan durasi, Anak Garuda mengembangkan cakupan kisahnya ketika ketujuh tim SPI berkesempatan melakukan perjalanan ke Eropa. Sayangnya, perjalanan yang telah mereka cita-citakan sejak lama ini terganggu oleh masalah interpersonal yang belum juga usai. Benarkah? Sebab sering muncul inkonsistensi berulang terkait persoalan itu. Di satu titik mereka tertawa bersama, kemudian bertengkar, lalu bertingkah seolah tidak ada masalah, sebelum akhirnya mendadak perpecahan mencapai puncak.

Perjalanan ke Eropa dimaksudkan sebagai puncak tantangan sekaligus emosi filmnya. Seperti kebanyakan road trip, harapan para pembuatnya, ada makna yang tersimpan dan bukan sekadar jalan-jalan biasa. Harapan itu gagal terwujud akibat inkonsistensi tadi. Pun sepertinya Rizky Mocil terlalu total memerankan Roy si pemandu menyebalkan sehingga perjalanan ini juga tak terasa nyaman untuk diikuti.

Tentu semua akhirnya bakal berakhir bahagia, karakternya akan berbaikan sementara Koh Jul mengungkapkan kebanggaannya. Koh Jul menyebut bahwa di matanya, anak-anak didiknya itu merupakan keajaiban. Kenapa? Atas dasar apa? Karena mereka bermalam di jalanan Paris sambil menunggu Menara Eiffel buka? Karena mereka terus bertengkar dan saling menyalahkan bahkan setelah Koh Jul berkali-kali memberi petuah? Saya tidak menemukan keajaiban apa pun.

BUMI ITU BULAT (2019)

Pada masa di mana radikalisme tambah mengkhawatirkan, film seperti Bumi itu Bulat bisa menjadi tontonan penting. Dibuat dengan keterlibatan GP Ansor, tidak mengejutkan bila karya penyutradaraan layar lebar perdana Ron Widodo ini menjadi kampanye anti-radikalisme. Tapi ada satu masalah akibat kalimat “Kalau kita tidak bisa bersama, seenggaknya kita bisa saling menghargai”, yang merupakan salah satu jualan utama filmnya.

Mengapa kalimat di atas bermasalah? Bukankah itu pesan damai yang menyejukkan? Karena mengacu pada bagaimana kalimat itu disampaikan, filmya pun mestinya mampu mengajak penonton menghargai eksistensi jajaran Islam garis keras, selama tak menimbulkan bahaya secara nyata. Tapi kenapa? Apa perlunya menghargai radikalisme? Bumi itu Bulat gagal menjawab itu.

Karakter utamanya adalah Rahabi (Rayn Wijaya), anggota grup Rujak Acapella yang membangun kesuksesan via YouTube, dengan jumlah penonton dan subscribers mencapai ratusan ribu. Ciri khas mereka adalah menyanyikan lagu kebangsaan. Inilah cara filmnya mempromosikan nasionalisme pada penonton muda, dengan menyulap lagu yang mungkin dianggap kurang trendi menjadi nomor akapela keren. Walau dibekali aransemen apik, saya cukup terganggu oleh buruknya lip sync jajaran pemain, ditambah tata suara kurang natural, khususnya saat karakternya bernyanyi tanpa mikrofon. Film kita butuh belajar menciptakan adegan live performance supaya terdengar organik.

Nama “Rujak Acapella” sendiri datang dari variasi identitas anggota, yang terdiri atas beragam suku, agama, dan gender. Kini mereka mengincar kontrak rekaman, tapi sayangnya, sang produser, Aldi (Arie Kriting), merasa tampang personel Rujak Acapella kuranng menjual, meski mengakui musikalitasnya. Aldi pun mengajukan syarat: Demi mendapat kontrak, Rujak Acapella harus memasukkan penyanyi muda bernama Aisha (Febby Rastanty) sebagai anggota. Masalahnya, Aisha—walau kebetulan berkuliah di kampus yang sama—telah berhenti bernyanyi pasca berhijrah.

Di tengah penolakan rekan-rekannya, khususnya Tiara (Rania Putrisari), Rahabi bersikeras menerima syarat tersebut. Alasannya, ia membutuhkan uang untuk membiayai sekolah kedokteran adiknya, Rara (Tissa Biani). Rahabi sendiri telah beberapa lama pergi dari rumah akibat pertengkaran dengan ayahnya, Syaiful (Mathias Muchus), yang merupakan anggota Banser. Rahabi merasa sang ayah hanya mementingkan pekerjaan, menelantarkan keluarga, sehingga menyebabkan meninggalnya sang ibu.

Tapi jalan Rahabi membujuk Aisha jauh dari mulus. Selain kukuh meninggalkan dunia tarik usara, Aisha pun terganggu oleh keberadaan non-Islam di Rujak Acapella. Abi terus memaksakan diri, dan dampaknya, perpecahan mulai terjadi, apalagi setelah ia menyetujui persyaratan Aisyah, untuk mewawancarai Bu Farah (Ria Irawan), dosen garis keras yang dipecat karena menyuarakan ujaran kebencian. Melalui elemen inilah Bumi itu Bulat membawa kita menyusuri kenyataan mengerikan soal betapa mudahnya prosedur cuci otak radikalisme berlangsung di dunia kampus.

Bumi itu Bulat memposisikan para radikal sepenuhnya sebagai pihak buruk, yang mana saya setujui. Perspektif satu arah dalam film sah-sah saja dilakukan. Namun ketika filmnya membuat Abi berkata, “Kalau kita tidak bisa bersama, seenggaknya kita bisa saling menghargai” kepada Aisha, secara tidak langsung Bumi itu Bulat mengajak kita menghargai para radikal. Sekali lagi itu sah, selama naskah buatan Andre Supangat berhasil menyuguhkan alasan logis, yang mana gagal dilakukan.  Sampai akhir, saya urung menemukan alasan untuk menghargai tokoh-tokoh seperti Aisha atau Bu Farah.

Di luar itu, Bumi itu Bulat dituturkan dengan cukup baik. Kekhawatiran saya bahwa unsur cinta segitiga cheesy antara Rahabi-Tiara-Aisha bakal mendistraksi nyatanya tidak terbukti. Unsur itu disampaikan secara subtil, di mana Tiara terus bertahan sebagai individu tegas, yang mengajukan keberatan atas bergabungnya Aisha, murni karena alasan kelompok ketimbang perasaan pribadi. Walau di lubuk hati terdalam hal itu pastinya tetap berkontribusi, Tiara sanggup melontarkan opini objektif nan beralasan.

Dramanya turut ditunjang performa solid jajaran pemain. Di antara tim Rujak Acapella, Rania Putrisari paling menonjol berkat ekspresi serta bahasa tugas yang mendukung ketegasan karakternya. Mathias Muchus sekali lagi mampu menghembuskan hati biarpun memerankan sosok pria keras, Tissa Biani masih seorang pencuri perhatian yang jago memancing seyum penonton, sedangkan Christine Hakim tetaplah Christine Hakim yang bakal meninggalkan kesan meski hanya muncul sejenak.

Babak ketiganya dibuat berdasarkan insiden dunia nyata kental intoleransi antara umat beragama. Relevan, tapi sayang diakhiri lewat simplifikasi. Di realita, takkan semudah itu meredakan amukan warga yang mudah terprovokasi akibat mabuk agama. Beruntung, menyusul beriutnya adalah konklusi cheesy tapi menyentuh bagi konflik ayah-anak. Menyentuh, sebab biar bagaimanapun, mayoritas ayah memang pahlawan super untuk anaknya.

Saya turut mengagumi saat Bumi itu Bulat menyelipkan penampilan Rujak Acapella di tengah upacara pembukaan Asian Games 2018 secara cukup meyakinkan. Belum sempurna, tapi setidaknya tampak alamiah. Dan kali ini, karena konteksnya bernyanyi menggunakan mikrofon dan sound system, nyanyian mereka lebih bisa diterima pula terdengar nyaman di telinga.

3 DARA 2 (2018)

Komedi adalah “makhluk” yang sulit ditaklukkan, tapi berkomedi sambil menuturkan pesan ada di tingkatan berbeda. Sekuel dari 3 Dara yang tiga tahun lalu sukses mengumpulkan lebih dari 666 ribu penonton ini hendak menunjukkan pada para misogynist, male chauvinist, hingga pemuja toxic masculinity bahwa pekerjaan rumah tangga yang kerap dibebankan pada wanita sungguh bukan main-main. Belum tentu pria sanggup menjalaninya. Tapi cara 3 Dara 2 melucu justru membuatnya gagal meruntuhkan dinding pembatas  just-for-fun-fiction supaya pesannya dapat ditanggapi serius.

Sejatinya, trio penulis naskah: Monty Tiwa (Rompis, Critical Eleven), Nataya Bagya (7/24, 3 Dara), dan Fatmaningsih Bustamar (Demi Cinta, Meet Me After Sunset), telah memilih jalur yang tepat, bahkan cerdik guna mengembangkan cerita tanpa keluar dari persoalan kesetaran gender dan kisah “pria menjadi wanita”. Masih mengetengahkan Affandy (Tora Sudiro), Jay (Adipati Dolken), dan Richard (Tanta Ginting), kali ini, alih-alih berubah jadi wanita, mereka mesti bertukar peran dengan para istri, alias menjadi bapak rumah tangga.

Akibat kegagalan investasi, mereka pun berhutang puluhan milyar, harus terusir dari rumah, dan terpaksa tinggal di rumah Eyang Putri (Cut Mini), ibunda Aniek (Fanny Fabriana), istri Affandy. Demi melunasi hutang tersebut, Aniek bersama Grace (Ovi Dian) dan Kasih (Rania Putrisari) memutuskan bekerja, sementara ketiga suami gantian mengurus hal-hal rumah tangga. Affandy mencuci, Jay bersih-bersih, Richard berbelanja dan memasak.  Mereka semakin kerepotan akibat keberadaan Jentu (Soleh Solihun), si penjaga rumah yang bertindak semena-mena setelah diberi wewenang kuasa oleh Eyang Putri.

Pondasi memadahi telah ditempatkan, pun sebuah pernyataan dari Windy (Rianti Cartwright) sang psikolog cukup menekankan pesan yang filmnya hendak utarakan (melalui perspektif biologis, sebagai dua jenis kelamin, pria dan wanita jauh berbeda, namun tidak dari sisi gender beserta peran-perannya), tapi kemudian 3 Dara 2 melanglang buana terlalu jauh. Kebodohan Affandy-Jay-Richard dalam usaha menebus cicilan rumah justru dikedepankan ketimbang pergulatan ketiganya sebagai bapak rumah tangga, yang sebatas ditampilkan melalui montase singkat.

Semakin kisahnya bergulir, semakin repetitif, di mana pola “berbuat kebodohan-gagal-dimarahi-menyesal-ulangi kebodohan” disajikan secara terus menerus. Daripada proses belajar gradual, karakternya dibiarkan tanpa perubahan sampai konklusi. Sebuah konklusi bertabur twist yang menempuh jalan pintas guna menyelesaikan segala permasalahan. Twist yang mengejutkan? Ya, karena sulit dipercaya 3 Dara 2 menerapkan resolusi semalas itu.

Dipandang selaku hiburan, balutan humornya bekerja cukup baik. Beberapa ide kentara menunjukkan para penulisnya lebih mencurahkan usaha dan kreativitas dalam membalut komedi daripada konklusi kisah. Tidak semua bekerja maksimal, tapi berkat performa sekaligus chemistry menghibur Tora, Adipati, dan Tanta, setidaknya saya bisa dibuat terus terjaga. Belum lagi Cut Mini yang senantiasa menguasai tiap momen kemunculannya dengan kejenakaan "mengerikan". Sementara Fanny Fabriana mampu melakoni peran sebagai jangkar bagi elemen dramatik filmnya.  

Tapi sekali lagi, 3 Dara 2 ingin tampil lebih. Karenanya, gaya “dilebih-lebihkan” dari leluconnya mencuatkan masalah. Benar komedi harus dilebih-lebihkan selaku pendekatan hiperbolis terhadap realita supaya kelucuan tercipta. Namun hiperbola di sini, yang membuat masalah tokoh-tokohnya nampak konyol, berpotensi “membentengi” pihak-pihak yang dikritisi. Mereka bakal berpikir “Situasi begini takkan terjadi di kehidupan nyata”, atau “Kenyataannya takkan seberat ini” kala menyaksikan susah payahnya Affandy, Jay, dan Richard beradaptasi sebagai bapak rumah tangga, mayoritas diproduksi oleh perilaku absurd Jentu, yang memang benar, takkan kita temui di realita. Para misogynist dan male chauvinist pun rasanya hanya akan terkekeh.