REVIEW - KINGMAKER

Tidak ada komentar

Terinspirasi dari hubungan Presiden Korea Selatan kedelapan, Kim Dae-jung, dengan Uhm Chang-rok selaku konsultan politiknya, Kingmaker jadi bukti kalau drama politik dapat dikemas ringan nan menghibur, tanpa kehilangan bobot penceritaannya. 

Mudah mengkritisi kotornya panggung politik yang dikenal menghalalkan segala cara. "The end justifies the means" sering dilontarkan sebagai pembenaran atas langkah-langkah kotor yang ditempuh guna mencapai singgasana kekuasaan. Anggapannya, agar mampu memperbaiki keadaan, seorang politikus mesti berkuasa, dan kuasa itu takkan bisa digapai lewat cara yang "benar".

Byun Sung-hyun (The Merciless) selaku sutradara sekaligus penulis naskah tak serta merta menyalahkan perspektif di atas. Tidak pula membenarkan. Melalui perjalanan sang protagonis, Sung-hyun mengajak penonton ikut mempertanyakan keabsahan sudut pandang tersebut. Mempertanyakan "benar" dan "salah". 

Protagonis kita bernama Seo Chang-dae (Lee Sun-kyun). Dia bukan politikus. Entah apa pekerjaan pastinya. Orang-orang memanggilnya "apoteker", tapi Chang-dae menolak panggilan itu, karena menurutnya apoteker cuma pekerjaan sementara. 

Di adegan pembuka, seorang pria meminta saran pada Chang-dae soal telur ayam miliknya yang selalu hilang. Si pencuri adalah tetangga si pria, yang menyangkal segala tuduhan. Status sebagai kerabat kepala desa pun membuat posisi tersangka aman. Chang-dae menyarankan agar pria itu mengikat kaki semua ayam dengan benang merah, menaruh satu ekor di rumah tersangka, lalu menjebaknya. Akal bulus itu menggambarkan cara pandang Chang-dae dalam berpolitik. 

Didorong masa lalu tragis kala sang ayah dibunuh gara-gara "terdengar seperti komunis", Chang-dae bermimpi mengubah Korea ke arah yang lebih demokratis. Di matanya, politikus muda dari partai oposisi bernama Kim Woon-beom (Sol Kyung-gu) dapat mewujudkan impian tersebut. 

Woon-beom memang politikus lurus yang sungguh-sungguh ingin memberi kontribusi positif. Sayang, sikap lurus itu justru menyulitkan ia menang di hadapan para lawan politik licik. Di situlah Chang-dae masuk menawarkan jasanya, yang pelan-pelan melambungkan karir Woon-beom, dari ranah kedaerahan hingga pemilu presiden 1971. 

Dibanding banyak drama politik lain, Kingmaker termasuk sederhana. Tanpa alur rumit, konspirasi berbelit, maupun pengenalan karakter baru tiap beberapa menit. Fokusnya terletak di dua poin, yakni strategi Chang-dae, serta hubungannya dengan Woon-beom. 

Poin pertama merupakan sumber hiburan utama Kingmaker. Aksi Chang-dae mengakali para pesaing Woon-beom, dipresentasikan oleh Sung-hyun dengan tempo cepat, menjadikannya bak film-film bertema con artist. Kreativitas naskahnya memudahkan penonton percaya bahwa Chang-dae memang sosok jenius. Cepat mengambil keputusan, jeli melihat celah, bisa mengambil inspirasi dari mana saja dalam menyusun taktik. 

Dibantu sinematografernya, Jo Hyung-rae, Sung-hyun piawai melahirkan berbagai shot yang "berbicara". Contohnya shot yang melibatkan Lee (Joo Woo-jin, salah satu penampil terbaik film ini dengan pembawaan dingin yang intimidatif) dan Kim (Yoon Kyung-ho), dua figur partai penguasa. Mereka sama-sama berjalan menjauhi kamera yang terletak tepat di tengah layar. Bedanya, jalan Lee begitu lapang, sedangkan pintu tertutup di belakang Kim setelah ia memasuki ruangan. Seolah memperlihatkan bagaimana di titik itu, pintu kejayaan Kim di dunia politik akhirnya tertutup. 

Poin kedua mengenai relasi Chang-dae dan Woon-beom jadi lahan bagi naskahnya mengeksplorasi perihal ambiguitas moral di ranah politik. Apakah Woon-beom sungguh sosok mulia, atau sebatas memanfaatkan Chang-dae demi kekuasaan? Apakah prinsip "the end justifies the means" memang benar dipercaya Chang-dae sebagai jalan menuju kebaikan, atau cuma alasan di balik ambisi personal? Apakah keduanya bersih, kotor, atau bertransformasi seiring waktu? Berbasis pertanyaan-pertanyaan tersebut, didukung chemistry solid kedua aktor, dinamika menarik pun muncul. 

Meski pada akhirnya kita bisa membaca ke mana hati Byun Sung-hyun cenderung berpihak, ia menolak memberi cap baik/buru atau benar/salah bagi tiap sisi. Kingmaker merupakan film yang menyadari kompleksitas dan ambiguitas politik, sehingga walau punya ideologi sendiri mengenai kebenaran, ia enggan semudah itu menghakimi. Biarlah penonton yang menentukan, sebagaimana rakyat mengartikan janji-janji dari mulut para politikus jelang pemilu. 

(Vidio & Catchplay+) 

Tidak ada komentar :

Comment Page: