REVIEW - TERRIFIER 2
Apakah Terrifier 2 se-disturbing itu sampai membuat penontonnya muntah dan pingsan? Pertama patut diingat bahwa fenomena semacam ini (entah sungguhan atau marketing stunt), bukanlah hal baru. Sembilan dekade lalu Freaks dikabarkan membuat ibu hamil mengalami keguguran di bioskop. Histeria penonton akibat The Exorcist (1973) pun dapat kalian simak di YouTube.
Terrifier 2 memang brutal, dan kebrutalan itulah jualan utama filmnya. Tapi terdapat satu pencapaian yang lebih besar yang cenderung langka. Sebuah sekuel slasher, di mana pembuatnya sungguh-sungguh ingin meningkatkan kualitas di tiap lini. Bukan semata didorong keuntungan finansial, tapi murni ambisi melahirkan film yang lebih baik.
Berlatar setahun setelah peristiwa berdarah film pertama, protagonisnya beralih ke Sienna (Laure LaVera), yang selama berbulan-bulan membuat kostum Halloween berdasarkan desain mendiang ayahnya. Sebuah kostum prajurit wanita bersayap. Sementara adiknya, Jonathan (Elliott Fullam), ingin berdandan sebagai Art the Clown (David Howard Thornton), yang tentu saja membuat ibu mereka, Barbara (Sarah Voigt), kalang kabut.
Memang sudah setahun berlalu sejak Art beraksi, namun kabar kalau jasadnya menghilang menyisakan pertanyaan. Apakah ia masih hidup? Tidak butuh waktu lama bagi Terrifier 2 untuk memberi jawaban. Bahkan sebelum kita berkenalan dengan Sienna, si badut sudah mengulangi aksi gilanya.
It's business as usual for Art, also the movie itself. Tapi rutinitas serupa bukan berarti sama. Sedari menit-menit awal pun kelihatan jelas kalau production value filmnya mengalami peningkatan signifikan. Tiada lagi filter ala grindhouse untuk menutupi kesan murah. Jika Terrifier terkesan menjiplak musik Halloween, tidak dengan Terrifier 2, yang bahkan mampu memproduksi lagu orisinal berjudul The Clown Cafe, yang akan terus menempel di kepala penontonnya.
Lagu tersebut muncul di mimpi Sienna, dalam sekuen yang sekilas tak perlu dan sebatas cara memenuhi durasi, namun ternyata memegang kunci terkait misteri yang menyelimuti alurnya. Ya, Terrifier 2 punya misteri. Damien Leone selaku sutradara sekaligus penulis naskah benar-benar ingin bercerita.
Bukan penceritaan berbobot tentu saja. Naskah buatan Leone tak cukup mumpuni guna menyokong durasi 138 menit miliknya (tergolong panjang untuk ukuran slasher). Tapi tidak semua slasher mau repot-repot bertutur seperti Terrifier 2. Karenanya, usaha Leone, yang konon terlecut kala membaca ulasan-ulasan film pertama yang mengkritik ketiadaan cerita, pantas diapresiasi.
Misterinya menyiratkan adanya rahasia di balik coretan-coretan di buku sketsa kepunyaan ayah Sienna (bentuk rujukan ke segmen kedua All Hallows' Eve?), pula keterlibatan elemen supernatural di balik teror Art. Terdengar mengkhawatirkan, mengingat rekam jejak sekuel slasher dengan sentuhan supernatural tidak terlalu baik, dan biasanya jadi penanda sang kreator mulai kering ide.
Tapi Art bukan Michael Myers atau Jason Voorhees yang di awal konsepsi mereka sama sekali tak bersinggungan dengan supernatural. Art sudah menjadi sosok mistis sewaktu pertama muncul di film pendek The 9th Circle yang kemudian jadi segmen pembuka All Hallows' Eve. Hal gaib memang bagian identitasnya (serupa Freddy Krueger).
Di jajaran sutradara slasher modern, Leone mungkin belum sebaik nama-nama seperti Adam Green (seri Hatchet) atau David Blue Garcia (Texas Chainsaw Massacre) perihal mempertahankan intensitas tatkala banjir darah absen dari layar, namun kelemahan itu ia tutupi dengan kreativitas merangkai adegan pembunuhan, dan tentunya keberanian melempar sadisme.
Momen yang bakal ramai dibicarakan (sekaligus paling bikin mual) pastinya aksi Art di sebuah kamar. Bukan sebatas gore. Leone menangkap tiap detail kekerasan, dari menguliti kepala, mematahkan tangan, hingga mutilasi, dengan sejelas mungkin. Seolah ia sedang membuat memberi tutorial menyiksa manusia. Oh, dan sudahkah saya sebut kalau semua dilakukan saat si korban masih hidup?
Sekali lagi Art masih jadi monster pembunuh creepy berkat tata rias ikoniknya, tapi jangan kesampingkan performa David Howard Thornton. Dia membawa mannerism luar biasa mengerikan, sebagai aktor yang tahu ekspresi serta gestur apa yang mesti diperlihatkan di depan kamera (arahan Leone juga berperan).
Menariknya, bukan Art karakter yang digaungkan oleh Leone, melainkan Sienna. Sangat jarang seorang sineas slasher mempromosikan karakter manusia, sebagaimana Leone mengagungkan Sienna sebelum filmnya dirilis. Penulisan Leone sekali lagi tidak spesial. Naskahnya tak seberapa dalam menggali persoalan trauma dan kondisi mental si protagonis.
Tapi sebagai final girl, Sienna adalah lawan sebanding bagi Art. Keduanya sama-sama diberi desain memorable (simbolisasi gamblang pertempuran malaikat versus iblis), sedangkan akting Lauren LaVera menjadikan Sienna sosok final girl yang punya kepribadian. Terpenting, ia tangguh. Memakai baju zirah bersayap, ia ayunkan pedangnya, sembari menatap sang musuh dengan mata tajam nan membara. The best final girl in modern slasher.
(Screambox)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar