REVIEW - JUNG_E

5 komentar

Jung_E merupakan film terakhir Kang Soo-yeon, yang dirilis tidak sampai sembilan bulan pasca meninggalnya figur legendaris perfilman Korea Selatan tersebut. Pada tahun 1987, Kang Soo-yeon menjadi pelakon Korea pertama yang memenangkan penghargaan di festival film internasional bergengsi, kala menyabet gelar Aktris Terbaik di Venice International Film Festival lewat perannya dalam The Surrogate Woman. 

Sempat absen hampir satu dekade tidak menurunkan kualitasnya. Soo-yeon adalah bagian terbaik dalam karya terbaru sutradara Yeon Sang-ho (Train to Busan, Peninsula) ini. Sebuah fiksi ilmiah yang berambisi jadi lebih dari blockbuster biasa, namun terlalu ragu untuk berkonsentrasi pada drama intim. Atau memang tidak mampu?

Berlatar abad 22, akibat perubahan iklim, umat manusia terpaksa hidup di luar angkasa dengan membangun sekitar 80 penampungan. Sampai perang sipil pecah, saat tiga penampungan membentuk republik sendiri dan melancarkan serangan ke penampungan lain. Pembangunan dunia itu hanya kita temui di intro, plus beberapa eksposisi pendek. Mayoritas durasi dihabiskan dalam laboratorium tempat Yun Seo-hyun (Kang Soo-yeon) memimpin sebuah eksperimen dengan kode JUNG_E. 

Eksperimen itu bertujuan melahirkan prajurit AI sempurna, yang dibuat dengan mengkloning otak Yun Jung-yi (Kim Hyun-joo), seorang pahlawan perang yang tengah koma akibat cedera parah di misi terakhirnya 35 tahun lalu. Jung-yi adalah ibu Seo-hyun. 

Naskah yang ditulis sendiri oleh Yeon Sang-ho melempar gagasan menarik melalui dinamika tadi. Di hari Jung-yi melakukan misi, Seo-hyun kecil (Park So-yi) sedang menjalani operasi pengangkatan kanker. Seo-hyun merasa bersalah, karena di matanya, sang ibu tak pernah menjalani hidup secara bebas, terpaksa bekerja sebagai prajurit bayaran demi membayar biaya pengobatannya. "Apakah ibu membenciku?", jadi pertanyaan yang terus menghantui hingga kini. 

Eksperimen ini jadi cara Seo-hyun menyelami isi hati ibunya, dan Yeon Sang-ho mendesain Jung_E agar memfasilitasi proses tersebut. Di luar dugaan kuantitas adegan aksi filmnya tak begitu tinggi. Kecuali kilmaks, baku hantam hanya diisi oleh beberapa simulasi, di mana robot Jung_E mesti berkali-kali mengulangi misi terakhir Jung-yi. Mengingat ini bukan produk Hollywood berbiaya ratusan juta dollar (cuma 16 juta dollar), CGI miliknya tergolong mumpuni. Kim Hyun-joo pun meyakinkan sebagai pahlawan idola yang saking terkenal akan ketangguhannya, sampai dibuatkan action figure. 

Sayangnya, walau sudah mengakomodasi ruang untuk drama, naskahnya tak pernah benar-benar menggali dinamika personal dua karakternya. Seo-hyun dan Jung-yi begitu minim diberi kesempatan berinteraksi, bahkan sewaktu kesempatan itu datang di paruh akhir, naskahnya gagal memunculkan dampak emosional berarti. Padahal Kang Soo-yeon telah membangun sensitivitas, kala tiap ekspresinya memancarkan pilu tak tertahankan. 

Naskahnya justru menyibukkan diri melempar deretan pertanyaan lain. Ada perenungan mengenai "self", yang mempertanyakan apakah manusia benar-benar mengenal dirinya sendiri, hingga kritik terhadap eksploitasi serta seksualisasi idola yang terasa lebih relevan mengingat kultur populer Korea Selatan. 

Persoalan-persoalan di atas berpotensi melahirkan eksplorasi menggigit, tapi masalahnya, Jung_E melupakan tugas utama sebagai cerita personal protagonisnya. Ditambah pilihan narasi klimaksnya yang menyia-nyiakan keberadaan Kim Hyun-joo, Jung_E makin kehilangan kemanusiaannya. 

(Netflix)

5 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

cukup saksikan saja 20 menit jelang akhir film

Anonim mengatakan...

Film Korea bergenre drama lebih bagus di tonton daripada yang bergenre horror maupun yang fantasy yang umumnya sering mengecewakan

terimakasih mas rasyid atas info panduan review film nya

Anonim mengatakan...

Digunggu Kunjungan Baliknya Kak!

Anonim mengatakan...

jangan lupa review film Pathaan ya mas rasyid...

Anonim mengatakan...

terimakasihh infonya