REVIEW - MANGKUJIWO 2

5 komentar

Menonton Mangkujiwo 2 terasa seperti datang terlambat ke sebuah pertemuan, lalu diharuskan mengikuti obrolan peserta lain. Obrolannya menarik, kita terdorong ingin tahu lebih banyak, tapi keterlambatan tadi menyulitkan kita langsung bisa memahami apa yang mereka sampaikan. 

Seperti pendahulunya, Mangkujiwo 2 yang naskahnya masih ditulis oleh Dirmawan Hatta, punya masalah di penceritaan. Jika banyak horor kita tersandung akibat kekosongan cerita, Mangkujiwo sebaliknya, terlalu berusaha tampil rumit. Ketika narasi non-linear jadi penyebab di film sebelumnya, kali ini kebingungan hadir akibat seringnya naskah melempar nama atau peristiwa secara campur aduk, beruntun, tanpa ada penjelasan bertahap. 

Menonton film pertamanya adalah kewajiban. Bahkan kalau bisa, tonton sekali lagi sebelum melangkahkan kaki ke bioskop. Di sini Uma (Yasamin Jasem) masih bergulat dengan kemampuannya memanggil kuntilanak. Dia pun beberapa kali mendapat penglihatan mengerikan berupa kematian massal. Perihal melempar teror, Mangkujiwo 2 terlalu bergantung pada "pemandangan palsu". Apalagi, fotografer bernama Rimba (Marthino Lio) juga kerap mengalami mimpi aneh. 

Mimpi dan penglihatan mistis merupakan amunisi khas horor, tapi saat digunakan terlampau sering, sense of urgency berkurang. Penonton bakal berpikir, "Ah paling cuma mimpi", dan tatkala kecurigaan itu terbukti, antisipasi terhadap teror-teror yang muncul berikutnya bakal berkurang. Mangkujiwo 2 mengalami itu, walau untungnya, Azhar Kinoi Lubis yang kembali duduk di kursi sutradara, cukup piawai mengolah banjir darah yang masih jadi senjata utama seri ini. Deretan pemandangan seperti jantung yang tercabut hingga wajah yang hancur bakal memuaskan para pencari gore. 

Tapi 120 menit durasi film ini bukan didomonasi oleh teror, melainkan obrolan. Brotoseno (Sujiwo Tejo), Nyi Kenanga (Djenar Maesa Ayu), Karmila (Karina Suwandi), Jenderal Amperawan (Kiki Narendra) dan kekasihnya si bintang film, Maureen (Widika Sidmore), hingga Dargo Sentono (Yayu Unru) si pelaku pesugihan tikus, lebih sering saling berbalas kata. Di satu sisi, itu menguatkan identitas Mangkujiwo sebagai "cerita mistis" alih-alih horor tradisional, yang membedakannya dengan installment utama seri Kuntilanak. Tepatnya cerita mistis bernada politis. 

Sayangnya seperti telah disinggung di atas, penataan obrolannya kurang rapi sehingga melahirkan kerumitan yang semestinya tidak perlu. Seiring waktu kesan repetitif ikut muncul. Kerap terjadi demikian: kita mengetahui suatu fakta, lalu fakta itu diceritakan ulang ke karakter lain dengan konten sama persis. Belum lagi kemasan Mangkujiwo 2 tidak memegang prinsip "show, don't tell". Bukan peristiwa yang sering kita saksikan, melainkan reaksi atau komentar tokoh-tokohnya atas peristiwa tersebut. 

Beruntung Mangkujiwo 2 punya jajaran cast mumpuni. Nama-nama senior di dalamnya jelas punya kapasitas melakoni film berbasis dialog seperti ini, sedangkan sebagai junior, Yasamin Jasem menolak tenggelam meski porsi kemunculannya agak berkurang. Justru Marthino Lio yang tampil lemah. Semakin panjang kalimat yang harus diucapkan, pelafalannya semakin monoton. Semakin kentara, sebab ia mesti berbagi layar dengan semua pelakon seniornya. 

Memasuki paruh akhir barulah Mangkujiwo 2 menunjukkan kekuatannya, sewaktu rangkaian tanda tanya mulai saling terhubung dan menjawab kebingungan-kebingungan yang sebelumnya menghantui. Secara khusus saya menyukai bagaimana klimaksnya bergulir, yang memantapkan pondasi tokoh-tokohnya, sebagai para pemilik kuasa penuh tipu daya. Pun jika anda teliti, sempat muncul cameo yang menciptakan koneksi antara seri Kuntilanak modern dengan versi Julie Estelle.  

5 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

saya sudah nonton film MANGKUJIWO 2 hari pertama tayang di bioskop :

ini bukan film horror, ini film musikal drama slowburn thriller politik detektif dalam KUNTILANAK CINEMATIC UNIVERSE (KCU) sama seperti DCU, MCU & BCU

bahasa indonesia yang di pergunakan EYD berasa cringe aneh tidak biasa seperti kita bicara sehari hari

muncratan darah kesadisan melebihi joko anwar timo brothers namun berasa film ini biasa aja tidak terbawa sampai ke luar bioskop

tidak ada tokoh jahat, semua tokohnya abu abu

saya menikmati goyangan keren musik nyanyian irama disko dalam film ini

apakah ini film layak di tonton...bagi saya yes...namun terserah anda sebagai penikmat film di layar bioskop

Chan hadinata mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Anonim mengatakan...

Kualitas akting Marthino Lio sebagai aktor terbaik Indonesia sudah berhasil mengarungi berbagai genre film termasuk film ini dengan gaya yang selalu sama & cringe namun masih kalah dengan akting Reza Rahardian
*
Indonesia tidak pernah kekurangan kualitas para pemain film dari masa ke masa

Anonim mengatakan...

tikus lagi tikus lagi ih jijay banget

Anonim mengatakan...

film keren