REVIEW - TEMAN TIDUR

3 komentar

Teman Tidur adalah horor lokal paling aneh tahun ini. Bukan karena ceritanya, mengingat ia punya alur klise mengenai perundungan berlatar SMA. Keanehan terletak pada aspek teknis, baik audio maupun visual. Antara pembuatnya memang punya visi "nyentrik", atau terdapat kerusakan data selama lima tahun penantian rilis (film ini diproduksi pada 2018). 

Karakter utamanya adalah Amanda (Givina Lukitadewi), siswi pindahan yang tinggal di asrama supaya fokus mempersiapkan diri jelang olimpiade biologi. Sewaktu Amanda jadi korban perundungan, bantuan datang dari Claudia (Gesya Shandy), yang merupakan anggota geng Adam (Baskara Mahendra), putera ketua alumni sekolah. Amanda pun berteman dengan Adam dan kawan-kawan, tanpa tahu bahwa mereka dicurigai sebagai penyebab di balik keputusan bunuh diri seorang siswi bernama Kelly (Mutiara Sofya). 

Harus saya akui, keputusan naskah buatan Evelyn Afnila (Keluarga Tak Kasat Mata, Pamali), Gea Rexy (Dear Nathan, Qodrat), dan Asaf Antariksa (Qodrat, Iblis dalam Kandungan), untuk membuat Amanda berteman dengan geng Adam alih-alih menjadikannya korban mereka, cukup unik. Pun di luar satu dosa besar di masa lalu, mereka bukan sosok "pengganggu" bagi siswa lain. Bahkan mereka sendiri jadi korban penindasan oleh tuntutan-tuntutan orang tua. Misal Adam yang dipaksa masuk IPA, atau Claudia yang mengubur cita-cita sebagai atlet renang. 

Sayang, naskahnya mengembangkan elemen-elemen di atas guna melahirkan penelusuran kompleks mengenai isu perundungan. Tapi apa pun kekurangan terkait penceritaan, tidak ada apa-apanya dibanding kejanggalan departemen teknis. 

Ray Nayoan (Jelita Sejuba: Mencintai Kesatria Negara) selaku sutradara gemar betul menerapkan gerak lambat, termasuk di momen yang tak memerlukan itu. Di beberapa adegan dengan gerak lambat, suara dihilangkan, digantikan oleh musik yang lagi-lagi tujuannya patut dipertanyakan. Saking tidak jelas intensinya, saya curiga ada fail audio yang hilang di pasca produksi, lalu untuk mengakalinya, pilihan nyeleneh tadi pun dipakai. 

Atau jangan-jangan sang sutradara memang bercita-cita menjadi Zack Snyder? Karena selain gerak lambat, Teman Tidur sempat secara tiba-tiba memakai lens flare, serta pewarnaan yang cenderung mute di beberapa titik. Pewarnaannya inkonsisten. Kadang normal, dengan warna-warna sebagaimana di dunia nyata, sebelum mendadak (baca: di shot berikutnya) warna itu memudar. 

Di babak kedua, karakternya memutuskan mengunjungi dukun karena teror arwah Kelly telah merenggut nyawa beberapa dari mereka. Sesampainya di kediaman si dukun, saya kaget melihat latarnya yang dibuat menggunakan CGI berkualitas butut. Ini rumah dukun. Bukan gubuk tani Thanos. Apa perlunya CGI? 

Setidaknya Teman Tidur menolak membohongi penonton. Judulnya adalah bentuk kejujuran. Diisi penampakan hantu tak mengerikan, shot demi shot yang berlangsung lebih lama dari kebutuhan, hingga klimaks absurd minim intensitas, membuat film ini pantas dijadikan teman tidur. Walaupun judul "Obat Insomnia" rasanya lebih cocok.

3 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

bobo di bioskop sebagai teman tidur di kala puasa saat menonton di bioskop itu lebih menyenangkan, tidur asyik di bioskop di kala nonton film horror

Anonim mengatakan...

cuan film horror cuan

Anonim mengatakan...

Apalagi kalo nontonnya di studio Velvet CGV, lebih pulas kali ya tidurnya.