REVIEW - BEAU IS AFRAID

17 komentar

Beau is Afraid bagi Ari Aster, sama seperti Mother! bagi Darren Aronofsky, atau Bardo, False Chronicle of a Handful of Truths bagi Alejandro González Iñárritu. Sebuah titik saat sineas ada di puncak karir, punya kebebasan berkreasi, kemudian memilih jalur beraroma self-indulgent demi memuaskan keliaran mereka, mungkin juga untuk menunjukkan kuasa, sedangkan penonton tidak sedikit yang dibuat frustrasi. 

Setidaknya mereka, atau untuk kasus ini Ari Aster, memang pantas mendapat medium penyaluran ego. Apalagi Beau is Afraid bukan sekadar karya pretensius. Dia mewakili keresahan banyak orang yang cukup sabar melalui perjalanan sureal berdurasi hampir tiga jam (tepatnya 179 menit). 

"What do you think I should do?". Bukankah kita pernah dihantui kebingungan serupa? Kehidupan Beau (Joaquin Phoenix) dipenuhi tanda tanya tersebut. Jelang peringatan kematian ayahnya, ia tengah bersiap pulang menemui sang ibu (Patti LuPone) di rumah. Tapi kunci apartemen miliknya tiba-tiba dicuri. Haruskah ia tetap pergi? Bagaimana jika ada penjahat menerobos masuk saat Beau tidak di rumah? 

Sampai mendadak muncul kabar duka. Sang ibu juga meninggal dunia. Beau kini seorang diri. Tanpa orang tua, di tengah dunia yang seolah berkonspirasi untuk menghancurkannya. Di sinilah keputusan Aster memakai surealisme dapat dimengerti. Realisme takkan mampu menggambarkan sederet ketakutan Beau yang konyol dan berlebihan. Beau is Afraid bagai lukisan ekspresionis yang mengutamakan luapan emosi ketimbang aturan-aturan logis. 

Tapi di balik segala kekonyolan serta keanehannya, ketakutan Beau sejatinya amat dekat. Kita pun takut pada penolakan, perasaan terbuang, kehilangan, atau sebatas hal sepele seperti gangguan yang merusak rencana yang sudah disusun matang. Beau is Afraid memotret keraguan individu melangkah maju akibat ketakutan-ketakutan tadi. 

Beau takut beranjak dewasa, takut menerima fakta bahwa kenyataan tak seindah harapan. Itu sebabnya Phoenix membawakan karakternya serupa bocah. Tutur katanya terbata, gesturnya serba ragu, matanya diwarnai ketidakpastian. 

Rasanya kompleksitas rasa Beau terhadap ibunya juga kerap dialami banyak pihak. Dia menyayangi sang ibu, tapi juga takut, bahkan mungkin membencinya. Menaruh kepedulian mendalam namun di saat bersamaan menyimpan kejengahan terhadap seseorang bukan sebuah perasaan yang aneh. 

Aster tahu ceritanya bakal mewakili dilema para penonton. Di satu titik, ia bawa Beau ke sebuah pementasan drama di tengah hutan. Pasca sekuen sarat visual imajinatif yang jadi jualan utama di beberapa materi promosi filmnya, Beau menyadari kalau pementasan tersebut berisi kisah hidupnya. "That's my story!", teriak si protagonis. Beau di momen tersebut adalah kita, para penonton yang merasa sudah dibuatkan biografi oleh Ari Aster.   

Surealisme macam Beau is Afraid bukan soal "Bisakah dipahami?". Terpenting, filmnya bisa terus merayu penonton untuk menjaga atensi, walau kesulitan memproses makna tuturannya. Aster berhasil melakukan itu. Entah lewat visual cantik, kengerian yang bisa tiba-tiba merayap (biar bagaimanapun DNA horor terlanjur mengalir deras dalam darah sang sutradara), hingga keabsurdan, yang saking anehnya sampai menyulut tawa (tunggu sampai identitas ayah Beau diungkap). 

Tapi apakah Beau is Afraid memerlukan durasi nyaris tiga jam guna menghantarkan pesannya? Sayangnya tidak. Jika Beau dikekang oleh rasa takut, Aster sebaliknya, gagal mengontrol diri akibat tidak kenal takut. Beau kerap berhenti dari perjalanannya, sedangkan Aster menolak menginjak rem, bahkan tatkala telah tiba di destinasi.

(iTunes US)

17 komentar :

Comment Page:
Soang X mengatakan...

Belum kelar saya nontonnya bang, tapi setuju sama bang Rasyid. Saking asyiknya pak Aster nginjek gas, beliau jadi lupa sama filmnya. Durasinya juga panjang banget untuk film surealis seperti ini. Karena film begini kudu fokus banget nontonnya. Nggak bisa nonton pas mood jelek atau lagi ngantuk.... Haha.

Anonim mengatakan...

jelek jelek jelek banget ini film nggak seperti film2 sebelumnya

Anonim mengatakan...

ketika menonton mendadak : menguap, mengantuk...tidur

Anonim mengatakan...

All Kehidupan Beau is Joaquin Phoenix dan Joaquin Phoenix is all Beau...creppy

Anonim mengatakan...

memperlihatkan psikologi fantasy hybrid seksualitas beau pasca akil baliq

Anonim mengatakan...

film panjang yang menajubkan kegilaan imajinasi alur cerita

Anonim mengatakan...

ayooo review extraction 2...penggemar mu siap membaca bang wkwkwk

Anonim mengatakan...

film seks yang pantas di tonton semua kalangan

Anonim mengatakan...

ngantuk

Anonim mengatakan...

gila bener ini film bikin gue panik parah

Anonim mengatakan...

review nya asyik banget

Anonim mengatakan...

thanks mas atas review nya

Anonim mengatakan...

terimakasih mas rasyid

Anonim mengatakan...

3 jam yang melelahkan

Anonim mengatakan...

durasi ada yang lebih panjang dan bagus daripada film ini nggak ya

Anonim mengatakan...

jelek apa daya ini film rotten tomatoes

Anonim mengatakan...

thanks mr.rasyid