10 FILM INDONESIA TERBAIK 2023
Tahun 2023. Tahun di mana sampai tulisan ini diunggah, sudah 18 film Indonesia menembus sejuta penonton, memecahkan rekor tahun 2019 (15 film). Angka itu bisa bertambah mengingat masih ada 13 Bom di Jakarta.
Tahun 2023 juga tahun kejayaan para setan, sebab dari 18 judul penghuni "klub sejuta" tadi, 13 di antaranya adalah horor. Kesuksesan finansial itu sayangnya belum dibarengi kualitas. Hanya segelintir horor lokal tahun ini yang patut disebut "bagus".
Bagi saya sendiri, 2023 adalah tahun di mana saya makin selektif memilih tontonan. Total hanya 77 film Indonesia yang ditonton, baik melalui penayangan reguler di bioskop, layanan streaming, hingga festival. Alasannya klise. Masalah waktu. Karena alasan serupa, bisa jadi kuantitas tulisan di blog ini akan menurun.
Tapi biarlah masa depan menjadi rahasia. Sekarang waktunya merayakan pencapaian sinema Indonesia selama setahun terakhir, yang sebenarnya, di luar dominasi horor, menunjukkan secercah harapan berupa eksplorasi genre serta tema.
Seperti biasa, daftar "Film Indonesia Terbaik" tahun ini bakal diisi oleh 10 judul, namun sebelumnya, izinkan saya memberi penghargaan khusus untuk beberapa film yang juga punya kualitas mumpuni meski tak menembus daftar utama.
Terdapat lima film yang masuk ke dalam honorable mentions, yaitu: Tuhan, Izinkan Aku Berdosa yang mengembalikan wajah lama Hanung Bramantyo sebagai sineas yang berani menyulut kontroversi melalui kisah religi; Star Syndrome selaku karya penyutradaraan ketiga Soleh Solihun yang mengajak penontonnya menyelami seluk beluk industri musik; Pemukiman Setan yang melanjutkan upaya Charles Gozali membawa angin segar untuk horor Indonesia berkat eksplorasi genrenya; Hello Ghost yang membuktikan bahwa sineas kita mampu membuat remake yang superior dibanding versi aslinya; dan Ketika Berhenti di Sini yang mengangkat kisah mengenai duka manusia secara mendalam sekaligus kreatif.
Berikut adalah daftar 10 FILM INDONESIA TERBAIK 2023 versi Movfreak (Autobiography sudah masuk di daftar tahun 2022):
Tatkala industri perfilman kita masih cenderung Jawa-sentris, road movie dari Timur yang mengisahkan penolakan karakternya terhadap stagnasi kehidupan ini pun terasa makin menonjol, di luar kualitasnya yang memang Solid.
Sebuah produk langka. Remake yang sanggup menyatukan modernisasi dengan kesetiaan akan materi asli yang berasal dari era berbeda secara seimbang.
Satu lagi remake Indonesia yang tampil memukau tahun ini. Sensitivitas yang filmnya bawa tatkala membahas isu berat mengenai kesehatan mental dan bunuh diri jadi keunggulan utama.
Fajar Nugros bertransformasi dalam dua tahun terakhir, dari sineas komersil dengan kualitas karya rata-rata, menjadi figur yang gemar bereksperimen. Bagaimana ia membawa kisah Ramayana ke era media sosial ini adalah bukti nyata.
Ismail Basbeth menegaskan peran sinema alternatif. Bahwa karya-karya dari lingkup alternatif semestinya menyediakan ruang untuk tuturan yang terlalu riskan dibawakan di arus utama.
Sebagaimana Ismail Basbeth di Sara, Lucky Kuswandi menjadikan Dear David sebagai sarana mendobrak ketabuan, membicarakan hal yang sesungguhnya humanis, namun dipandang amoral oleh perspektif normatif.
Pilihan yang mungkin kurang disetujui banyak orang, tapi di karya terbarunya ini, Angga Dwimas Sasongko mewakili banyak keresahan dalam batin saya, terkait caranya mendefinisikan ulang istilah "rumah" dan "pulang" di mata para perantau.
Komedi romantis cerdas nan mengharukan, yang mengingatkan soal pentingnya keseimbangan kognisi dan afeksi dalam percintaan. Betapa cinta memang indah untuk dirasakan, namun jangan sampai luput menyisakan ruang bagi pemikiran. Karena pada akhirnya, ganjil dan genap harus selalu berjalan beriringan.
Beginilah jadinya sewaktu ensemble cast kelas satu memperoleh mater yang juga berbobot. Sembari menyentil tendensi masyarakat modern untuk asal menghakimi di media sosial, Wregas mengingatkan penonton akan kompleksitas sebuah kebenaran yang tak pernah absolut.
Sebuah surat cinta. Surat cinta bagi genre komedi romantis, surat cinta (dengan sedikit bumbu keresahan) bagi industri perfilman tanah air, pula surat cinta bagi pahit-manis suatu hubungan cinta. Yandy Laurens menggila lewat sebuah karya yang memiliki segalanya, dari beraneka rasa dalam batin manusia, hingga kreativitas bercerita di banyak lini. Sebuah mahakarya yang hanya lahir beberapa tahun sekali di industri perfilman kita.
REVIEW - SIKSA NERAKA
Di sampul belakangnya, komik Siksa Neraka buatan M.B. Rahimsyah menyapa para pembaca dengan sebutan "adik-adik". Dari situ nampak jelas kesesuaian antara gaya bercerita dan target pasarnya. Sebuah ceramah agama sederhana bernuansa fearmongering yang bakal ditelan bulat-bulat oleh anak-anak. Cocok.
Ketika diadaptasi ke layar lebar, muncul perubahan. Walau masih memakai teknik berceramah serupa, kadar gore tinggi memberinya rating 17 tahun ke atas. Jadilah Siksa Neraka versi film sebuah suguhan bagi penonton dewasa, yang tak mengindahkan pola pikir kompleks orang dewasa. Hasilnya kontradiktif.
Mari tengok perbedaan lainnya. Di komik, sosok yang menyaksikan siksaan neraka adalah Rasulullah, di tengah Isra Mikraj. Sebuah perjalanan sarat keajaiban di mana segalanya dapat terjadi. Di film, peran tersebut diemban oleh gadis remaja (indigo?) yang sejak kecil bisa melihat orang mati tengah mendapat siksaan neraka. Bagaimana mungkin fenomena itu terjadi bila siksa neraka baru terjadi pasca akhir dunia?
Mengadaptasi Siksa Neraka jelas memerlukan modifikasi, mengingat komiknya tak memiliki alur. Supaya muncul dampak emosi, naskah buatan Lele Laila mengajak kita menyelami hidup empat protagonisnya. Saleh (Rizky Fachrel), Fajar (Kiesha Alvaro), Tyas (Safira Ratu Sofya), dan Azizah (Nayla D. Purnama), tumbuh dengan didikan agama yang cukup keras dari sang ayah, Ustaz Syakir (Ariyo Wahab). Kecuali Tyas yang penurut, tiga anak lain menyimpan rahasia penuh dosa.
Gagasan dasar modifikasinya patut diapresiasi, meski seringkali saya berharap naskahnya konsisten meletakkan fokus pada pembangunan karakter alih-alih menyibukkan diri dengan menyelipkan penampakan di sana-sini. Di satu titik, jenazah seorang remaja yang mati bunuh diri mendadak "hidup kembali" setelah didoakan, tanpa tujuan pasti, selain untuk mengisi durasi dan memenuhi kewajiban melempar jump scare.
Singkat cerita, keempat protagonis kita mengelabui orang tua mereka, diam-diam pergi dari rumah di tengah hujan badai. Sesampainya di sungai, dalam adegan konyol dengan eksekusi luar biasa canggung, mereka terbawa arus. Tiga di antaranya meninggal, menyisakan Tyas si bocah "berkemampuan khusus" sebagai satu-satunya korban selamat.
Bersama Tyas, kita pun dibawa menyaksikan siksaan demi siksaan yang dialami ketiga saudaranya. Jangan harapkan kuantitas tinggi, sebab siksa neraka yang jadi jualan utama cuma muncul sepotong-sepotong, diikuti oleh flashback guna menjelaskan dosa apa yang karakternya lakukan hingga layak menerima hukuman tersebut.
Di bawah pengarahan Anggy Umbara yang sepanjang karirnya tak pernah ragu mengumbar kekerasan, sajian gore milik Siksa Neraka memang nampak brutal sekaligus menyakitkan, dengan balutan efek CGI yang tidak seberapa buruk untuk ukuran horor lokal.
Di sela-sela kunjungan ke neraka, kita pun diajak mengobservasi duka Ustaz Syakir beserta istrinya, Rika (Astri Nurdin), yang lambat laun menyadari adanya cacat pada pola asuh mereka. Keputusan untuk tak menutup mata perihal dosa orang tua merupakan satu lagi poin positif di penceritaan Siksa Neraka, biarpun dalam prosesnya, timbul gangguan berupa deretan kekonyolan yang tidak disengaja. Sulit menahan tawa sewaktu melihat para warga, dengan suara keras, bergosip mengenai keempat anak Ustaz Syakir tepat di hadapan sang kepala keluarga.
Apakah Siksa Neraka terasa shocking? Ya, sayangnya secara negatif. Azizah si bungsu mencuri, lalu memfitnah teman sekelasnya sampai ia bunuh diri. Sungguh kesalahan besar, namun perlukah filmnya memperlihatkan wajah gadis semuda itu (diperankan oleh aktris 16 tahun) dipukul berkali-kali menggunakan gada hingga remuk?
Bukan perkara moral, tapi menyuguhkan kekerasan brutal terhadap anak, dalam film yang (katanya) ingin mengangkat nilai-nilai agama, justru terkesan kontradiktif. Bandingkan dengan komiknya yang menjadikan orang dewasa sebagai penerima hukuman di neraka. Ketika Siksa Neraka turut menunjukkan siksaan yang diterima teman Azizah yang mengakhiri hidupnya sendiri dengan membuatnya gantung diri berkali-kali, saya makin yakin bahwa film dengan tingkat sensitivitas rendah ini tidak benar-benar menaruh kepedulian.
Kalau komik Siksa Neraka menyiksa para pendosa dewasa atas nama pendidikan agama bagi anak, versi filmnya menyiksa anak untuk membuat hiburan bagi orang dewasa.
REVIEW - THE BOY AND THE HERON
Satu dekade pasca mengucapkan salam perpisahan melalui The Wind Rises yang berpijak kuat pada realita, Hayao Miyazaki kembali, namun dengan sisi bertolak belakang. Bahkan dibanding keajaiban demi keajaiban yang kerap ia lahirkan, The Boy and the Heron merupakan karya paling sureal dari Miyazaki. Perlu menontonnya lebih dari sekali untuk bisa sepenuhnya menangkap curahan personal sang sutradara legendaris.
The Boy and the Heron memang berstatus semi-autobiografi, di mana si protagonis, Mahito (Soma Santoki), dibuat berdasarkan masa kecil Miyazaki. Di tengah Perang Pasifik, Mahito yang berusia 12 tahun kehilangan sang ibu, Hisako, akibat kebakaran yang menghanguskan rumah sakit tempatnya dirawat. Beberapa waktu berselang, Mahito pindah dari Tokyo ke sebuah pedesaan, sementara ayahnya, Shoichi (Takuya Kimura), menikah lagi dengan Natsuko (Yoshino Kimura), adik dari mendiang sang istri yang kini tengah mengandung.
Mahito memakai topeng ketangguhan untuk menyembunyikan luka yang ia pendam. Dia mematuhi segala anjuran Natsuko, padahal Mahito enggan menerimanya sebagai ibu baru karena masih merindukan Hisako (gambaran tubuh Hisako dilalap api terus menghantui mimpinya). Dia pun berjalan tegak meski baru berkelahi dengan teman sekolahnya. Baju Mahito compang-camping, namun wajahnya tak menampakkan rasa sakit. Tapi tidak lama kemudian ia pukulkan sebuah batu ke pelipisnya hingga berdarah.
Miyazaki menggambarkan dunia bocah yang lebih kompleks dari seharusnya akibat kemurnian yang direnggut terlalu cepat, entah oleh perang atau kehilangan sosok ibu. Hati Mahito dipenuhi beragam rasa yang tak semuanya mampu ia tangani. Begitu penuh, hingga ia merasa perlu melukai diri sendiri.
Sampai terjadilah perkenalan antara Mahito dan burung cangak (heron) yang bisa bicara (Masaki Suda). Burung itu membawa Mahito memasuki dunia ajaib tempatnya bertemu dengan sekelompok parkit raksasa pemakan manusia, makhluk putih menggemaskan bernama Warawara, Kiriko (Ko Shibasaki) si nelayan tangguh, dan Lady Himi (Aimyon) si gadis misterius pengendali api.
Berlatar dunia yang masih "sangat Ghibli", dengan barisan karakter imajinatif, serta pengadeganan kreatif (momen saat Mahito mengapung dari dasar air lalu terbangun dari tidur adalah contoh ide jenius Miyazaki) yang dianimasikan secara indah, di mana semburat cahaya matahari yang menembus awan senja dan pepohonan rindang nampak bak anugerah yang kadang lalai manusia syukuri, Miyazaki menyusun kisah mengenai "luka". Kematian mendatangkan luka bagi yang ditinggalkan, sedangkan kehidupan pun tak ubahnya upaya individu mengakrabkan diri dengan luka. Jika demikian, perlukah luka dihapuskan?
Kelak kebenaran di balik dunia fantasi yang Mahito kunjungi bakal tersibak. Sebuah dunia yang tercipta guna meniadakan luka, tapi untuk mendirikannya saja, tak terhitung berapa nyawa telah melayang. Sebuah dunia yang katanya sempurna, tapi para pelikan kesulitan mendapatkan sumber makanan. Melalui utopia yang menciptakan paralel dengan era Kekaisaran Jepang tersebut, Miyazaki bicara mengenai kemustahilan menghindari luka.
Menggunakan narasi yang bergerak cukup abstrak layaknya bait-bait puisi, Miyazaki membawa Mahito memahami bahwa dunia beserta isinya bakal senantiasa terluka. Kematian serta kehilangan pun takkan bisa dihindari, bahkan sejak dini (keguguran digambarkan oleh peristiwa dimakannya para Warawara oleh sekumpulan pelikan). Manusia hanya bisa belajar menerima, kemudian pelan-pelan mengobati luka tersebut.
Apakah petualangan Mahito sungguh-sungguh terjadi, ataukah sekadar proses coping seorang bocah menghadapi duka dengan mengubah penyebab kematian sang ibu menjadi kekuatan sakti pembawa harapan yang menolong banyak makhluk hidup? Jawabannya tidaklah penting. Seperti Mahito, kita hanya perlu sejenak menemui masa lalu, berdamai dengan luka-luka yang ia tinggalkan, sebelum akhirnya melangkah menuju masa depan.
REVIEW - RUMAH MASA DEPAN
Mengadaptasi sinetron berjudul sama yang tayang di TVRI tahun 1984, kesederhanaan milik Rumah Masa Depan bukanlah wujud kelemahan, melainkan penawar rindu pada "drama rumah" yang mengedepankan nilai-nilai kekeluargaan, sebagaimana kerap ditampilkan oleh berbagai tontonan zaman dahulu.
Tentu ada efek samping. Kemiripan dengan produk-produk masa lalu juga menyisakan beberapa sudut pandang yang kini terkesan usang. Misalnya keengganan memotret Sukri (Fedi Nuril) sebagai pria bermasalah, saat ia berulang kali lalai mempertimbangkan opini keluarga, terutama sang istri, Surti (Laura Basuki), dalam mengambil keputusan.
Tapi ketika kebanyakan film Indonesia sekarang cenderung memandang rumah selaku properti semata, Rumah Masa Depan dengan perspektif lawasnya yang punya kecenderungan meromantisasi, melihat rumah sebagai tempat spesial di mana beragam kenangan terukir di tiap sisinya. Lihat kredit pembukanya, tatkala musik mendayu gubahan Andhika Triyadi mengiringi gerak kameranya yang memotret sudut-sudut kediaman protagonis kita.
Atas permintaan dua anak mereka, Bayu (Bima Azriel) dan Gerhana (Ciara Nadine Brosnan), Sukri dan Surti setuju untuk berangkat liburan, yang juga jadi cara melepas penat di tengah sulitnya kondisi pekerjaan masing-masing. Omset toko sayur Sukri menurun, sedangkan Surti, yang banting setir menjadi youtuber pasca menjuarai kompetisi memasak di televisi, mendapati tayangan videonya tak kunjung melonjak.
Sampai datang sebuah kabar duka. Pak Musa (Cok Simbara), ayah Sukri, meninggal dunia, sehingga destinasi liburan beralih ke desa Cibeureum, kampung halaman Sukri. Di sanalah masalah lama yang belum jua tuntas kembali memanas, yakni kebencian Bu Musa (Widyawati) terhadap si menantu.
Konflik lain turut hadir. Entah yang cenderung ringan seperti upaya Bayu beradaptasi dengan lingkungan baru, maupun perihal kompleks macam gangguan mafia sayur yang menyulitkan petani menjual hasil panen, sampai misteri mengenai pelaku tindak pemukulan pada Pak Kades (Budi Dalton) yang turut menyeret Bu Musa.
Sesungguhnya subplot menumpuk tersebut, yang bisa melahirkan satu musim serial tersendiri, agak mengkhianati tujuan Rumah Masa Depan untuk tampil sederhana. Alhasil tak semuanya benar-benar tergali secara utuh, termasuk kasak-kusuk mengenai keterlibatan Bu Kades (Yurike Prastika) dalam permainan harga sayuran yang luput diberi konklusi.
Beruntunglah Danial Rifki (La Tahzan, Haji Backpacker, 99 Nama Cinta) yang duduk di kursi sutradara sekaligus bertugas menulis naskah punya kemampuan bertutur yang apik. Subplot yang penuh tak pernah terasa kacau berkat kerapiannya dalam bercerita. Cara Danial mengatur tempo pun mendatangkan kenyamanan kala menonton. Penyutradaraan yang murni berfokus pada menjaga kestabilan tanpa perlu banyak pamer gaya ini senada dengan semangat kesederhanaan filmnya.
Barisan pemainnya tak kalah memikat. Ciara Nadine Brosnan kembali mencuri perhatian sebagai bocah lucu dengan beragam tingkah nyeleneh, walau sesuai dugaan, duet Laura Basuki dan Widyawati memancarkan sinar paling terang. Sama-sama piawai menyeimbangkan olah rasa serius dengan kemampuan menangani komedi, kolaborasi keduanya memuncak dalam adegan berlatar kamar mandi di penghujung durasi.
Di situlah Rumah Masa Depan melontarkan pesan utamanya. Bahwa keluarga semestinya saling menyayangi serta memahami. Bicarakanlah sewaktu timbul masalah, jangan pula ragu mengucap kata "maaf" bila berbuat salah. Sederhana, tapi bukankah keluarga semestinya memang begitu?
REVIEW - WONKA
Lupakan trailernya yang cenderung generik. Wonka adalah persembahan sinematik penuh pernak-pernik unik, ketika Paul King, yang menyutradarai sekaligus menulis naskahnya bersama Simon Farnaby, membawa kita memasuki dunia ajaib yang tiap sudutnya mampu memunculkan decak kagum.
Beberapa orang bakal mengkritisi minimnya sisi kelam yang identik dengan novel karya Roald Dahl, maupun dua adaptasi layar lebar sebelumnya, Willy Wonka & the Chocolate Factory (1971) dan Charlie and the Chocolate Factory (2005). Tapi selaku prekuel yang menyoroti masa muda penuh impian seorang Willy Wonka (Timothée Chalamet), perbedaan tone tersebut sejatinya masuk akal. Lagipula, untuk apa merindukan kegelapan di dunia yang lebih membutuhkan kebahagiaan seperti sekarang?
Didasari kenangan masa kecil kala menyantap cokelat lezat buatan sang ibu (Sally Hakwins), Wonka pun bercita-cita membuka toko cokelat di Galeries Gourmet yang tersohor. Prosesnya tak mudah, terutama akibat tentangan dari sang pesaing, Arthur Slugworth (Paterson Joseph), yang menyuap si kepala polisi (Keegan-Michael Key) untuk menghancurkan usaha Wonka.
Wajar jika para pesaing ketar-ketir, sebab Wonka bukan pembuat cokelat biasa. Ada cokelat yang dapat membuat orang melayang setelah memakannya, ada pula cokelat dengan beragam bahan dasar aneh, dari susu jerapah hingga sambaran petir. Desainnya pun beraneka rupa, yang seluruhnya Wonka ciptakan di pabrik portabel yang tersimpan dalam kopernya.
Visi Paul King, didukung desain produksi sarat kreativitas, berhasil menebar kesan magis di tiap sisi yang penonton kunjungi. Tentu saja, mengingat Wonka lahir dari kepala manusia British, balutan humornya pun memiliki keeksentrikan serupa.
Filmnya tak menyisakan ruang bagi kenormalan. Setiap menit menyediakan lahan eksplorasi yang playful, bahkan di saat karakternya mesti hidup dalam penderitaan. Di satu titik, Wonka terjebak tipu daya Mrs. Scrubbit (Olivia Colman) dan Bleacher (Tom Davis), yang membuatnya terkurung bersama orang-orang bernasib serupa. Salah satunya seorang bocah bernama Noodle (Calah Lane) yang tidak mengetahui identitas orang tuanya.
Mereka tidak berdaya, menderita, dan cuma aktivitas bernyanyi bersama yang menjaga harapan agar tetap tersisa. Didukung barisan lagu catchy, termasuk versi baru dari Pure Imagination, Paul King menjadikan musikal sebagai cara karakternya mengekspresikan harapan mereka. Pengadeganannya imajinatif, layaknya mimpi indah yang kemunculannya mendatangkan kebahagiaan yang menyentuh hati.
Timothée Chalamet piawai mengolah gestur saat melakoni musikal, walau ada kalanya, untuk sebuah presentasi bigger-than-life macam Wonka, cara sang aktor berekspresi masih terlalu berkutat pada gaya realis yang memang jadi ciri khasnya. Sedangkan dua nama senior, Olivia Colman dan Sally Hawkins tampil tanpa cela sebagai dua figur berlawanan. Colman menjadi sosok keji yang gampang dibenci, sebaliknya, Hawkins dalam kemunculan singkatnya mampu meniupkan kehangatan.
Jika perlu gambaran yang agak menggambarkan (namun tidak berlebihan), Wonka ibarat peleburan antara Paddington dengan La La Land. Sebuah kejutan menyenangkan yang lebih manis dari sekotak cokelat. Rasa manis itu bernama "kebersamaan".
REVIEW - 13 BOM DI JAKARTA
13 Bom di Jakarta tak ubahnya b-movie Hollywood yang langsung dilempar ke rak DVD, dengan plot, karakter, serta baku tembak yang seluruhnya generik. Tapi menilik iklim film aksi Indonesia yang cenderung jalan di tempat, kehadiran karya terbaru Angga Dwimas Sasongko ini masih mampu mengembuskan sedikit angin segar.
Sesuai judulnya, alkisah Jakarta tengah diteror oleh sekelompok teroris, yang di bawah pimpinan Arok (Rio Dewanto) dan sang ahli teknologi, Waluyo (Muhammad Khan), mengancam bakal meledakkan 13 bom yang telah ditanam di berbagai sudut kota, apabila permintaan uang dalam bentuk kripto yang harus dikirim melalui Indodax tak dipenuhi. Yah, 13 Bom di Jakarta memang bak iklan berdurasi dua setengah jam bagi Indodax.
Penyelidikan tim kontraterorisme yang dimotori oleh Damaskus (Rukman Rosadi), Karin (Putri Ayudya), dan Emil (Ganindra Bimo) berujung melibatkan dua pendiri Indodax, Oscar (Chicco Kurniawan) dan William (Ardhito Pramono), yang dicurigai punya kaitan dengan gembong teroris tersebut.
Tidak ada yang spesial dari alur dalam naskah hasil tulisan Angga Dwimas Sasongko dan M. Irfan Ramly. Muncul pula ambiguitas ketika menyaksikan beberapa anggota tim kontraterorisme kerap melakukan blunder. Apakah itu kesengajaan selaku cara naskahnya mengkritik ketidakbecusan instansi negara, atau cuma wujud kemalasan naskahnya yang memaksakan kebodohan karakter supaya alur dapat bergerak?
Tapi setidaknya, di paruh awal 13 Bom di Jakarta tampil dengan urgensi tinggi. Pengarahan Angga, tata kamera besutan Arnand Pratikto, penyuntingan Hendra Adhi Susanto, musik gubahan Abel Huray, hingga gerak-gerik jajaran pemainnya, memancarkan kesan bahwa karakternya berpacu dengan waktu, yang berujung membangun intensitas tinggi.
Sayangnya urgensi itu melemah, seiring kegagalan usaha naskah menjalin ikatan antara penonton dengan karakternya. Oscar dan William bukan protagonis dengan penokohan menarik layaknya para komplotan di Mencuri Raden Saleh yang tahun lalu membuka mata Visinema kalau film aksi berada dalam jangkauan mereka.
Alhasil, tatkala paruh kedua mengesampingkan ancaman para teroris, lalu mengambil jalan memutar guna menghabiskan lebih banyak waktu bersama duo Indodax tersebut, daya tarik serta intensitas filmnya menurun drastis. Bahkan di saat Lutesha yang memerankan Agnes, kekasih William, memberi tambahan warna melalui performa yang mengungguli materi yang sang aktris dapatkan.
Sebagai spektakel besar, film ini perlu lebih dari akting kuat para pemain. Putri Ayudya meyakinkan dalam memerankan agen wanita tangguh, begitu pula Rio Dewanto sebagai teroris penuh dendam yang menganggap dirinya adalah "manusia yang dikubur hidup-hidup oleh Tuhan", sementara Muhammad Khan kembali membuktikan kualitasnya yang masih jarang diapresiasi, namun semua bakal percuma andai 13 Bom di Jakarta tak memiliki aksi seru.
Jangan mengharapkan suguhan aksi spesial. Berondongan peluru sampai kebut-kebutan di tengah jalan, seluruhnya terasa tipikal. Tanpa koreo maupun tata kamera mumpuni. Klimaksnya pun melakukan dosa besar dengan luput melibatkan penonton dalam proses peretasan yang para protagonisnya lakukan. Mendadak salah satu dari mereka berteriak, "Fuck yes!", selaku penanda bahwa aksinya telah berhasil. Seolah Angga sendiri kehabisan ide, kebingungan harus bagaimana menyajikan peretasan itu supaya tampil menarik dan menegangkan.
Walau demikian, departemen teknis 13 Bom di Jakarta patut diapresiasi. Menilik lambatnya pertumbuhan genre aksi di Indonesia, berbagai efek spesial, baik yang bersifat praktikal atau dengan bantuan CGI, merupakan sebuah pencapaian yang layak diberi apresiasi.
(JAFF 2023)
REVIEW - NAPOLEON
Napoleon mungkin bukan film biografi dan pelajaran sejarah dengan tingkat akurasi tinggi. Tidak perlu jadi sejarawan untuk tahu bahwa sang Kaisar Prancis tak pernah menembakkan meriam ke piramida seperti digambarkan oleh Ridley Scott di filmnya. Tapi sebagaimana di karya-karya lain sang sutradara yang juga bersinggungan dengan sejarah, akurasi bukanlah tujuan utama.
Tapi justru itu alasan Napoleon tampil menggigit. Dia adalah biopic yang jadi lahan sang sineas menyuarakan visi artistiknya, ketimbang sebatas menceritakan ulang catatan sejarah. Diawali dari pemenggalan Marie Antoinette di tengah Revolusi Prancis pada 1793, Napoleon menyusun tragikomedi mengenai "sang pembawa kematian" yang konon telah merenggut tak kurang dari tiga juta nyawa.
Ditulis naskahnya oleh David Scarpa, sebagai biopic, film ini membawa bentuk narasi unik. Ditautkannya perang-perang yang dilewati Napoleon Bonaparte (Joaquin Phoenix), dengan pernikahannya dan Joséphine (Vanessa Kirby). Keduanya punya hubungan rumit cenderung toxic yang sarat dinamika cinta/benci.
Joséphine berselingkuh, sedangkan Napoleon menuruti saran ibunya (Sinéad Cusack) untuk menghamili wanita lain, sebagai cara menguji apakah sang istri memang tak bisa memberinya keturunan. Mereka saling mengutarakan sakit hati, hanya untuk sejurus kemudian menyampaikan ketidakmampuan hidup tanpa satu sama lain.
Mungkin di mata Scott dan Scarpa, demikianlah hubungan Napoleon dan Prancis. Sebagaimana di pernikahannya, kepercayaan diri berlebih telah membutakan Napoleon, membuatnya gagal menyadari adanya kemungkinan kalau sang istri maupun tanah airnya terluka akibat tindakannya. Di mata Napoleon, ia tulus mencintai mereka, begitu pula sebaliknya.
Napoleon menumpahkan banyak darah di peperangan, karena baginya itulah cara mengekspresikan cinta. Dia berperang demi melindungi negara serta keluarga. Bahkan serbuan ke Mesir ia anggap sebagai bentuk "pembebasan". Cara si protagonis memandang kehidupan itulah yang jadi pondasi komedi filmnya, apalagi ketika Joaquin Phoenix menginterpretasikan karakternya bak anak kecil manja yang merengek saat sesuatu tak berjalan sesuai harapan.
Harus diakui, pendekatan tersebut menciptakan inkonsistensi tone. Ada kalanya Napoleon jadi cerita sejarah kelam nan brutal, namun tidak jarang ia tampil bak period nyeleneh macam The Favorite buatan Yorgos Lanthimos. Tapi daya hiburnya tak bisa disangkal, dan sekali lagi, menunjukkan visi Ridley Scott. Dia punya sesuatu untuk disuarakan, lalu menolak tunduk pada aturan-aturan bercerita maupun tetek bengek akurasi sejarah.
Tapi rasanya takkan ada yang menyangkal kehebatan Scott dalam mengarahkan sekuen peperangan. Besar, brutal, dan terpenting, tidak artificial. Berbeda dengan banyak sineas modern bakal terlampau bergantung pada efek komputer hampa jika dihadiahi bujet ratusan juta (konon Napoleon memakan biaya 200 juta dollar), Scott tak ubahnya komandan perang lihai yang mengincar kesempurnaan, hingga bersedia memerhatikan detail terkecil demi kemenangan. Sama seperti saat Napoleon memamerkan kecerdikan strateginya dengan memanfaatkan danau es di Pertempuran Austerlitz.
REVIEW - PEMUKIMAN SETAN
Bagi saya, salah satu penyebab stagnasi kualitas horor lokal adalah perihal referensi. Entah disengaja demi memenuhi selera pasar, atau memang banyak sineas kita yang miskin tontonan, apa pun ceritanya, hasil akhirnya nampak seragam. Sampai Charles Gozali memutuskan ikut meramaikan medan perang melalui Qodrat yang merombak pakem horor religi lewat injeksi elemen martial arts.
Walau belum serevolusioner pendahulunya, Pemukiman Setan juga berangkat dengan semangat serupa, yakni memodifikasi formula usang horor Indonesia. Adegan awalnya, yang membawa kita mundur ke era kerajaan Jawa saat dukun bernama Mbah Sarap (Putri Ayudya) dihabisi di depan massa, bak penegas bagi semangat itu. Musik mencekam ditambah eksekusi gore mumpuni miliknya seketika merebut atensi.
Di masa sekarang, kita berkenalan dengan Alin (Maudy Effrosina), yang selepas kematian orang tuanya, mesti membanting tulang seorang diri untuk menghidupi adiknya. Tuntutan finansial itulah yang membuat Alin memaksa Gani (Bhisma Mulia), Fitrah (Daffa Wardhana), dan Zia (Ashira Zamita), untuk mengikutkannya dalam rencana merampok sebuah rumah.
Bagaikan kombinasi Don't Breathe dan Evil Dead, empat karakternya segera menyadari ketidakberesan di sana. Tatkala jalan keluar dari rumah mendadak lenyap, muncul pemandangan-pemandangan aneh, hingga terjadi pertemuan dengan seorang wanita misterius (Adinda Thomas), peran para pemangsa pun berubah jadi target buruan.
Paruh pertama Pemukiman Setan cenderung tampil konvensional. Konsep "kutukan cacing" miliknya cukup unik, kombinasi efek praktikal dan CGI yang tersaji apik, serta kelihaian Charles mengolah latar sempitnya agar tak terkesan monoton, secara bentuk, filmnya masih berkutat di pemandangan familiar saat satu per satu karakternya berusaha kabur dari teror gaib.
Walau tak sampai membuat filmnya melelahkan, beberapa momen yang bergulir terlalu lama berujung mengurangi intensitas yang seharusnya terus mencengkeram dan jadi senjata utama film berlokasi tunggal. Hingga datanglah Urip (Teuku Rifnu Wikana), paranormal yang berada di rumah itu guna menyelidiki kutukan Mbah Sarap yang konon belum sepenuhnya lenyap.
Kehadiran Urip jadi titik balik yang membuat Pemukiman Setan semakin kaya. Urip bukanlah dukun yang kaku, yang efektif memancing tawa berkat mulut tanpa filternya. Jangan khawatir terjadi inkonsistensi tone, sebab naskah buatan Charles Gozali dan Gea Rexy tak serta merta membuat semua karakternya tiba-tiba melawak, namun menjadikan komedi sebagai hal yang eksklusif diperuntukkan bagi Urip.
Urip yang tampil bak Donnie Yen dengan kearifan Jawa melalui jurus-jurus ala wing chun miliknya, turut membuka jalan bagi film ini untuk bertransformasi. Serupa Qodrat, paruh kedua Pemukiman Setan kental unsur martial arts. Hasilnya segar. Kapan lagi ada karakter di film horor lokal, yang merespon penampakan dengan memukul wajah si setan berulang kali?
Tapi berbeda dengan Qodrat yang aksinya berorientasi tangan kosong, sejak Urip membeberkan eksistensi pusaka yang dibutuhkan untuk mengakhiri kutukan Mbah Sarap, giliran suguhan martial arts berbasis senjata yang ditawarkan oleh Pemukiman Setan.
Maudy Effrosina tampil meyakinkan layaknya pendekar jago pedang di film kungfu, pula nampak tangguh berkat sorot matanya yang tajam. Jajaran pemain lain pun tidak kalah memikat. Adinda Thomas adalah setan cerewet yang memberi tenaga di tiap kemunculannya, Putri Ayudya begitu berkesan meski mendapat porsi singkat, bahkan Daffa Wardhana yang biasanya luar biasa kaku kali ini terlihat lebih nyaman di depan kamera.
Film ini mungkin takkan dibanjiri puja-puji sebanyak Qodrat karena beberapa kekurangannya (apa saya sudah menyebut pemakaian lagu Setia milik Jikustik yang sama sekali tidak cocok?), namun itu bukan masalah. Judul-judul spesial seperti Qodrat dan Pengabdi Setan memang hanya lahir beberapa tahun sekali. Tapi dipandang sebagai karya yang berdiri sendiri, Pemukiman Setan kembali membuktikan kapasitas Charles Gozali mengembuskan angin segar di industri horor Indonesia.
(JAFF 2023)
REVIEW - TUHAN, IZINKAN AKU BERDOSA
Ada kalanya nama Hanung Bramantyo identik dengan film beraroma religi yang memantik kontroversi. Tengok saja Doa yang Mengancam (2008), Perempuan Berkalung Sorban (2009), Sang Pencerah (2010), hingga Tanda Tanya (2011). Pada masa itu, tiap Hanung merilis film, pertanyaan yang muncul di benak saya adalah, "Keributan apa lagi yang bakal menyusul?".
Lebih dari satu dekade berselang, setelah berkutat di film-film komersil dengan kualitas naik turun, Tuhan, Izinkan Aku Berdosa membawa kembali sang sutradara ke wajah lamanya. Mengadaptasi novel Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur karya Muhiddin M. Dahlan, Hanung siap membuat para radikal kebakaran jenggot melalui kritikan tajam dari kisah seorang wanita yang mengutuk Tuhan.
Dibuka oleh peringatan bahwa filmnya mengandung konten yang bakal terasa ofensif bagi beberapa kalangan, kita diajak berkenalan dengan Kiran (Aghniny Haque), mahasiswi alim nan cerdas yang terseret masuk ke organisasi Islam radikal. Awalnya Kiran merasa nyaman, sampai ia mendapati kemunafikan orang-orang di sana.
Naskah buatan Ifan Ismail menerapkan gaya non-linear, yang terus melompat antara masa kini dan masa lampau. Latar masa kini memperlihatkan Kiran yang sudah berubah 180 derajat, dari gadis religius menjadi pelacur dengan klien para politikus munafik yang memakai topeng agama. Penceritaannya tak selalu mulus. Terutama di paruh awal saat peristiwa dua masanya terkesan disusun acak, pun dengan transisi yang cenderung kasar.
Seiring waktu, kekurangan tersebut membaik, dan teknik non-linear miliknya makin menunjukkan fungsi sebagai alat bantu memahami dinamika batin si tokoh utama. Melihat cobaan demi cobaan yang dihadapi Kiran, ketika hal yang ia percaya berbalik menyudutkannya, mudah memahami alasan keimanannya terkikis.
Selain melempar kritik pada radikalisme, Tuhan, Izinkan Aku Berdosa juga membahas manipulasi laki-laki terhadap perempuan. Bukan cuma laki-laki dengan citra religius macam Ustaz Darda (Ridwan Roull Rohaz) atau Alim Suganda (Nugie) si politikus, mereka yang tak mengenakan topeng agama seperti Tomo (Donny Damara), dosen Kiran, pun demikian. Jika Kiran berhadapan melawan para lelaki pemegang kuasa tersebut, di mata masyarakat kita yang gemar melempar slut-shaming kepada perempuan, siapa yang bakal lebih dipercaya?
Skala penceritaan film ini membesar seiring meingkatnya level ancaman yang menghantui Kiran di tengah upayanya menghukum para laki-laki munafik. Bahkan ia tak ragu menanggalkan pendekatan realis demi tuturan yang lebih over-the-top ala b-movie bertema balas dendam.
Hasilnya memuaskan, meski aroma male gaze dalam caranya menyampaikan penderitaan perempuan tetap tercium, pun narasinya masih menyisakan beberapa lubang, sebutlah sedikit elemen deus-ex-machina di paruh akhir, serta ambiguitas terkait karakter Ami yang diperankan Djenar Maesa Ayu (Kenapa ia kembali memasuki rumah? Apakah ia mengkhianati Kiran?)
Titik terbaik film ini terjadi saat narasinya mencapai titik balik, yang menandai peralihan fokus narasi dari latar masa lalu ke masa kini, melalui adegan menggelegar berlatar puncak gunung tatkala Kiran meneriakkan tantangannya kepada Tuhan. Di situlah saya berujar, "Hanung yang lama sudah kembali".
(JAFF 2023)
REVIEW - ALI TOPAN
Kisah Ali Topan punya sejarah panjang. Diawali novel Ali Topan Anak Jalanan karya Teguh Esha, berlanjut ke adaptasi layar lebar berjudul sama di tahun 1977 dan Ali Topan Detektif Partikelir Turun ke Jalan dua tahun berselang, sebelum dihidupkan lagi dalam bentuk sinetron pada tahun 90-an.
Di bawah arahan Sidharta Tata (Waktu Maghrib), inkarnasi terbarunya yang punya judul jauh lebih sederhana, Ali Topan, mencoba tetap setia pada materi asli sambil berusaha membangun relevansi, dengan menjadikan sang protagonis figur sentral dalam perjuangan kaum akar rumput melawan kemapanan.
Ali Topan (Jefri Nichol) bukan sebatas anak jalanan. Bersama komunitas Warung Seni di Blok M, ia vokal membela mereka yang ditindas dan dipandang sebelah mata, entah para rakyat jelata yang tak berdaya, atau mereka yang memilih jalan hidup di luar sistem.
Diiringi gempuran lagu-lagu indi (termasuk kemunculan singkat grup Morfem), ditambah sosok karakter utamanya yang memenuhi stigma "anak skena", muncul kesan kalau Ali Topan berambisi mendapat citra edgy. Bukan masalah, sebab dengan penggarapan tepat, bisa saja ia tampil menggugah selaku perwakilan suara individu yang dibungkam.
Potensi tersebut sempat mencuat ketika Ali Topan bertemu dengan Anna Karenina (Lutesha), puteri seorang pengusaha kaya. Keduanya jatuh cinta, dan tentunya hubungan terlarang itu membuat banyak orang kebakaran jenggot. Sebutlah orang tua Anna, putera seorang menteri, hingga sekelompok ormas. Intinya, pihak-pihak pemegang kuasa yang memaksakan kontrol mereka.
Romansa yang menggugat kemapanan. Demikianlah cara Ali Topan memotret percintaan dua karakternya. Ditunjang jalinan chemistry Jefri Nichol yang kembali mumpuni memerankan bad boy, dan Lutesha yang mampu memberi daya tarik pada situasi sekecil apa pun, hubungan mereka, yang bak kombinasi Romeo-Juliet dengan Bonnie-Clyde, memang selalu menyenangkan untuk disimak.
Sewaktu Ali Topan memutuskan membantu Anna mencari kakaknya (Widika Sidmore) yang dahulu kabur dari rumah akibat jengah menghadapi kekangan orang tua, babak baru film ini dimulai. Formatnya bergeser ke arah road trip, mengajak kita singgah di tempat para kaum pinggiran, dari sanggar seni di sekitar area reklamasi hingga pemukiman kumuh di Kebumen. Anna yang untuk pertama kalinya turun ke jalan pun tersadar perihal ketidakadilan yang diderita masyarakat akibat keserakahan keluarganya dalam mengeruk pundi-pundi rupiah.
Ali Topan punya segalanya untuk melahirkan road trip yang lebih dari sekadar jalan-jalan manis. Sayang, naskah buatan Sidharta Tata dan Ifan Ismail (The Gift, Tumbal Kanjeng Iblis) membebani diri dengan subplot yang terlalu menumpuk, sehingga tak punya cukup ruang untuk berkembang. Misal konflik Ali Topan dan Bobby (Omara Esteghlal), yang tak memberi dampak emosi akibat minimnya eksplorasi hubungan persahabatan keduanya.
Sebelum perjalanan dimulai, Anna belum benar-benar yakin soal lokasi kediaman sang kakak, apakah di Jawa Tengah atau Yogyakarta. Tapi tanpa proses pencarian informasi memadai, tiba-tiba ia dan Ali Topan tiba tepat di depan rumah kakaknya. Ali Topan bukan tontonan buruk, tapi perjalanannya tak cukup lancar untuk bisa meninggalkan kesan, apalagi menggugah semangat perlawanan seperti yang diharapkan.
(JAFF 2023)
REVIEW - MONSTER (KAIBUTSU)
Monster diawali dengan aneh, saat menyoroti kebingungan Saori (Sakura Ando) menyaksikan tingkah janggal sang putera, Minato (Sōya Kurokawa). Begitu aneh, seolah Hirokazu Kore-eda mencoba pendekatan berbeda yang menjauh dari realisme khasnya. Wajar saya pikir, mengingat ini kali pertama sejak debutnya di Maborosi (1995), Kore-eda tak menyutradarai naskahnya sendiri (ditulis oleh Yuji Sakamoto).
Rupanya keanehan babak pertama itu merangkum pesan utama Monster, mengenai tendensi memberi cap "aneh" kepada seseorang atau sesuatu yang belum kita kenal betul. Mungkin orang-orang yang lebih suka mengalienasi dan menghakimi alih-alih berusaha mengenali itulah monster sesungguhnya.
Di mata Saori, guru puteranya yang bernama Hori (Eita Nagayama) adalah monster. Alasannya, berdasarkan cerita Minato, si guru kerap melakukan perundungan termasuk secara fisik. Hori sendiri tak nampak menyesali tindakannya. Terlihat seperti kasus sederhana tentang tindak kekerasan guru, sampai Monster menjabarkan sudut pandang lain dalam masalah tersebut.
Menerapkan metode Rashomon effect dalam penceritaannya, Monster memakai berbagai perspektif guna menyibak tirai kebenaran. Bukan cuma untuk gaya-gayaan, bukan pula sebatas untuk memfasilitasi twist (walau memang ada banyak kejutan tak terduga), melainkan pengingat bahwa tiap masalah selalu tak sesederhana kulit luarnya. Film ini memang tak menyoroti kultur masyarakat modern secara spesifik, namun tuturannya amat relevan di tengah era media sosial yang penuh kebiasaan "hakimi dulu, cari fakta kemudian".
Seiring kita berulang kali dibawa mengulangi deretan peristiwanya, yang dengan cerdik memakai hal-hal seperti kebakaran sebuah gedung atau suara sumbang alat musik tiup selaku penanda waktu, semakin kita memahami alasan di balik tindak-tanduk para karakter yang ada kalanya terasa janggal. Apakah Hori memang guru kejam? Ataukah Minato yang sejatinya seorang pendusta? Bagaimana Yori (Hinata Hiiragi), teman sekelas Minato yang jadi korban perundungan kawan-kawannya memegang peranan di masalah ini?
Setiap pemainnya berakting dengan keyakinan bahwa karakter mereka ada di sisi yang benar. Sakura Ando adalah ibu yang putus atas melihat ketidakpedulian pihak sekolah atas kondisi puteranya, Eita Nagayama tersenyum sinis akibat merasa diperlakukan tidak adil, sedangkan Sōya Kurokawa bergulat dengan setumpuk pertanyaan seputar proses tumbuh kembang.
Diiringi dentingan piano menghanyutkan selaku karya terakhir komposer legendaris Ryuichi Sakamoto, Kore-eda kembali menunjukkan gaya penyutradaraan khasnya. Dilahirkannya melankoli yang pelan-pelan menusuk kala menghadirkan rasa sakit, kemudian memeluk lembut saat membawa kehangatan. Di ending-nya yang berpotensi memunculkan diskusi panjang, Kore-eda seolah memberi ruang aman yang sukar didapat oleh karakternya di dunia. Ruang aman yang semestinya ada, andaikan masyarakat tak menghakimi hal yang belum mereka kenali.
(JAFF 2023)
REVIEW - EVIL DOES NOT EXIST
Evil Does Not Exist adalah kisah mengenai relasi manusia dan lingkungan, yang terasa menenangkan sekaligus menghipnotis dalam balutan tempo lambatnya. Sebuah benturan antara modernisasi dengan alam, yang seperti telah judulnya sampaikan, mempertanyakan ada atau tidaknya eksistensi kejahatan.
Menyaksikan adegan pembukanya yang teramat damai, sewaktu kita dibawa pelan-pelan melintasi hutan bersalju, melihat ranting pohon yang tak lagi dipenuhi dedaunan, sembari mendengarkan buaian musik karya Eiko Ishibashi, ingin rasanya percaya kalau kejahatan hanyalah gagasan fiktif.
Hingga kemudian, layaknya hidup yang bisa kapan saja usai, atau bunga tidur indah yang berakhir di luar kendali kita, iringan musiknya mendadak berhenti. Sebuah pola yang bakal terus diulangi sepanjang durasi. Ryusuke Hamaguchi (Drive My Car) seolah mengingatkan penontonnya untuk tak gampang terbuai oleh kebahagiaan semu nan fana milik kehidupan.
Protagonis filmnya bernama Takumi (Hitoshi Omika), yang mengisi hari-hari dengan melakukan pekerjaan serabutan untuk warga setempat, dari memotong kayu hingga mengumpulkan air. Ketika sebuah perusahaan dari Tokyo datang membawa rencana membuka area glamping di tengah desa, Takumi yang tinggal bersama sang puteri, Hana (Ryo Nishikawa), dipercaya sebagai penghubung.
Paruh awal Evil Does Not Exist murni tersusun atas bangunan suasana. Hamaguchi ingin penontonnya paham betul lokasi yang dijadikan pokok perdebatan. Kenapa pebisnis Tokyo tertarik pada keindahan desa? Kenapa timbul ikatan komunal begitu kuat di antara warga? Kenapa kekhawatiran terbesar warga terletak pada persoalan sumber air? Muncul pemahaman menyeluruh terkait hal-hal tersebut.
Di sini Hamaguchi bukan sedang menudingkan jari guna menyalahkan satu pihak. Baginya, peradaban modern dan lingkungan natural mestinya bisa eksis bersamaan. Terlihat dari bagaimana sang sutradara beberapa kali menampilkan shot perkotaan dan alam secara bergantian. Poin itu makin ditekankan, saat dua perwakilan perusahaan, Takahashi (Ryuji Kosaka) dan Mayuzumi (Ayaka Shibutani), menggelar sesi diskusi bersama warga.
Pertemuan itu jadi bagian "paling kaya" di Evil Does Not Exist. Konflik mulai meruncing, beragam sudut pandang dijabarkan, pesan-pesan diutarakan, yang menariknya, turut menyertakan balutan humor. Hamaguchi benar-benar menjadikan momen tersebut sebagai ruang bertukar pikiran alih-alih kesempatan melempar serangan. Bukan pula wujud menentang modernisasi, melainkan pengingat agar individu bersedia saling mendengarkan.
Lagipula tak satu pun orang, bahkan warga yang telah menahun tinggal, berhak mengklaim kepemilikan terhadap alam. Sebab pada dasarnya semua manusia adalah pendatang di muka bumi. Hidup berdampingan dan saling mendengarkan adalah hal terpenting. Sama seperti Takahashi, yang untuk kali pertama sepanjang hidupnya berhasil membelah kayu karena ia mau mendengar saran Takumi.
Selama lebih dari satu setengah jam, Evil Does Not Exist bergulir dengan damai. Tapi serupa musik yang kerap tiba-tiba berhenti, ending-nya memberi pukulan telak bagi penonton yang terlanjur terbuai oleh atmosfernya.
Hamaguchi mengubah pendekatannya dari realisme dengan selipan simbol-simbol menjadi metaforis secara total, yang terkesan mengesampingkan logika psikologis untuk memberi ruang pada pesan tentang "bertahan hidup". Tentang rusa terluka yang membangkitkan insting bertahan hidupnya. Tentang bagaimana kejahatan mungkin saja tidak eksis, dan yang ada hanyalah usaha bertahan hidup. Apakah ending itu baik atau buruk bisa diperdebatkan, namun pastinya ia bakal sukar dihapus dari ingatan.
(JAFF 2023)
65 komentar :
Comment Page:Posting Komentar