REVIEW - JODOH 3 BUJANG
Jodoh 3 Bujang bekerja dengan baik selaku dramedi. Dramanya mampu membuat penonton merasakan gejolak emosi para karakter, sementara komedinya sesekali memancing tawa lewat situasi yang mereka lalui. Tapi seperti banyak film lokal yang coba membenturkan tradisi dan hak individu menggunakan perspektif berimbang, filmnya terkesan bermain terlalu aman.
Mustafa (Arswendy Bening Swara) dan Fatimah (Cut Mini Theo) mengejutkan tiga anak mereka, Fadly (Jourdy Pranata), Kifly (Christoffer Nelwan), dan Ahmad (Rey Bong), dengan rencana menikahkan mereka secara bersamaan, atau yang disebut "nikah kembar". Awalnya semua lancar, sampai Fadly ditinggalkan oleh pacarnya, Nisa (Maizura), yang dipaksa menerima lamaran laki-laki lain oleh ayahnya, karena ia datang dengan uang panai 500 juta, sedangkan Fadly cuma sanggup memberi 50 juta.
Bagaimana reaksi keluarga Fadly? Mustafa ngotot meneruskan rencana nikah kembar karena tak ingin harga dirinya hancur di hadapan orang-orang, kemudian mendorong putra sulungnya itu supaya segera mencari calon istri baru. "Cari pasangan jangan terlalu pilih-pilih!" "Cinta tidak penting karena akan tumbuh seiring berjalannya pernikahan!" Entah sudah berapa banyak hidup pasutri hancur akibat menuruti anggapan-anggapan konservatif di atas.
Fadly pun memulai pencariannya. Dia menemui kenalan keluarganya, kenalan temannya, hingga memakai aplikasi kencan. Tentu semua berujung kegagalan, yang acap kali menghadirkan peristiwa menggelitik. Barisan humornya cukup efektif, terutama berkat kelihaian para pemain menangani komedi supaya bergulir secara alami. Beberapa kali gaya bicara ala Jakarta masih tersisa kala melafalkan Bahasa Indonesia, namun usaha mereka bertutur dengan logat Makassar tidaklah buruk.
Fadly akan berkenalan dengan perempuan baru, merasa tidak cocok, pulang ke rumah dan mesti mendengar keluhan keluarganya, lalu pergi ke studio musik miliknya. Pola tersebut terus diulang, sampai di satu titik, naskah buatan Andi Arfan Sabran, Erwin Wu, dan Alwi Shihab cenderung repetitif dalam menggulirkan alurnya. Nugie memerankan Malik, pemilik studio yang Fadly sewa. Karakternya adalah "mesin petuah" yang di tiap kemunculannya, hanya bertugas memberi petuah bagi Fadly yang tengah gundah.
Nantinya datanglah sosok dari masa lalu Fadly. Rifa (Aisha Nurra Datau) namanya, sahabat si protagonis semasa kuliah yang sempat kita temui di adegan pembuka. Sejak dulu Fadly sudah memendam rasa padanya, namun terlalu takut untuk mengutarakannya karena Rifa berasal dari keluarga kaya. Ditambah status sebagai anak perempuan tunggal serta lulusan S2, konon biaya uang panainya bisa menyentuh miliaran.
Fadly dan Rifa terlihat manis saat bersama. Jourdy Pranata punya pesona membumi yang membuat penonton merasakan kedekatan dengan tiap karakter yang ia perankan, sementara Aisha Nurra Datau selalu mudah untuk dicintai. Sayang, karena baru benar-benar bersama di paruh kedua, hingga akhir hubungan mereka tersaji kurang matang. Eksplorasinya terlampau minim untuk membuat kita percaya bahwa selama ini memang Rifa-lah yang Fadly tunggu.
Duet Arswendy Bening Swara dan Cut Mini Theo juga tampil luar biasa. Beberapa momen saat mereka menumpahkan emosi dengan bentakan bakal membuat siapa pun yang menyaksikannya seketika terdiam. Masalahnya, Jodoh 3 Bujang yang mungkin eksplorasinya terbatasi oleh fakta kalau ceritanya diangkat dari kisah nyata seolah menutup mata bahwa segala kekacauan ini adalah kesalahan orang tua Fadly.
Dosa Mustafa dan Fatimah cenderung dijustifikasi memakai alasan klise, "semua dilakukan karena orang tua mencintai anak dan ingin melihatnya bahagia." Tapi benarkah ia bahagia? Filmnya luput memahami kalau anak pun berhak menentukan bentuk cinta yang ingin mereka dapatkan. Biarpun Fatimah cenderung menampakkan simpati, sampai akhir, tak sedikitpun Mustafa menunjukkan rasa bersalah. Bahkan sewaktu Fadly sempat hendak menerima perjodohan, si ayah justru nampak bahagia. Sesulit itukah film kita mengakui ketidaksempurnaan orang tua?
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar