REVIEW - INDONESIA DARI TIMUR
Menuju babak ketiga filmnya, sekitar 30 menit terakhir, akhirnya para anak muda Papua yang jadi karakter utama siap bertanding di liga. Tapi beberapa menit sebelum kick-off, mendadak hadir masalah yang tak ada hubungannya dengan sepak bola. Demikianlah Indonesia dari Timur secara keseluruhan. Sebuah film soal sepak bola yang terlalu pelit menyajikan sepak bola, akibat sibuk meributkan isu di luar lapangan hijau.
Karya penyutradaraan terbaru Ari Sihasale sejak Rumah Merah Putih (2019) yang begitu cerewet berceramah tentang nasionalisme ini dibuka dengan cukup menjanjikan, saat tim Papua mengalahkan Aceh di final kejuaraan nasional. Alur serangan kedua tim tersaji runtut, meski beberapa momen bakal lebih seru bila dibiarkan mengalir tanpa penyuntingan berlebih serta close-up, yang ironisnya digunakan dengan tujuan menambah intensitas.
Setidaknya adegan pembuka tersebut membuktikan bahwa Ari memang penggemar sepak bola. Saya yakin ia penonton Liga Inggris, sebab ketika tim Papua akhirnya keluar sebagai juara, mereka nampak mengangkat replika trofi Premier League. Tidak bisakah departemen artistiknya membuat trofi lain?
Selain menyutradarai, Ari turut memerankan Om John, pelatih tim Papua yang berbalik dibenci publik serta para pemainnya, akibat dituduh menggelapkan uang bonus. Tim pun terpecah, sampai beberapa bulan kemudian, datanglah Edu (Ibnu Jamil) dengan proyek ambisius berupa pembentukan klub profesional berisikan para anak muda tersebut.
Naskah buatan Dirmawan Hatta fokus pada upaya Edu mengumpulkan satu per satu anggota tim, yang sejatinya berpotensi tampil menarik karena setiap karakter diceritakan terbentur tembok yang menghalangi keinginan mereka bermain sepak bola. Tapi seluruh permasalahan itu nyatanya terselesaikan dengan amat cepat, sehingga kunjungan ke kediaman masing-masing anggota tim terkesan numpang lewat.
Biarpun Ibnu Jamil tampil solid, keputusan menunjuk aktor ibukota untuk memerankan warga asli patut dipertanyakan. Di luar itu, naskahnya pun gagal menumbuhkan kepedulian terhadap Edu. Baru saja kita berkenalan dengan Edu, tiba-tiba dia sudah terjun dalam misi membentuk klub. Tidak ada mimpi yang ingin digapai, tidak ada luka yang coba disembuhkan, tidak ada dosa yang harus ditebus. Semua itu malah dipunyai oleh Om John. Mengapa bukan sang pelatih saja yang menjadi protagonis layaknya di banyak film lain dengan tema serupa?
Tapi seperti telah disinggung, masalah terbesar Indonesia dari Timur adalah minimnya sorotan bagi aksi di atas lapangan. Naskahnya punya waktu membahas bisnis korup, memberi subplot ayah-anak pada Edu yang miskin eksplorasi pula usai secara instan, bahkan menyelipkan ideologi politik sang sutradara perihal pemekaran provinsi Papua (aged like milk), tapi tak ada ruang untuk adegan sepakbola. Jangankan pertandingan, training montage yang jadi obligasi film olahraga saja amat minim.
Daftar kelemahan narasi film ini masih panjang. Sebutlah beberapa transisi kasar (di satu titik, mendadak adegan berpindah menuju perkelahian tanpa dijelaskan terlebih dahulu penyebabnya), hingga konklusi yang.....well, tidak konklusif. Seolah filmnya berakhir akibat sang penulis tak lagi tahu mesti membawa cerita ke mana. Satu-satunya yang tersisa di Indonesia dari Timur hanyalah niat baiknya memberi sorotan kepada Papua.
21 komentar :
Comment Page:film bagus ini sampai bingung mau nonton dimana
turun layar
wah berat ini di bioskop
ngebacot nggak suka film horror, begitu diberi film bagus...nggak di tonton
keren
tunggu di netflix
sepakbola lover
suka ini film
alam papua alam alat jual wisata
pemandangan papua keren
film tanpa mengejar cuan
entitas luar biasa roh bola
gue mau nonton, nggak ada bioskop tayang
streaming ae ieu mah
drama family freedom sport
bebas itu indah
bagong banget akhirnya
nggak dulu deh
seharusnya kerjasama dengan lele laila
tanggal tua skip
Kenapa kebanyakan film2 Indonesia yg bertemakan nasionalisme selalu bersetting lokasi di Indonesia Timur?!
Posting Komentar