REVIEW - THE ZONE OF INTEREST

25 komentar

Layar hitam membuka The Zone of Interest, dan selama dua menit ke depan hanya itulah yang mata kita lihat, sementara musik atmosferik garapan Mica Levi terdengar menghantui. Mungkin ini semacam latihan sensoris bagi penonton, supaya terbiasa untuk membuka telinga lebar-lebar sepanjang 105 menit durasi filmnya. 

Adaptasi novel berjudul sama karya Martin Amis ini memang proses latihan, baik bagi Jonathan Glazer selaku sutradara sekaligus penulis naskah yang ingin mengasah teknik bertuturnya, maupun penonton yang disuguhi cara berbeda dalam menikmati sinema.

Alkisah hiduplah Rudolf Höss (Christian Friedel) bersama sang istri, Hedwig (Sandra Hüller), beserta kelima anak mereka. Kebun yang terawat indah menghiasi sekeliling rumah Keluarga Höss. Di pagi hari sang ayah berangkat kerja, sang ibu mengurus rumah dibantu beberapa asisten, sedangkan para bocah berlarian di alam sekitar. Sewaktu sang ayah berulang tahun, anak dan istrinya memberi kejutan berupa kano. 

"Sungguh hidup yang sempurna" adalah reaksi yang bakal hadir jika kita cuma berfokus pada indera penglihatan. Tapi The Zone of Interest adalah suguhan yang "menipu". Kisah sesungguhnya justru tidak pernah penonton saksikan langsung. Semua terjadi di belakang sebagai latar, dan kita hanya mendengarnya. 

Rudolf Höss adalah komandan di kamp konsentrasi Auschwitz. Bukan cuma itu, rumahnya terletak tepat di samping kamp. Segala tawa menunjukkan kebahagiaan Höss sekeluarga terjadi bersamaan dengan teriakan penderitaan orang-orang Yahudi yang disiksa lalu dibakar hidup-hidup. Kita mendengar teriakan-teriakan tersebut. Sesekali lesatan peluru senapan turut terdengar. Entah apa (atau siapa) yang menjadi target, tapi besar kemungkinan satu nyawa melayang saat itu. 

Tata suara garapan Tarn Willers dan Johnnie Burn diganjar nominasi Oscar, yang mana pantas mereka dapatkan. Suara-suara dari kamp konsentrasi terdengar menghantui, namun tetap dalam kapasitasnya sebagai "latar". Karena memang itulah poin utama dari suara teriakan tersebut. Sesuatu yang acap kali cuma sayup-sayup terdengar, tetapi mustahil dilewatkan oleh telinga. 

Tentu Keluarga Höss mampu mendengarnya. Mereka hanya tidak peduli. Rudolph membahas desain krematorium baru bagi para tahanan seolah itu tak lebih dari obrolan bisnis biasa, sementara Hedwig dengan santai menjajal baju milik korban yang telah tewas. 

Di satu titik, ibu Hedwig, Linna (Imogen Kogge), datang berkunjung. Berulang kali diucapkannya rasa syukur melihat kediaman sang puteri yang bagaikan taman surga. Di malam hari, Linna melihat asap keluar dari cerobong krematorium. Pemandangan itu amat mengguncang Linna yang buru-buru pergi sebelum pagi menjelang. Jika bersedia membuka mata, telinga, dan tentunya hati, mudah untuk menyadari betapa tidak manusiawinya Rudolf dan Hedwig. 

Christian Friedel dan Sandra Hüller tampil meyakinkan sebagai manusia yang kehilangan kemanusiaan. Keserakahan dan ego menguasai keduanya, sampai luput menyadari lingkungan yang tak ideal itu pelan-pelan menggerogoti psikis anak-anak mereka. Si anak sulung sempat mengurung adiknya di rumah kaca. Dia  tersenyum, menikmati rasa takut "si korban", sebagaimana ayahnya menikmati pembantaian yang ia lakukan. 

Gaya bercerita Glazer yang menjauhi pakem standar bernarasi menjadikan The Zone of Interest sebuah presentasi yang tidak gampang dinikmati. Letupan emosi khas kisah holocaust dihapuskan, pun poin utama filmnya telah tersampaikan hanya dalam beberapa menit (format film pendek rasanya bakal jauh lebih efektif). Tapi selaku seniman yang sedang bereksperimen, Glazer sukses mencapai tujuannya. 

The Zone of Interest berhasil membungkus cerita yang sejak pertama dikupas oleh Night Train to Munich (1940) entah sudah berapa ribu kali diangkat secara unik. Sewaktu formula visualnya mendadak berbalik 180 derajat dalam sekuen mengenai gadis cilik yang menyelundupkan buah ke kamp yang ditangkap memakai kamera thermal, Glazer membuktikan keliaran eksplorasinya. 

Di paruh kedua, konflik internal keluarga meruncing ketika Rudolf naik pangkat dan mesti pindah ke Oranienburg. Hedwig menolak pergi meninggalkan rumah mereka di Auschwitz, sembari secara emosional membicarakan soal cita-cita dan impian. Hedwig memikirkan perihal kehidupan tatkala di dekatnya jutaan manusia mengakrabi kematian. Biarpun mengambil latar 80 tahun lalu, The Zone of Interest ternyata lebih relevan dari kelihatannya.  

25 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

apapun film yahudi pasti masuk piala oscar dan film nya di puji setinggi langit, beuhhhh...

Anonim mengatakan...

film propaganda

Anonim mengatakan...

nggak asyik kalau nggak nonton film njrit sambil minum markisa jelly

Anonim mengatakan...

A24 begitu selalu sering menggugah selera makan

Anonim mengatakan...

Bagong Film A24

Anonim mengatakan...

wahhhh A24 wajib nonton euy

Anonim mengatakan...

slowburn twist asshole aje gile

Anonim mengatakan...

bagus filmnya, saya tidur

Anonim mengatakan...

ending sampai layar di tutup, dengarkan alunan musik mengerikan

Anonim mengatakan...

film horror

Anonim mengatakan...

tunggu netflix aja

Anonim mengatakan...

film kisah nazi dan yahudi selalu good movie

Anonim mengatakan...

abis main ML langsung nyuci di kamar rahasia

Anonim mengatakan...

film sakit

Anonim mengatakan...

luar biasa ini film semi dokumenter

Anonim mengatakan...

film tenang alurnya

Anonim mengatakan...

nonton film horror komedi sendirian di bioskop itu geli banget

Anonim mengatakan...

point brutalisme

Anonim mengatakan...

tema holocost dijadikan latar karena filmnya akan jadi bahan tertawaan kalau dijadikan suguhan utama, karena yahudi sendiri sekarang justru jadi pelaku pembantaian bahkan lebih biadab dari hitler

Anonim mengatakan...

film caduk

Anonim mengatakan...

too much drama comedy

Andi Suhendar mengatakan...

Nonton dulu baru komentar ya goblok

Anonim mengatakan...

gue udah nonton film goblog ini benar benar tolol banget, bagus cuy

Anonim mengatakan...

goblog goblog film ini benar benar keren cuy

Anonim mengatakan...

film terbangsat non goblog...OSCAR beuh