REVIEW - INSIDE OUT 2

2 komentar

Inside Out 2 menghadapi misi yang mustahil untuk menandingi kualitas film pertamanya, yang merupakan salah satu animasi terbaik sepanjang masa. Tapi ia adalah sekuel yang layak. Penonton anak bakal terhibur menyaksikan petualangan para emosi, sementara penonton dewasa akan merasakan kedekatan dengan kisah pendewasaannya. 

Tapi supaya mendapat kepuasan tersebut, kita mesti memaklumi lubang yang tercipta. Inside Out (2015) jelas dibuat tanpa memikirkan sekuel. Bangunan dunianya pun sudah paten, termasuk soal lima emosi dasar yang tinggal dalam kepala karakternya. Alhasil, sewaktu film kedua menambah empat emosi baru, muncul tanya perihal kontinuitas. 

Riley (Kensington Tallman) kini berusia 13 tahun, yang artinya, ragam dinamika emosi baru akibat pubertas pun mesti ia hadapi. Di dalam kepala Riley, kondisi itu diwakili oleh hancurnya ruang kontrol emosi yang membuat Joy (Any Poehler), Sadness (Phyllis Smith), Anger (Lewis Black), Fear (Tony Hale), dan Disgust (Liza Lapira) kelimpungan. Belum lagi saat datang empat emosi baru: Anxiety (Maya Hawke), Envy (Ayo Edebiri), Embarrassment (Paul Walter Hauser), dan Ennui (Adèle Exarchopoulos). 

Keempat emosi baru tadi mewakili proses tumbuh kembang remaja memasuki fase kehidupan yang lebih kompleks. Tapi mengapa di film pertama tak satu pun orang dewasa memiliki mereka? Naskah buatan Meg LeFauve dan Dave Holstein tak mampu menawarkan penjelasan yang memuaskan. 

Lubang di atas cukup mengganggu, namun jika sebagai penonton kita bisa menerapkan suspension of disbelief dan melupakan satu kebodohan tersebut, maka deretan kepintaran khas Inside Out telah menanti untuk memancing decak kagum. Gagasan kreatif terkait "dunia dalam kepala manusia" miliknya berhasil dikembangkan, walau ada kalanya film ini bak terbebani oleh presentasinya yang makin kompleks sehingga terkesan sibuk sendiri.

Kita diajak menembus badai ganas bernama "brainstorm", pula memasuki penjara gelap tempat dikurungnya berbagai rahasia Riley. Di situlah humor terlucu filmnya hadir kala memarodikan keabsurdan ala Dora the Explorer. Ketika penonton dewasa tergelitik oleh referensinya, penonton anak pun bakal menertawakan kekonyolannya. Tercapailah keseimbangan.

"Keseimbangan" menjadi poin penting dalam Inside Out 2. Kisahnya menyoroti keseimbangan antara hal baru dan lama. Di kamp hoki yang ia ikuti, Riley merasa harus memilih antara dua sahabat lamanya, atau teman-teman baru yang lebih keren. Muncul gesekan antara masa lalu dengan masa depan.

Padahal semestinya individu tidak harus memilih. Sebagaimana sewaktu Joy (yang mewakili keresahan banyak penonton) berkata, "I can't stop anxiety". Kecemasan bukan musuh yang wajib dilenyapkan. Dia adalah bagian kerumitan tumbuh kembang yang eksistensinya diperlukan, meski pada akhirnya kita tetap mengidamkan kebahagiaan. 

Kedekatan yang Inside Out 2 bawa dalam eksplorasi terkait poin di atas mampu diterjemahkan oleh Kelsey Mann selaku sutradara menjadi deretan pemandangan menyentuh terutama di babak akhir, biarpun filmnya tak diberkahi momen emosional setingkat adegan "Take her to the moon for me" dari film pertama.

2 komentar :

Comment Page:
Review film mengatakan...

Biasanya muncul komen anonim penyembah lele laila, ternyata sudah musnah 😂😂

Achyar Nur Sohid mengatakan...

Iya juga. Plot hole kenapa orang dewasa gapunya 4 emosi itu buat ga nyaman juga ya 🫠