REVIEW - TWILIGHT OF THE WARRIORS: WALLED IN

Tidak ada komentar

Sebuah area padat penduduk yang terasa pengap nan gelap karena dikelilingi gedung-gedung tinggi bak dinding raksasa, di mana para Triad memegang kuasa. Kowloon yang dijuluki "Kota Tembok" memang panggung sempurna bagi aksi brutal milik Twilight of the Warriors: Walled In yang dibuat berdasarkan novel City of Darkness karya Yuyi, yang juga diangkat ke dalam medium manhua dengan judul sama oleh Andy Seto. 

Walaupun Crime Story (1993) yang dibintangi Jackie Chan dan Bloodsport (1988) yang melambungkan nama Jean-Claude Van Damme telah lebih dulu memakainya sebagai latar, film garapan Soi Cheang ini tampil unik karena mayoritas ceritanya berlokasi di Kowloon. Ada aroma klaustrofobia yang menyengat ketika protagonis kita, Chan Lok-kwan (Raymond Lam), pertama kali menginjakkan kaki di sana. 

Status pengungsi membuat Lok-kwan kerap terseret masalah, salah satunya dengan geng Triad pimpinan Mr. Big (Sammo Hung). Lok-kwan pun kabur, dan tanpa sadar memasuki Kowloon yang merupakan teritori kekuasaan Cyclone (Louis Koo). Melalui narasi di awal durasi ditambah beberapa kilas balik, penonton mendapat gambaran mengenai kondisi Kowloon beberapa tahun sebelumnya, termasuk rivalitas antara Cyclone dengan Jim si "Raja Pembunuh" (Aaron Kwok), yang memunculkan potensi besar untuk prekuel. 

Naskah buatan Au Kin-yee, Shum Kwan-sin, Chan Taili, dan Lai Chun sejatinya sedikit inkonsisten perihal pembangunan dunia. Ada kalanya Kowloon adalah tempat kumuh namun dihuni manusia-manusia baik yang membuatnya terasa hangat, hanya untuk digambarkan sebagai area kejam minim kemanusiaan. Membingungkan. Satu yang pasti, Lok-kwan betah tinggal di sana. 

Si lelaki pengungsi menemukan rumahnya, apalagi setelah ia menjalin persahabatan dengan Shin (Terrance Lau) si tangan kanan Cyclone, AV (German Cheung) yang bertindak selaku ahli medis di Kowloon, dan Twelfth Master (Tony Wu). Hubungan keempatnya (juga koneksi masa lalu antara Cyclone dan Jim) menciptakan narasi khas sinema Hong Kong yang melibatkan persahabatan, pengkhianatan, dan tentunya tragedi. 

Alih-alih merombak pakem khas genrenya, Twilight of the Warriors: Walled In memilih untuk memaksimalkannya. Tidak ada yang baru, tapi filmnya mampu mempresentasikan kisah formulaik tersebut secara menarik. Saya pun dibuat lupa pernah menyaksikan cerita serupa puluhan atau bahkan ratusan kali. 

Tapi tiada yang lebih memukau dibanding eksekusi aksinya. Pengarahan Soi Cheang, tata kamera Cheng Siu-keung, dan koreografi Kenji Tanigaki saling berpadu sempurna melahirkan aksi yang tidak asal brutal, tapi mengandung setumpuk ide segar yang mungkin tak pernah penonton bayangkan. Sempitnya lokasi bukanlah batasan, melainkan tantangan yang diubah jadi keunggulan. Begitu banyak momen yang sanggup memunculkan decak kagum terkait caranya mengolah baku hantam di ruang sempit.

Para pemainnya turut berjasa merealisasikan visi liar sang sutradara dalam menyusun aksi, termasuk jajaran nama senior seperti Sammo Hung yang tetap lincah di usia 70 tahun dan Louis Koo dengan karisma di balik kacamata hitam serta kepulan asap rokok. Tokoh-tokohnya bergelantungan di bus tingkat, melakukan gerakan parkur berbahaya di gedung tinggi, sampai melompati motor yang melaju kencang. Sungguh pameran aksi yang gila. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: