REVIEW - BEETLEJUICE BEETLEJUICE

Tidak ada komentar

"The weirdos are the best", ucap Tim Burton di sebuah wawancara dahulu kala. Burton muda seolah menjadikan tokoh-tokoh aneh dalam karyanya, sebagai representasi atas diri sendiri yang sulit terkoneksi dengan manusia lain. Begitulah citra yang terasa dari dua dekade pertama karirnya yang unik serta kaya warna. 

Sedangkan di dua dekade berikutnya, entah karena pendewasaan atau status "sutradara ternama" yang membuatnya tak lagi terpinggirkan di lingkaran sosial, sentuhan magis Burton mulai memudar. Keanehan bukan lagi wujud ekspresi, melainkan sebatas komoditi yang wajib dipenuhi. 

Sebagai sekuel yang hadir 36 tahun setelah film pertamanya, Beetlejuice Beetlejuice pun terkesan seperti satu lagi upaya mengikuti tren dengan memeras sisa-sisa potensi komersil dari waralaba lama di mana nostalgia jadi senjata. Tapi (untungnya) kenyataannya berbeda. Film ini justru ibarat medium bagi Burton untuk mengingat jati dirinya lagi, serta kembali pada performa terbaik sebagai sutradara. 

Lydia Deetz (Winona Ryder) pun mengalami proses serupa. Si remaja gotik pembangkang di film pertama telah bertransformasi menjadi perempuan paruh baya yang mengakrabi kecemasan. Terkenal sebagai pembawa acara penelusuran rumah hantu di televisi berkat kemampuan melihat hantu justru membuatnya tersiksa. Si ibu tiri, Delia (Catherine O'Hara), mengomentari hilangnya jati diri asli Lydia, sedangkan sang puteri, Astrid (Jenna Ortega), kurang menyukainya. 

Kematian sang suami, Richard (Santiago Cabrera), akibat kecelakaan kapal yang membuatnya dimangsa piranha merenggangkan hubungan Lydia dengan Astrid. Ironisnya, kematian dengan cara serupa yang menyatukan mereka lagi, saat ayah Lydia, Charles (aktor tanpa nama mengisi suaranya menggantikan Jeffrey Jones), tewas dimakan hiu di tengah laut. 

Burton menggunakan animasi stop-motion guna memperlihatkan proses meninggalnya Charles yang dipenuhi nuansa komedi gelap. Sebuah adegan unik nan menggelitik, yang senada dengan bagaimana naskah buatan Alfred Gough dan Miles Millar memandang kematian. Daripada memotret kematian sebagai peristiwa menyeramkan serta menyedihkan, Beetlejuice Beetlejuice menjadikannya alat untuk melempar candaan. 

Begitu pula para hantu. Bersama para protagonis, penonton diajak berpetualang mengarungi (semacam) akhirat, bertemu kembali dengan Betelgeuse (Michael Keaton) yang masih ingin menikahi Lydia, sembari di saat bersamaan berusaha kabur dari kejaran Delores LaVerge (Monica Bellucci), mantan istrinya yang kini menjadi hantu dengan kemampuan menyedot jiwa hantu lain. 

Petualangan tersebut Burton pakai untuk menuangkan segala imajinasi liar khasnya yang seperti terkubur dalam beberapa waktu belakangan. Ditemani musik ikonis gubahan Danny Elfman, Burton membanjiri 104 menit durasi filmnya dengan beragam makhluk berdesain aneh, yang dihidupkan oleh kombinasi mumpuni antara efek praktikal dan komputer. Semuanya memuncak di adegan musikal eksentrik berhiaskan lagu MacArthur Park milik Richard Harris pada babak ketiga, yang tampil bak modifikasi kreatif bagi klimaks film pertama. 

Pendekatan penuh gaya sang sutradara mampu mengobati rasa tidak puas mendapati lemahnya film ini kala bercerita. Di paruh awal ia terlalu berlarut-larut dalam proses menuju pokok permasalahan, hanya untuk terkesan begitu buru-buru menggerakkan alur memasuki paruh kedua. Sederhananya, cara bercerita Beetlejuice Beetlejuice amatlah kacau. Tapi sekali lagi, setidaknya Burton punya amunisi untuk menambal lubang tersebut. 

Selain Burton, jajaran pemainnya, terutama Michael Keaton yang masih seliar puluhan tahun lalu, Catherine O'Hara lewat keabsurdan polahnya, dan Willem Dafoe sebagai Wolf Jackson si polisi hantu, turut mencuatkan sisi aneh mereka ke permukaan. Semua nampak bersenang-senang, karena ada kalanya bertingkah aneh malah terasa membebaskan. Tim Burton memang nampak begitu bebas dalam menggarap Beetlejuice Beetlejuice. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: