REVIEW - THE PIANO LESSON
Malcolm Washington, putra Denzel Washington, mengawali karirnya sebagai sutradara lewat The Piano Lesson, sebuah drama powerful hasil adaptasi naskah teater berjudul sama karya August Wilson (Fences, Ma Rainey's Black Bottom), yang membicarakan proses emosional untuk mengubah trauma masa lalu menjadi warisan yang mendatangkan kebanggaan sekaligus kekuatan.
Dihiasi kelap-kelip cahaya kembang api yang bergantian memancarkan warna bendera Amerika Serikat, The Piano Lesson membuka narasinya. Di tengah selebrasi warga kulit putih merayakan hegemoni bangsa yang kala itu menginjak usia 135 tahun, kita melihat golongan yang terpinggirkan, yakni para budak kulit hitam, tengah diam-diam mengambil sebuah piano dari rumah yang kosong.
Musik mencekam gubahan Alexandre Desplat menutup sekuen pembuka tersebut, dan kita pun diajak melompat menuju 25 tahun kemudian, di Pittsburgh, tepatnya di kediaman Doaker (Samuel L. Jackson). Bernice (Danielle Deadwyler), keponakan Doaker yang seorang diri mengasuh putrinya, juga tinggal di sana. Piano yang tadi kita saksikan kini jadi milik Bernice, tergeletak di tengah ruangan tanpa pernah ia mainkan.
Ada hubungan cinta/benci antara Bernice dengan piano tersebut, yang baginya merupakan warisan berharga mendiang orang tuanya, sekaligus saksi bisu masa lalu penuh duka mereka di era perbudakan. Ketika sang adik, Boy Willie (John David Washington) mendadak pulang bersama temannya, Lymon (Ray Fisher), dengan tujuan menjual piano tersebut, pertengkaran keluarga pun segera pecah.
Sebagaimana adaptasi karya August Wilson lain, The Piano Lesson membuktikan bahwa kata-kata tidak kalah eksplosif dibanding ledakan bom, pula bisa lebih tajam daripada ayunan pedang. Naskah buatan Malcom Washington dan Virgil Williams mampu memanfaatkan barter kalimat yang karakternya lakukan guna mengolah dinamika. Didukung pengarahan Washington yang secara mulus menerjemahkan mise-en-scène pementasan panggung ke dalam tangkapan kamera, The Piano Lesson menghasilkan dua jam penuh perdebatan intens.
Di tipikal film seperti ini, tentu akting pemain memiliki signifikansi tinggi. John David Washington dengan tenaga tanpa batas yang menunjukkan ambisi tinggi karakternya, Danielle Deadwyler tampil bermartabat sembari berusaha mengubur rasa sakit yang terus mengusik hati Bernice, sedangkan Samuel L. Jackson sebagai Doaker merupakan "pengamat" yang memilih bersikap netral biarpun dari gerak-geriknya nampak menyimpan kegundahannya sendiri. Mereka menawarkan pesona yang berbeda-beda.
Seluruh karakternya mempunyai luka yang membuat mereka terus dikejar oleh hantu dari masa lalu. Tapi layaknya pendekatan khas teater, metafora mengenai "hantu" tersebut tidak hadir secara malu-malu, bahkan diberi personifikasi yang membuat The Piano Lesson sempat menyentuh ranah horor, terutama di babak ketiganya. Unik, walau rasanya tidak semua penonton bakal bisa menerima percampuran genre tersebut.
Nantinya kita turut berkenalan dengan Avery, yang sudah sejak lama mengejar cinta Bernice yang sudah beberapa tahun ditinggal mati suaminya. Sebagai seorang pengkhotbah yang ingin mendirikan gereja, figur Avery nampak tanpa cela dari luar. Tapi The Piano Lesson menawarkan sudut pandang menarik, dengan membuat Avery mewakili segala cara pandang yang keliru terkait masalah-masalah karakternya.
Di mata Avery, janda seperti Bernice takkan bisa menjadi "perempuan seutuhnya" bila tak menerima cinta dari seorang laki-laki. Dia pun terkesan meremehkan kegelisahan Bernice terkait traumanya. Hebatnya, walau dari dalam terus digerogoti rasa sakit, sementara dari luar banyak pihak enggan memedulikan perasaaannya, Bernice tetap berdiri tegak, dan akhirnya mendapatkan kekuatan dari masa lalu yang sebelumnya ia anggap selaku sumber luka semata.
(Netflix)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar