REVIEW - MY FAVOURITE CAKE
Janda 70 tahun bernama Mahin (Lily Farhadpour) sedang berjalan-jalan di taman saat seorang perempuan dipersekusi oleh polisi moral akibat dianggap keliru dalam memakai hijab. Mahin berhasil menolong si perempuan, yang kemudian mengeluhkan kondisi pasca revolusi karena dirasa mengekang, lalu berujar bahwa untuk orang tua seperti Mahin, berbagai hukum patriarkis yang diterapkan tentunya takkan memberi dampak. Mahin nampak tertegun.
Secara umum, sinema telah menjalankan perannya dalam mendukung isu pemberdayaan perempuan, termasuk perihal pengekangan ekspresi diri serta hak atas tubuh mereka. Tapi ada satu golongan yang acap kali lupa untuk dijamah: lansia.
Nyatanya perempuan lanjut usia seperti Mahin masih ingin bersenang-senang, merasakan kebebasan, sembari mempercantik diri sebagaimana yang ia mau. Sudah 30 tahun sejak suaminya meninggal, dan kini Mahin hidup dalam sepi. Merawat taman dan memasak bagi teman-temannya sesama janda tua yang sekarang hanya mampu berkumpul setahun sekali jadi rutinitas hariannya.
Mahin memutuskan datang ke sebuah cafe untuk menghilangkan penat, berharap bisa "merasa trendi" seperti para muda-mudi. Masalahnya, ia bingung mesti memesan apa. "Kami punya affogato", kata pelayan cafe. Tapi Mahin tidak tahu apa itu affogato dan berujung meminta teh biasa. Masih adakah ruang bagi lansia untuk merasakan bahagia?
Lalu terjadilah pertemuan dengan Faramarz (Esmail Mehrabi), mantan tentara yang kini bekerja sebagai sopir taksi. Percikan di hati Mahin seketika kembali. Dia ajak Faramarz menghabiskan malam di rumahnya, tentu secara diam-diam supaya tak diketahui tetangga atau polisi moral. Rupanya Faramarz adalah laki-laki baik, yang merasa perlu membantu si perempuan menyiapkan suguhan dan tak menganggapnya sebagai pelayan.
Pada fase inilah Maryam Moghaddam dan Behtash Sanaeeha selaku sutradara sekaligus penulis naskah mengajak penonton menyelami dinamika dua lansia tersebut, yang seolah tengah mengalami puber kedua. Formula romansa generik mengenai "pertemuan yang ditakdirkan" menjadi sesuatu yang jauh lebih bermakna karena dua tokoh utamanya adalah lansia.
Mahin dan Faramarz membicarakan soal hidup dan kehilangan yang masing-masing pernah alami, ditemani sebotol wine (yang tentunya dilarang oleh pemerintah) dan masakan hangat, lalu berdansa diiringi lagu lawas. Sesekali, Maryam dan Behtash menyelipkan humor menggelitik yang membantu memberi gambaran tentang betapa dua lansia ini, setelah puluhan tahun tak memadu kasih, tampak polos layaknya remaja yang baru pertama mengenal cinta.
Lily Farhadpour dan Esmail Mehrabi sama-sama piawai mengekspresikan rasa melalui akting mereka. Mata dua pelakon senior ini selalu berseri-seri, dan penonton pun turut dibuat merasakan kebahagiaan serupa. My Favourite Cake memang film yang kecil (mayoritas durasinya berlatar di rumah Mahin) namun mempunyai hati yang amat besar.
Tapi jangan lupa, kisahnya bermula dari keresahan sang protagonis terkait persekusi terhadap perempuan di negaranya, pula sulitnya lansia mengejar kesenangan. Di tengah tawa dan kehangatan kisahnya, tetap sulit untuk menampik kekhawatiran akan datangnya "perusak", entah dalam wujud tetangga menyebalkan, campur tangan polisi moral, atau perihal kondisi tubuh karakternya yang sedang berada di bawah pengaruh alkohol. Seolah ada kegelapan yang diam-diam senantiasa mengintip dan siap mengacaukan pemandangan sempurna di depan mata kita.
Pada akhirnya My Favourite Cake bakal memperlihatkan ketimpangan luar biasa dalam isu gender yang ia angkat. Bahkan dalam kematian pun, laki-laki tetap dimudahkan untuk mewujudkan impiannya serta merasakan kebahagiaan, sementara perempuan tertinggal sebatang kara, kembali ditikam rasa sepi, sambil menanti kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin dibawa oleh masa depan.
(JAFF 2024)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar