REVIEW - CINTA TAK SEINDAH DRAMA KOREA
Begitu sering sineas Indonesia mengaku terinspirasi dari drama dan/atau film Korea ketika mempromosikan karyanya. Banyak dari mereka sebatas merujuk pada gambar warna-warni dan kisah cinta menggemaskan, serta tidak benar-benar familiar dengan medium yang dibahas. Semua hanya strategi pemasaran guna menggaet atensi para penyuka dunia hiburan Negeri Ginseng.
Cinta Tak Seindah Drama Korea lain cerita. Meira Anastasia selaku sutradara sekaligus penulis naskah memang maniak drama korea, di mana kecintaan itu tampak jelas di tiap sudut tatkala menyoroti liburan si protagonis, Dhea (Lutesha), bersama dua sahabatnya, Kikan (Dea Panendra) dan Tara (Anya Geraldine) ke Korea Selatan.
Dibuka dengan keputusan jenius menerjemahkan lagu Ingatlah Hari Ini milik Project Pop ke Bahasa Korea (dibawakan oleh Shakira Jasmine), ketiganya menikmati street food di warung tenda sembari menenggak soju, mengkhayati malam sambil duduk di pinggir Sungai Han, mampir sejenak ke minimarket, lalu bertemu aktris senior Sung Byoung-sook di sebuah restoran. Gambar yang menghadirkan kombinasi warna-warni tata artistik, kostum, dan sinematografi mampu mempercantik acara jalan-jalan tersebut, tanpa harus terlihat berlebihan.
Bagi penggila drakor, deretan pemandangan di atas tentu nampak familiar. Kesan serupa timbul dari ceritanya. Walau perjalanan ini diatur oleh sang kekasih, Bimo (Ganindra Bimo), Dhea tetap merasakan dilema ketika bertemu kembali dengan si cinta pertama yang bertahun-tahun lalu mendadak lenyap, Julian (Jerome Kurnia). Bimo lewat kebaikan hati luar biasa miliknya, Julian dengan nostalgia romantisnya, memancing konflik khas drakor romansa yang bakal memecah penonton menjadi "Tim Bimo" dan "Tim Julian".
Tapi terkadang Meira mestinya bisa lebih menekan hasrat mereplikasi drakor, dan mengedepankan sudut pandang selaku pencerita ketimbang penggemar. Terutama perihal penceritaan. Cinta Tak Seindah Drama Korea punya durasi yang tak bisa dibilang pendek (118 menit), namun jelas belum cukup untuk menampung permasalahan sebanyak drakor 16 episode.
Terlalu banyak problematika yang penonton harus rasakan dan pikirkan di sini. Karena selain urusan cinta segitiga, subplot seputar trio karakter perempuannya juga cukup dominan. Kikan yang gelisah dengan perubahan tubuhnya selepas memiliki tiga anak, Tara yang harus berhadapan dengan stigma di mata masyarakat, sama-sama mewakili isu yang kerap merecoki hidup perempuan di dunia "laki-laki sentris".
Deretan subplot tersebut (ditambah konflik persahabatan Dhea-Kikan-Tara yang diberi jatah tersendiri) saling berebut sorotan utama dengan romansanya. Guliran alurnya kerap menemui batu sandungan, tapi akting jajaran pemainnya lain cerita.
Jika Dea Panendra sekali lagi sukses menjadi scene stealer berkat kehebatannya menyeimbangkan porsi dramatik dan komedik, maka Lutesha adalah perwujudan sempurna dari "protagonis drama Korea modern". Karakter Dhea dibuatnya tampil menggemaskan, menggelitik, acap kali canggung, cenderung dikuasai kegamangan, namun tiap dibutuhkan, selalu membuktikan kekokohannya.
Lutesha memang pelakon hebat, tapi poin di atas kembali menunjukkan pemahaman mendalam Meira terhadap medium kesukaannya. Lihat momen "gerak lambat berulang" yang muncul saat ada dua karakternya nyaris berciuman, atau konfrontasi perdana Bimo dan Julian, yang berkat kejelian Meira menulis barisan dialog super dramatis, berhasil memancing sorak sorai penonton.
Apa pun kekurangan film ini, rasanya telah ditebus oleh babak ketiganya. Diawali oleh twist serba hiperbolis ala drakor makjang, yang menariknya justru menambah kompleksitas karakter (tiada yang bisa sepenuhnya kita salahkan di akhir), Cinta Tak Seindah Drama Korea sukses mendarat secara mulus dan memposisikan hati miliknya di tempat yang tepat berkat sensitivitas pengarahan sang sutradara.
(JAFF 2024)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar