REVIEW - YOHANNA
Enam tahun pasca upaya mereplikasi gaya Paweł Pawlikowski di Ida (2013) melalui Ave Maryam, kini melalui Yohanna, Razka Robby Ertanto kembali berambisi mengikuti kekhasan auteur lain, yakni Terrence Malick. Masalahnya sang sineas sebatas ingin meniru kulit luar, tanpa benar-benar meresapi substansi, pula memahami alasan mengapa si empunya gaya memilih untuk menerapkannya.
Naskah yang sang sutradara tulis sendiri sejatinya masih menyoroti problematika serupa Ave Maryam, yakni mengenai suster yang tergoyang imannya (dengan ending yang juga memperlihatkan si suster "membasuh diri" dengan air laut). Kali ini giliran suster bernama Yohanna (Laura Basuki) yang diikuti proses batinnya. Ditemani Malu (Iqua Tahlequa) si mantan biarawati, Yohanna pergi ke Sumba untuk mengirim bantuan pada korban bencana alam.
Menaiki sebuah mobil pinjaman, Yohanna berangkat tanpa menduga bahwa perjalanan tersebut bakal mendatangkan beragam rintangan yang berpotensi menyeretnya ke dalam jurang maksiat. Pencurian, gratifikasi, alkoholisme, perdukunan, hingga perjudian jadi beberapa contoh dosa yang Yohanna temui di sana.
Sinematografi arahan Odyssey Flores jadi poin kunci dalam upaya Razka mengopi Malick (minus narasi puitis dan musik megah). Lanskap Sumba mampu ditangkap dengan begitu cantik oleh kamera yang bergerak liar bak hantu tak kasat mata tengah terbang mengitari karakternya. Sudah pasti low angle banyak diterapkan guna menguatkan kesan "agung" khas Malick.
Yohanna memang sedap dipandang, tapi lain cerita kala membicarakan penceritaan. Cukup nyaman diikuti di paruh awal, naskahnya tiba-tiba mengambil keputusan ekstrim dengan mengobrak-abrik struktur alurnya, lalu menggunakan teknik non-linear yang melompat-lompat secara brutal. Apakah perlu? Jelas tidak. Gaya bercerita tersebut justru merusak aliran mulus yang sudah dibangun, sekaligus menyulitkan penonton terkoneksi secara emosi.
Film-film Malick pun demikian. Bedanya, Malick mengusung dua tujuan. Pertama, alur non-linear dipakai sebagai representasi memori yang memang acap kali hadir secara acak di hati manusia. Kedua, Malick ingin memvisualisasikan struktur narasi puisi yang cenderung tak terkekang pakem konvensional. Substansi macam itulah yang luput Yohanna perhatikan.
Razka terlampau sibuk mengutak-atik urutan cerita hingga melupakan setumpuk poin yang lebih esensial. Dia membiarkan kesalahan-kesalahan dialog maupun deretan "kecelakaan" yang biarpun kecil tetaplah mengganggu, terpampang jelas di layar.
Dia pun lalai mengeksplorasi dinamika psikis dan keimanan sang protagonis. Sejak kapan Yohanna kehilangan keimanan? Apa pasal ia tak lagi memercayai kuasa Tuhan? Seperti apa gejolak batinnya kala terpaksa melakukan beberapa dosa? Bahkan akting Laura Basuki yang seperti biasa sangat memikat pun tak kuasa memberi jawaban memuaskan tentang karakternya yang ditulis secara begitu tipis.
(JAFF 2024)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar