REVIEW - SAMPAI JUMPA, SELAMAT TINGGAL
Apakah pemakaian latar Korea Selatan di Sampai Jumpa, Selamat Tinggal merupakan sebuah keharusan? Mungkin tidak, tapi tempat berstatus "tanah asing" memang esensial bagi filmnya. Karena Adriyanto Dewo selaku sutradara sekaligus penulis naskah, menjadikan Korea selaku representasi ketersesatan para individu yang secara kebetulan saling bersimpangan jalan.
Individu pertama adalah Rey (Jerome Kurnia) yang bertahan hidup dengan bekerja serabutan sebagai imigran gelap. Lari dari polisi imigrasi sudah jadi makanan sehari-hari. Keharusan untuk kabur itu pula yang membuat Rey bersedia menolong Wyn (Putri Marino), yang datang ke Korea guna mencari keberadaan kekasihnya, Dani (Jourdy Pranata).
Serupa karya-karyanya sebelum ini (Tabula Rasa, Kajiman, One Night Stand, Galang, Mudik), Adriyanto Dewo kembali memakai pendekatan yang cenderung "rileks". Mengalir dalam tempo medium yang terasa presisi berkat kejeliannya mengatur pacing, minim dramatisasi, pula mengutamakan suasana ketimbang alur. Adriyanto sudah menguasai betul metode tersebut, sehingga dengan mudah saya pun dibuat terhanyut dalam pusaran kehidupan penuh misteri karakternya.
Sinematografi garapan Dimas Bagus Triatma Yoga menyusun gambar-gambar cantik yang enggan menyia-nyiakan indahnya warna-warni lampu malam, sebagai panggung Rey dan Wyn mencari petunjuk arah. Ketika Jerome cenderung tampil dingin (sesuai kebutuhan), Putri menyeimbangkannya lewat cakupan emosi luas serta penanganan variatif terhadap kalimat-kalimat dalam naskah. Kiki Narendra yang memuluskan selipan humor filmnya sebagai Anto yang gemar mencampuradukkan Bahasa Korea dan celotehan Bahasa Jawa, juga Lutesha sebagai Vanya yang misterius nan intimidatif, tak ketinggalan mencuri perhatian.
Alur Sampai Jumpa, Selamat Tinggal yang terkesan tanpa arah bukannya tanpa tujuan. Adriyanto memang ingin menyamakan frekuensi penonton dengan dua tokoh utamanya yang sedang tersesat. Rey tidak memiliki tujuan, sementara Wyn mendapati tujuannya hanya akan mengulangi lingkaran setan yang pernah ia lalui.
Hanya saja, untuk bisa melalui durasi yang mencapai 109 menit, film ini memerlukan suntikkan dinamika. Selepas melewati satu jam, alur monoton yang mengutamakan atmosfer dan tampil dingin karena minim gejolak akhirnya terasa melelahkan. Apalagi tokoh-tokohnya baru benar-benar berproses kala alurnya mendekati paruh akhir (sesuatu yang bisa dimanfaatkan untuk menambah dinamika sedari awal).
Memasuki babak pamungkas, barulah kita lebih jauh mengenal tiap karakternya, mengetahui luka serta dosa masing-masing. Sampai Jumpa, Selamat Tinggal untungnya tak berusaha tampil "ajaib" dengan menyembuhkan mereka secara instan. Pada akhirnya mereka belum sepenuhnya beranjak dari kegelapan, masih pula menyisakan luka, tapi setidaknya ada secercah cahaya bernama "tujuan" yang membuat hidup lebih memiliki arti.
(JAFF 2024)
1 komentar :
Comment Page:mantap reviewnya bang, nitip link ya bang sesama web movie http://5.180.24.3/
Posting Komentar