REVIEW - ALMARHUM
Di Almarhum, selepas kematian seorang karakter, akibat dilanggarnya suatu adat, seluruh anggota keluarga berujung terancam mengalami nasib serupa. Sebuah "tale as old as time" di horor Indonesia. Tapi naskahnya memberi twist pada deretan kematian tersebut, sembari membawa inspirasi dari seri Final Destination, guna mengubah filmnya menjadi sesuatu yang segar meski masih dihantui banyak kekurangan.
Kematian yang dimaksud menimpa Mulwanto (Rukman Rosadi), yang sedari sore sudah mengeluhkan kondisi tubuhnya. Keesokan harinya, di pagi buta ketika hendak mandi, akibat kerusakan di pemanas air, ia tersetrum dan meninggal seketika. Detik-detik menjelang kematian Mulwanto dipakai untuk menanamkan "aturan" yang filmnya anut: sekeras apa pun manusia berusaha, menghindari sang maut adalah kemustahilan.
Almarhum juga menampilkan berbagai "pertanda" lewat tulisan-tulisan dalam bentuk grafiti di dinding maupun kalimat usang di bak mobil, yang (secara kebetulan) menginformasikan pada karakternya bahwa kematian akan segera menjemput mereka. Cheesy, tapi sekali lagi, "sangat Final Destination".
Kematian Mulwanto mendatangkan duka luar biasa, baik bagi ketiga anaknya, Wisesa (Dimas Aditya), Nuri (Safira Ratu Sofya), dan Yanda (Alzi Markers); si keponakan, Ajeng (Meisya Amira) yang ia rawat layaknya anak sendiri; maupun sang istri, Rahmi (Nova Eliza), yang tak kunjung henti meneteskan air mata. Andai filmnya memberi ruang intim yang lebih personal pada proses berduka Rahmi alih-alih membuatnya meraung-raung tanpa henti, mungkin hasilnya lebih memilukan.
Mungkin itu cara filmnya mewadahi selera penonton awam Indonesia, yang mengharapkan segalanya serba besar. Caranya meneror pun ikut terpengaruh. Konflik utama Almarhum berpusat pada fakta kalau Mulwanto meninggal pada Selasa Kliwon, yang artinya, bila tak segera dilakukan ritual, arwah sang almarhum bakal datang untuk menjemput anggota keluarganya dalam waktu lima hari.
Permasalahan di atas, apalagi dengan rujukan ke Final Destination, tentu tak memerlukan kemunculan dedemit. Tapi mengingat penonton Indonesia cenderung sulit merestui status "ke-horor-an" sebuah film bila tak dihiasi penampakan, maka sosok-sosok seperti pocong sampai hantu berwujud nenek tua pun dipaksakan eksis. Setidaknya di kursi sutradara, Adhe Dharmastriya mampu menghadirkan beberapa timing jumpscare yang cukup efektif memacu jantung penonton. Beberapa ide teror naskahnya pun patut diberi apresiasi (penggunaan suara langkah kaki di sebuah adegan adalah keputusan cerdik).
Di satu sisi, Adhe belum benar-benar menguasai cara menyusun build-up jelang tiap kematian, yang mana merupakan pondasi utama seri Final Destination. Terkadang pengadeganannya terkesan buru-buru mendatangkan maut, di saat semestinya ia masih bisa bermain-main dengan intensitas (menyorot baut yang pelan-pelan lepas, kabel yang mulai putus, dll.).
Bukan berarti sang sutradara belum mencoba. Setidaknya ia memahami prinsip ala Final Destination, di mana para karakternya dikejar oleh takdir untuk menyandang gelar "almarhum". Tapi keunggulan utama film ini terletak pada bagaimana naskahnya membuat rentetan kematiannya tampil logis, alias sesuatu yang sangat mungkin terjadi tanpa adanya campur tangan elemen mistis sekalipun.
Setidaknya poin itu berhasil dipertahankan hingga jelang paruh kedua. Sayangnya setelah itu Almarhum beberapa kali mengkhianati logika serta aturan yang telah susah payah dibangun, dengan membuat beberapa kematiannya terasa "terlalu mistis", pula serba "out of nowhere" tanpa build-up memadai. Belum lagi hadirnya beberapa penyakit khas horor Indonesia lain, seperti pengadeganan draggy yang membuat alur repetitif (ala Final Destination) miliknya makin terasa melelahkan. Tapi sebagai pembuka tahun, Almarhum adalah awal yang cukup menjanjikan.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar