REVIEW - BIRD

Tidak ada komentar

"How we like to sing along, though the words are wrong". Begitu bunyi sepenggal lirik dari lagu The Universal milik Blur yang beberapa kali terdengar di film ini. Banyak orang, termasuk barisan karakter di Bird, memang tidak bisa menjalani hidup sesuai norma. Perilaku mereka, atau cara yang ditempuh untuk mengarungi keseharian, tidak mencerminkan "kenormalan". Tapi seperti orang-orang pada umumnya, mereka juga ingin bisa mencintai dan dicintai. 

Hidup normal bukanlah kemewahan yang bisa dinikmati Bailey (Nykiya Adams). Dia tinggal di sebuah apartemen terbengkalai bersama ayahnya yang masih sangat muda, Bug (Barry Keoghan), dan kakak tirinya, Hunter (Jason Buda). Bug jauh dari figur ayah ideal. Suatu ketika, ia mengumumkan bakal menikahi Kayleigh (Frankie Box) meski baru mengenal si perempuan beranak satu selama tiga bulan. Membuat narkoba dari ekstrak racun katak jadi caranya membiayai pernikahan tersebut. 

Mudah memberi cap buruk kepada Bug, apalagi kala Keoghan muncul dengan akting yang membuatnya gampang dibenci. Tapi melalui Bird, Andrea Arnold yang bertindak selaku sutradara sekaligus penulis naskah, coba mengajak penonton mengobservasi lebih jauh, mengamati keluarga (bahkan secara lebih luas, sosial masyarakat) disfungsional yang berjuang memakai cara mereka sendiri. Arnold paham betul bahwa kaum marginal ini tidak sempurna, jauh dari standar moralitas, namun bukan berarti dapat dengan mudah dihakimi. 

Bailey yang menolak pernikahan sang ayah memutuskan memberontak. Rambut panjangnya ia pangkas, pernah pula ia tak kembali pulang dan tertidur di tengah tanah lapang. Tiba-tiba angin berembus kencang. Suara desirnya seketika terdengar lantang. sementara pohon dan rerumputan tinggi turut bergoyang. Di situlah nuansa mistis dari elemen magical realism milik Bird mulai menampakkan wujudnya. 

Begitu pagi menjemput, sesosok pria misterius yang memperkenalkan dirinya sebagai Bird (Franz Rogowski) menghampiri Bailey, dan dari situlah persahabatan tak biasa keduanya bermula. Bersenjatakan permainan gestur eksentrik yang sarat misteri, Rogowski dengan mulus menjadikan Bird poros magical realism filmnya. 

Bird mewakili apa yang Bailey harapkan hadir dalam hidupnya: kebebasan. Seperti burung yang terbang semaunya di angkasa, Bird tidak terikat oleh aturan apa pun. Tengok saja penampilannya. Fisik Bird sama seperti laki-laki pada umumnya, namun ia memakai rok, seolah menolak dikekang oleh sekat-sekat gender. 

Metode yang Andrea Arnold pakai untuk menggarap filmnya pun menjunjung tinggi asas kebebasan. Bird seringkali mendobrak pakem pembuatan film konvensional, termasuk saat di satu titik Bailey menatap tajam ke arah kamera. Dinding pemisah antara karakter dengan penonton seketika runtuh, begitu pula batasan realisme dan fantasi, juga kenyataan dan mimpi. 

Kesan di atas diteruskan oleh teknik penyuntingan yang bergerak layaknya keping-keping kenangan, sewaktu acap kali filmnya, meski hanya dalam sekejap, menampilkan isi hati Bailey yang dipenuhi rekaman memori mengenai orang-orang di sekitarnya. Dari situ kita bisa memahami kompleksitas perasaan sang protagonis secara lebih jauh. 

Bailey tak menginginkan kedatangan Kayleigh. Tapi tatkala si ibu kandung, Peyton (Jasmine Jobson), menyebut Bailey "buruk rupa", Kayleigh malah memuji penampilannya. Rupanya Kayleigh adalah perempuan baik. Realita memang tidak sesederhana itu, apalagi bagi individu yang tengah mengarungi fase pendewasaan seperti Bailey. 

(Klik Film)

Tidak ada komentar :

Comment Page: