REVIEW - NOBODY 2
Kalau Nobody (2021) menyoroti sisi individual protagonisnya, maka Nobody 2 mengentalkan aspek kekeluargaan. Bagaimana selepas kebutuhan personalnya terpenuhi (lagi), kini si jagoan mesti menjalankan peran sebagai ayah sekaligus suami, tentunya sembari tetap meninggalkan setumpuk mayat penjahat di sepanjang perjalanan.
Hutch Mansell (Bob Odenkirk) tak lagi mengeluhkan rutinitas membosankan sebagai pekerja kantoran. Demi menebus kekacauan yang ia ciptakan di film pertama, Hutch kembali dikirim untuk menuntaskan berbagai misi rahasia oleh pihak pemerintah. Hasratnya akan kekerasan pun terpuaskan. Masalahnya, giliran sang istri, Becca (Connie Nielsen), yang memendak keluhan.
Melalui montase yang jadi cerminan sekuen serupa di film sebelumnya, kita melihat Becca mulai akrab dengan kesepian akibat Hutch selalu pergi untuk menjalankan misi. Dua anak mereka, Brady (Gage Munroe) dan Sammy (Paisley Cadorath), juga kurang mendapat perhatian sang ayah. Hutch pun mencetuskan ide untuk membawa keluarganya berlibur, tapi bukannya bersantai, ia malah mesti menghadapi penjahat keji bernama Lendina, yang diperankan dengan penuh semangat bersenang-senang Sharon Stone. Sayang, kehadiran sang aktris legendaris dalam adegan aksi cenderung kurang dimanfaatkan.
Naskah buatan Derek Kolstad dan Aaron Rabin sejatinya cuma menawarkan plot generik yang tak cukup kuat untuk menjaga intensitas tatkala baku hantam sedang absen, namun terkadang daya tarik justru hadir dari kesederhanaan kisahnya. Nobody 2 bukan John Wick yang tersusun atas bangunan dunia kompleks.
Skalanya kecil. Hutch tidak harus berurusan dengan beragam organisasi kriminal eksentrik atau terjebak konspirasi pelik. Dia hanya individu yang kelimpungan menata work-life balance, pula kepayahan perihal mengatur emosi. Segala ancaman yang dialami Keluarga Mansell berawal sat Hutch ingin membalas sikap buruk seseorang terhadap dua anaknya. Apakah itu insting "melindungi" milik seorang ayah, atau sekadar luapan amarah pria yang enggan membiarkan egonya tercoreng?
Menarik pula menyaksikan Timo Tjahjanto menangani film dengan alur sederhana macam ini. Nobody 2 (89 menit) merupakan karya tersingkat sang sutradara, yang bahkan lebih pendek daripada Rumah Dara (95 menit). Timo pun bisa lebih berfokus mengeksplorasi pengarahan aksi yang mampu ia susun dengan penuh gaya, termasuk berkat penataan kamera Callan Green yang bergerak demikian lincah.
Dibanding deretan filmografi sang sineas lainnya, kadar kekerasan Nobody 2 tak terlalu tinggi, minimal sebelum babak ketiga yang tampil bak versi mematikan dari Home Alone, namun energi yang Timo suntikkan di tiap pertarungan Hutch, juga sentuhan komedik dalam aksinya yang cukup kreatif dalam memanfaatkan properti (pengaruh dari film-film klasik Jackie Chan amat kental di sini), merupakan motor penggerak yang memadai bagi filmnya.
Satu pilihan artistik yang menonjol adalah penggunaan gerak lambat. Timo tahu kapan harus memakainya guna menambah nuansa dramatis, tanpa mengeksploitasinya secara berlebihan. Gerak lambat di sini adalah penegas. Sebuah bumbu penyedap alih-alih bahan baku utama. Adegan adu pedang yang melibatkan Harry (RZA), adik tiri Hutch, hingga momen romantis tak terduga berhiaskan lagu The Power of Love di penghujung babak ketiga, semua meninggalkan kesan yang berlipat ganda berkat efek tersebut.
Tapi yang membuat Nobody 2 terasa begitu memuaskan bukanlah soal kebrutalan atau estetikanya, melainkan fakta bahwa orang-orang yang Hutch hajar memang pantas menerima bogem mentah, dari sekumpulan penjahat kelas teri yang terlampau sombong, para perundung, hingga barisan aparat korup yang menyalahgunakan kekuasaan mereka. Walau masih jauh dari kesempurnaan, mungkin Hutch bukan ayah yang benar-benar buruk.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar