REVIEW - BRIDGET JONES: MAD ABOUT THE BOY

Tidak ada komentar

Ketika banyak franchise yang telah mencapai film keempat mulai terkesan memaksakan keberlanjutannya, Bridget Jones justru sebaliknya. Mad About the Boy bukan cuma sekuel terbaik yang serinya miliki, juga tampil sebagai progresi natural dari ceritanya, yang akan terasa mewakili kehidupan mereka yang menua bersama sosok Bridget Jones di layar perak. 

Naskahnya mengadaptasi novel ketiga Bridget Jones karya Helen Fielding yang memiliki judul sama, yang sewaktu diterbitkan pada 2013 lalu, memancing kontroversi akibat keputusannya membunuh karakter Mark Darcy. Versi filmnya melakukan hal serupa. Mark (Colin Firth) dikisahkan terbunuh kala menjalankan misi kemanusiaan di Sudan, meninggalkan Bridget (Renée Zellweger) bersama dua anak mereka. 

Ketimbang sebatas alasan bagi Bridget terlibat dalam pencarian romansa lagi, naskah buatan Helen Fielding, Dan Mazer, dan Abi Morgan menjadikan kematian Mark sebagai cara mengeksplorasi realita individu paruh baya, yang mendapati hal-hal indah dalam hidup mereka perlahan berubah atau bahkan lenyap. 

Demikianlah realita seiring pertambahan usia. Sehingga sesuatu yang masih tetap sama, seperti kehadiran Daniel (Hugh Grant) dalam hidup Bridget, akan terasa begitu berharga. Ada kehangatan melihat Daniel, yang masih seorang pemain cinta, kini menjadi salah satu sahabat terbaik Bridget 25 tahun pasca berupaya merebut hatinya. 

Menyaksikan Mad About the Boy bak perjalanan menaiki mesin waktu untuk kembali ke era keemasan komedi romantis. Sebuah tontonan ringan yang menyelipkan pesan kehidupan tanpa harus terbebani melahirkan karya sarat isu. Mengamati proses Bridget menyadari bahwa ia pantas melanjutkan hidup, entah dengan kembali bekerja atau mencari cinta baru, memang terasa empowering, namun fokus utamanya tetaplah menciptakan hiburan romantis nan menggelitik.

Pengarahan Michael Morris mampu mengawinkan humor yang kelucuannya berbanding lurus dengan tingkat keabsurdan, dan momen-momen percintaan manis. Begitulah semestinya komedi romantis dirumuskan. Tengok saat filmnya mengganti peristiwa "meet-cute" dengan "meet-silly" lewat "adegan pohon" yang jadi pertemuan perdana Bridget dan Roxster (Leo Woodall). 

Bridget mulai tertarik pada Roxster yang jauh lebih muda. Di lain pihak ada Scott Wallaker (Chiwetel Ejiofor), guru di sekolah anak-anaknya yang dikenal kaku dan galak. Sayang, elemen cinta segitiganya belum mampu menandingi dinamika Bridget-Mark-Daniel yang legendaris. Presentasinya bak sebatas obligasi memenuhi formula cinta segitiga yang wajib ada di film Bridget Jones. Penonton tak diberi alasan untuk meragukan bahwa akhirnya Bridget akan lebih memilih Scott. 

Tapi Mad About the Boy tetap berhasil mempersembahkan penutup yang layak bagi perjalanan Bridget Jones. Hangat, emosional, menyenangkan. Renée Zellweger masih luar biasa memikat sebagai Bridget Jones si perempuan canggung, yang kadang nampak bodoh, namun tak jarang menampakkan kecerdasannya. Melihat Bridget yang menolak kehilangan senyum di tengah hantaman badai realita membuat saya turut memunculkan senyuman yang sama.

Tidak ada komentar :

Comment Page: