REVIEW - CINTA TAK PERNAH TEPAT WAKTU
Diadaptasi dari novel berjudul sama karya Puthut E.A., Cinta Tak Pernah Tepat Waktu buatan Hanung Bramantyo terasa begitu familiar. Bukan karena klise, tapi perihal kedekatan yang ceritanya bawa. Rasanya mayoritas dari kita pernah memakai "tunggu waktu yang tepat" sebagai jawaban atas beragam pertanyaan, namun tak pernah bisa mendefinisikan kapan sesungguhnya "waktu yang tepat" itu.
Protagonisnya bernama Daku (Refal Hady), yang seolah dipakai untuk menegaskan betapa personal karya ini bagi si pembuat, dan mungkin juga demikian di mata para penikmat. Meski pernah memenangkan sayembara Dewan Kesenian Jakarta, kini Daku malah cuma menulis novel pesanan, terjaga tiap dinihari merangkai kalimat yang bukan berasal dari hatinya.
Daku hanya terlalu betah berkutat dalam ketakutan. Dia takut bukunya takkan laku bila dibuat berdasarkan idealisme. Dia pun selalu enggena menemui ayah pacarnya, Nadya (Nadya Arina), karena takut didorong untuk segera menikah. Sewaktu akhirnya hubungan itu kandas, dan perempuan-perempuan lain seperti Anya (Carissa Perusset) yang mandiri hingga Sarah (Mira Filzah) si dokter asal Malaysia turut singgah di hidupnya, Daku pun terus terganjal ketakutan serupa.
Mungkin tidak ada sineas yang lebih memahami Yogyakarta dibanding Hanung. Tengok saat Daku menghabiskan waktu bersama rekan-rekannya, yang terdiri atas jajaran cameo figur dunia seni dan literatur seperti Agus Noor, Agus Magelangan, dan Butet Kartaredjasa. Bukan cafe modern nan mewah yang jadi latar, melainkan tempat lebih sederhana yang dapat menangkap "kegayengan" khas kotanya.
Tentu Hanung, yang turut menulis naskahnya bersama Haqi Achmad, juga paham betapa kenyamanan Yogyakarta kerap menjadi pisau bermata dua bagi masyarakatnya. Dia bisa mendamaikan, tapi juga bisa terlalu jauh membuai hingga membuat individu terlena. Jangankan tanggung jawab besar pernikahan, sebatas untuk bangun pagi saja Daku tak mau. Pertanyaan "Bagaimana kamu melihat hidupmu lima tahun ke depan?" pun kesulitan Daku jawab, karena ia enggan memusingkan masa depan. "Menunggu waktu yang tepat" pun bisa jadi sekadar alasannya untuk lari.
Salah satu destinasi Daku ketika lari adalah rumah orang tuanya (Slamet Rahardjo dan Dewi Irawan) di Rembang. Setiap si tokoh utama kembali ke kampung halaman, Hanung mengubah rasio filmnya menjadi 4:3 yang lebih sempit, guna menggambarkan bagaimana Daku mengurung diri dalam sangkar yang ia ciptakan sendiri.
Perjalanan Daku memahami takdir yang dibawa sang waktu akan terasa begitu menyakitkan (apalagi pasca hadirnya suatu tragedi), tapi tidak jarang pula ia tampil menggelitik lewat sentuhan humor yang terselip secara natural. Satu-satunya penghalang bagi narasinya untuk terbang lebih tinggi adalah, saat beberapa pesan yang diutarakan secara verbal oleh naskahnya, terdengar terlampau konservatif bila dikonsumsi oleh penonton masa kini (caranya memandang figur "perempuan idaman", perspektif terkait pernikahan, dll.). Wajar saja, mengingat novelnya telah berumur dua dekade.
Untunglah penampilan para pelakonnya tak pernah menyisakan kekecewaan. Terutama duo Dewi Irawan dan Slamet Rahardjo sebagai orang tua penyayang yang mampu membangun kedekatan dengan sang putra, dan tentunya Refal Hady yang membawa karakternya pelan-pelan merasakan betapa hidupnya banyak mendatangkan luka. Daku pun akhirnya menyadari, bahwa daripada menjadikannya sebagai alasan dalam kegagalan melangkah yang berujung mengombang-ambingkan kehidupan, lebih baik ia mengendarai aliran waktu, yang memberinya kendali atas hidup itu sendiri.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar