REVIEW - COMPANION
Companion bukan film yang akan menjadi primadona di antara horor rilisan 2025. Dia takkan memantik pembicaraan mengenai bagaimana "film genre" dipandang sebelah mata di musim penghargaan, tidak pula berpeluang hadir dalam "daftar terlaris". Tapi presentasi 97 menitnya mengingatkan soal kapasitas genrenya perihal menciptakan tontonan menyenangkan yang digarap singkat dan ringan, tanpa membebani diri untuk menjadi lebih bisa dari apa yang dibutuhkan.
Bukan berarti karya orisinal milik Drew Hancock (melakoni debut sebagai sutradara dan penulis naskah untuk layar lebar) ini hanya produk kosong. Jauh dari itu. Bagaimana laki-laki misoginis cuma memandang pasangan (baca: perempuan) bak alat pemuas nafsu yang bisa diatur sesuai keinginan jadi persoalan yang menambah bobot penceritaan. Tapi Companion mengingatkan bahwa film dengan isu berat tidak melulu harus tampil berat pula.
Semua dibuka sebagaimana liburan normal sepasang kekasih biasa, saat Josh (Jack Quaid) mengajak Iris (Sophie Thatcher) menghabiskan waktu bersama teman-temannya di sebuah kabin terpencil. Di sana ada Eli (Harvey Guillén) dan pacarnya, Patrick (Lukas Gage); Kat (Megan Suri) yang kerap bersikap kurang ramah pada Iris; juga Sergey (Rupert Friend) si pria Rusia eksentrik, yang juga pemilik kabin sekaligus pacar Kat.
Sejak awal, lewat barisan voice over, Iris sudah memberitahukan pada penonton bahwa kelak Josh, sang kekasih yang amat ia cintai, bakal tewas di tangannya. Bagaimana bisa? Pagi hari indah di pinggir danau tatkala Iris duduk berdua bersama Sergey jadi penyulut efek domino sarat pertumpahan darah yang turut mengungkap setumpuk rahasia kelam.
Rahasia pertama: Iris adalah robot seks yang tak menyadari identitas aslinya. Dia diprogram hanya untuk melayani apa pun keinginan si pemilik. Tapi ketimbang "diprogram", kata "dimanipulasi" mungkin lebih pas untuk menggambarkan perlakuan yang Iris terima. Manusia begitu kejam hingga robot pun dimanipulasi sedemikian rupa guna memenuhi nafsu mereka.
Rahasia kedua: Josh bukan kekasih baik seperti perkiraan Iris. Dia diberi kebebasan mengatur tingkat kecerdasan Iris melalui aplikasi, dan memberinya kecerdasan rendah. Josh merepresentasikan golongan laki-laki misoginis yang tidak mau memiliki pasangan dengan inteligensi tinggi. Dia hanya menginginkan barang yang dapat dimanfaatkan.
Selepas rahasia pertama terungkap, seiring Josh dan teman-teman memandang Iris sebagai monster mengerikan, si gadis yang masih terguncang pasca mendapati hidupnya hanya kepalsuan, memilih kabur sebelum nantinya memutuskan membalas dendam. Aksi kucing-kucingan pun terjadi, dan Drew Hancock membungkusnya dengan ringan.
Sangat ringan, singkat, pula bergerak cepat tanpa basa-basi. Companion bukan tontonan menegangkan yang bakal menggedor jantung penonton. Sebaliknya, kita cenderung diajak bersantai menikmati eksplorasi isu gender berbalut teknologi miliknya yang tetap tajam tanpa harus tampil terlampau rumit, sembari dihibur oleh selipan humor yang punya efektivitas tinggi meski muncul lebih sering dari dugaan. Penghormatan terhadap Terminator 2: Judgment Day (1991) yang dapat ditemukan lewat bagaimana salah satu karakternya digambarkan (nama, pakaian, penokohan) pun menambah bumbu penyedap.
Sophie Thatcher bermain luar biasa. Ada kalanya dari senyuman maupun gerak-geriknya, sang aktris memperlihatkan kecanggungan menggelitik sebagai "sosok yang mempertanyakan kemanusiaannya". Tapi tidak jarang kecanggungan itu memancarkan pilu, terutama saat Iris menyadari bahwa ia merupakan korban hubungan toxic, yang kesulitan menghapus rasa cinta terhadap sang kekasih walau logika sudah berkata sebaliknya. Tapi terpenting Thatcher juga membawa ketangguhan kala akhirnya Iris telah memantapkan hati untuk melangkah sebagai individu yang merdeka dari ketergantungan destruktif.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar