REVIEW - PERAYAAN MATI RASA
Tenggelam. Begitulah situasi yang dialami para individu di Perayaan Mati Rasa (judulnya diambil dari lagu yang dibawakan sang sutradara, Umay Shahab, bersama Natania Karin). Ada yang secara literal, ada pula yang tenggelam dalam palung kelam kehidupan, sembari mengakrabkan diri dengan ketidakpastian dan beragam bentuk kepiluan.
Ian (Iqbaal Ramadhan) merasakan jenis tenggelam yang kedua. Ketika adiknya, Utha (Umay Shahab), merengkuh sukses berkat siniar yang membuatnya memiliki jutaan pengikut di media sosial, band Midnight Serenade yang Ian gawangi bersama Ray (Devano Danendra), Dika (Randy Nidji), dan Saka (Dul Jaelani) tak kunjung bersinar. Lagu-lagu bertenaga mereka (which sound great to me) belum cukup mendatangkan popularitas.
Ian iri pada Utha. Belum lagi adanya kehampaan di hati Ian akibat merasa kekurangan kasih sayang, karena sang ayah, Satya (Dwi Sasono), lebih sering pergi berlayar. Sampai suatu tragedi mengguncang keluarga ini, yang memaksa Ian dan Utha melempar kebohongan demi kebohongan kepada ibu mereka, Dini (Unique Priscilla).
Naskah buatan Junisya Aurelita, Santy Diliana, Rezy Junio, dan Umay Shahab tak memerlukan berbaris-baris kalimat saat tragedi tersebut menerjang. Hanya lewat satu kata, "tenggelam", luapan emosi seketika menghantam. Ketimbang tuturan verbal atau manipulasi berlebihan lewat musik, pengarahan Umay di film ini memang lebih berkonsentrasi pada menangkap rasa yang jajaran pemainnya ekspresikan. Alhasil, penggunaan close-up pun jamak ditemui.
Tapi ada kalanya sinematografi arahan Bagoes Tresna Aji menerapkan lanskap megah (misal di latar pelabuhan), yang tak hanya indah, tapi turut menggambarkan bagaimana karakter-karakternya merasa kerdil di antara himpitan emosi mereka. Seluruh pelakon pun tampil apik dalam menyampaikan gejolak hati masing-masing. Iqbaal sebagai Ian yang tak lagi mampu menahan kondisi menyesakkan dalam hidupnya, Dwi Sasono sebagai figur ayah hangat yang memberi pondasi bagi segala dinamika rasa yang akan muncul, hingga Unique Priscilla yang jadi penggerak emosi utama di babak ketiga.
Alurnya dibagi menjadi empat babak, yang masing-masing dinamai berdasarkan empat zona laut (Abisal, Batial, Neritik, Litoral), sebagai cara melukiskan proses Ian beranjak dari ketenggelaman di palung terdalam, sebelum nantinya semakin kuat, semakin dewasa, bahkan pelan-pelan bersedia mengambil peran sebagai anak sulung dan kepala dari keluarga yang selama ini cenderung ia kesampingkan.
Butuh waktu agak (terlalu) lama sampai Perayaan Mati Rasa tiba di menu utama, yang memberi warna unik bagi formula cerita mengenai upaya manusia menghadapi duka, yang sudah begitu sering diangkat, termasuk oleh karya Umay sebelumnya, Ketika Berhenti di Sini (2023). Tapi ada sedikit harga yang mesti dibayar dari upaya menghasilkan keunikan tersebut. Selipan humor saat Ian dan Utha membuntuti ibu mereka, yang melibatkan sebuah "aksi hipnotis", meski harus diakui terasa menggelitik, seperti berasal dari film yang jauh berbeda sehingga menimbulkan inkonsistensi.
Walau demikian, secara keseluruhan Perayaan Mati Rasa tetap sebuah karya yang kompeten di segala lini, tanpa keberadaan lubang yang menganga terlampau lebar. Sebuah katarsis yang bakal terasa dekat bagi para penonton yang tenggelam dalam duka, juga suatu pengingat akan mortalitas manusia yang membatasi waktu kita bersama orang-orang tercinta.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar