REVIEW - THE GORGE
Twist terbesar di The Gorge adalah, walaupun dibuat oleh Scott Derrickson yang membidani lahirnya The Exorcism of Emily Rose (2005), Sinister (2012), hingga The Black Phone (2021), elemen yang paling menonjol dalam campur aduk genrenya bukan horor, sci-fi, thriller, maupun aksi, melainkan romansa.
Alkisah dua penembak jitu dikirim untuk mengemban tugas serupa, yakni menjaga dua menara yang dipisahkan jurang lebar. Di menara barat ada Levi (Miles Teller) si mantan marinir Amerika Serikat, sedangkan menara timur ditempati oleh Drasa (Anya Taylor-Joy) yang merupakan agen rahasia yang kerap ditugaskan oleh Rusia. Tidak sulit menebak subteks yang ditanam oleh naskah buatan Zach Dean seputar kaitan antara jurang dan hubungan dua protagonisnya.
Levi dan Drasa mesti tinggal di sana selama setahun, dengan tujuan menjaga supaya para monster yang bersemayam di dasar jurang tidak memanjat keluar. Monster-monster itu dikenal dengan sebutan "The Hollow Men", yang nampak bak campuran zombie, hewan, dan tumbuhan. Desain ala lovecraftian berhasil menghidupkan makhluk misterius itu secara kreatif.
Tapi lupakan dulu perihal pasukan zombie itu, sebab romansa Levi dan Drasa akan lebih banyak mendominasi satu jam pertama. Diawali oleh saling pandang melalui teropong, keduanya memutuskan melanggar larangan untuk mengadakan kontak, lalu berkomunikasi melalui tulisan, lesatan peluru, lagu yang diputar lewat pengeras suara, bahkan bermain catur tanpa memedulikan adanya jurang pemisah (literally).
Kisah cintanya tampil manis. Miles Teller dan Anya Taylor-Joy menjalin chemistry kuat tanpa harus berada dalam satu frame, membangun pemandangan romantis tentang dua manusia yang kehilangan arah sebelum menemukan cinta di tempat antah berantah. Inilah representasi nyata dari kalimat "dunia serasa milik berdua". Hanya ada mereka....dan sekelompok monster yang sesekali harus keduanya basmi.
Sewaktu tiba waktunya pembasmian dilakukan, Miles Teller dan Anya Taylor-Joy mampu secara meyakinkan menanggalkan wajah romansa mereka. Levi si lelaki hangat, serta Drasa si perempuan manis, mendadak beralih rupa menjadi dua prajurit tangguh, yang mengemban tugas sebagai tembok pertama umat manusia.
Sekuen pertempuran pertamanya diarahkan dengan intens oleh Derrickson. Menariknya, baku tembak itu disusun sebagaimana presentasi romansanya yang menjauhi kesan cerewet, di mana aksi lebih mendominasi ketimbang kata-kata verbal. Tidak ada celetukan atau one-liner ala blockbuster yang memaksakan diri untuk meringankan suasana. Levi dan Drasa sepenuhnya fokus pada tugas mereka.
Sayangnya, apa yang susah payah dibangun pelan-pelan runtuh selepas Levi dan Drasa akhirnya mengatasi jurang di antara mereka. Keduanya pun bertatap muka. Tapi daripada alat untuk mengeksplorasi hubungan mereka, naskahnya sebatas menjadikan pertemuan tersebut sebagai alasan supaya The Gorge bisa memperbesar skalanya.
Filmnya bergerak ke arah survival horror berbumbu aksi yang jauh lebih berisik, dan tentunya, lebih generik, termasuk penjelasan yang ditawarkan tentang asal-usul The Hollow Men. Aksinya minim intensitas, jumpscare yang Derrickson lemparkan pun seperti kekurangan tenaga. Semua dibiarkan bergulir begitu saja tanpa dampak signifikan, sampai ke babak ketiganya yang tersaji antiklimaks sekaligus menyia-nyiakan kemunculan Sigourney Weaver dengan memberinya porsi sebagai antagonis bodoh. Memang tidak semua hal harus tampil sebesar dan sekeras mungkin.
(Apple TV+)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar