REVIEW - I'M STILL HERE

Tidak ada komentar

Mereka berbaris di sepanjang jalan, mengenakan seragam dengan penuh kebanggaan. Masing-masing menenteng senapan yang menumbuhkan keyakinan bahwa dirinya tak terkalahkan. Satu per satu mobil mereka hentikan, lalu tiap penumpang diseret paksa ke bahu jalan untuk dipersekusi dengan kedok "interogasi". Mereka adalah angkatan bersenjata Brazil, yang alih-alih memberi rasa aman justru menebar ketakutan, dan bukannya menjaga malah menghilangkan nyawa. 

I'm Still Here dibuat berdasarkan memoar berjudul sama buatan Marcelo Rubens Paiva, yang merekam kehidupan keluarganya di era 70-an, tatkala Brazil berada di bawah cengkeraman kediktatoran militer. Ketika itu Marcelo (Guilherme Silveira) masih bocah, dan belum mengerti betapa mencekam kondisi negerinya. Dia memiliki empat saudara perempuan: Vera (Valentina Herszage), Eliana (Luiza Kosovski), Nalu (Barbara Luz), dan si bungsu, Maria (Cora Mora). 

Ayah Marcelo, Ruben Paiva (Selton Mello), adalah mantan anggota kongres yang sempat hidup terasing pasca kudeta militer tahun 1964. Dia kerap menerima telepon entah dari siapa dan membicarakan apa. Sang istri, Eunice (Fernanda Torres), menyadari itu namun memilih untuk tak ambil pusing, dan menikmati kehidupan damai yang keluarganya jalani. 

Dibantu tata kamera arahan Adrian Teijido, Walter Salles selaku sutradara membungkus banyak titik filmnya bak rekaman home video. Visual grainy jadi pilihan, pun ada kalanya shaky cam ala mockumentary dipakai. Bahkan di sebuah momen, salah satu karakternya menari sambil menatap ke arah kamera walau tidak ada karakter lain yang sedang merekam video. 

Mungkin kitalah yang memegang kamera. Mungkin Salles ingin membuat penonton merasa terlibat langsung agar filmnya terkesan lebih intim. Menonton I'm Still Here memang seperti berada di tengah interaksi karakternya, yang banyak mengadakan pesta, entah di rumah, pantai, hingga jalanan komplek. Banyak tawa bahagia, sampai semuanya berubah 180 derajat sewaktu sekelompok orang tak dikenal membawa Rubens pergi untuk diinterogasi terkait perihal yang dirahasiakan.

Itulah kali terakhir Eunice melihat wajah suaminya. Tanpa pelukan hangat, tanpa salam perpisahan penuh cinta. Hari itu, Rubens Paiva dihilangkan oleh negara. Sesekali Salles mengajak kita menyimak televisi untuk tahu bahwa hilangnya Rubens telah menjadi berita internasional. Tapi filmnya dijaga supaya tetap tampil intim. Salles enggan mengeskalasi skala filmnya, dan terus dipresentasikan sebagai cerita personal dalam lingkup keluarga. 

Fokus utama terletak pada proses Eunice memproses hilangnya sang suami. Eunice mampu memperbaiki boneka putrinya, tapi bisakah ia menambal lubang yang muncul di keluarganya selepas ketiadaan Rubens? Pelan tapi pasti, Eunice dihantam oleh pemahaman bahwa kemungkinan ia takkan bertemu sang suami lagi, dan Fernanda Torres begitu piawai mengupas emosinya sedikit demi sedikit. Sang aktris bukan berakting layaknya ledakan, melainkan sengatan-sengatan kecil yang perlahan meninggalkan luka.

Ketika di penghujung durasi filmnya melakukan dua kali perpindahan linimasa (1996 dan 2014), kita pun diajak menyadari kepiluan dalam hati individu yang ditinggalkan. Para pemegang kuasa mampu melenyapkan sosok tercinta dalam hidup Eunice, tapi tidak dengan memori tentangnya. Eunice menolak untuk lupa. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: