REVIEW - SING SING

Tidak ada komentar

Banyak cara digunakan untuk merendahkan seni dan para pelakunya. Seniman secara umum kerap dianggap sebagai pemberontak tanpa masa depan, laki-laki yang menekuni balet bakal diragukan maskulinitasnya, hingga bagaimana aktor dicap "ahli berbohong". Mengadaptasi buku non-fiksi The Sing Sing Follies karya John H. Richardson, Sing Sing mengajak penonton membuka mata soal kekuatan seni sebagai ekspresi diri, yang acap kali jadi obat paling mujarab bagi penyakit hati. 

"Sing Sing" adalah nama lembaga pemasyarakatan yang jadi panggung bagi cerita filmnya. John "Divine G" Whitfield (Colman Domingo) merupakan salah satu tahanan paling dihormati di sana berkat kontribusinya menginisiasi Rehabilitation Through the Arts (RTA), sebuah program yang menggunakan teater selaku medium rehabilitasi untuk para tahanan. 

Divine G adalah figur nyata. Sosok aslinya muncul sebagai cameo, memerankan seorang napi yang meminta Divine G menandatangani bukunya. Tapi bukan dia seorang mantan narapidana yang tampil di sini. Mayoritas pemeran pendukungnya adalah alumni RTA, termasuk Clarence "Divine Eye" Maclin yang menjadi dirinya sendiri. 

Sekilas, Divine G dan Divine Eye adalah dua kutub berseberangan. Jika Divine G senantiasa bersikap ramah serta berpikiran positif, Divine Eye cenderung agresif. Ketika Divine G meyakini kekuatan seni sebagai media terapi, Divine Eye menganggap semuanya tanpa arti. Tapi Divine G tetap mengajaknya bergabung ke dalam RTA, karena ia sadar bahwa sesungguhnya Divine Eye menyimpan ketertarikan terhadap seni dan literatur, namun memilih menyembunyikannya karena enggan terkesan "tidak gangsta". 

Sampai lambat laun, dinamika cinta-benci mulai tumbuh di antara keduanya. Meski secara tulus ingin membantu Divine Eye memperbaiki diri, kecemburuan sedikit demi sedikit hadir di hati Divine G, yang notabene termasuk salah satu pendiri RTA. Sosoknya amat dihormati, sampai sang sutradara pementasan, Brent (Paul Raci), tidak mempermasalahkan kala Divine G berulang kali menginterupsinya. 

Tapi ketika dilakukan diskusi untuk memilih naskah apa yang hendak dipentaskan, forum justru menyetujui gagasan Divine Eye memainkan komedi alih-alih memakai naskah drama Divine G. Bahkan Divine Eye berujung mendapatkan peran incaran Divine G. Kondisi serupa terjadi di luar konteks teater, kala keduanya sama-sama mengajukan permohonan pembebasan bersyarat. 

Divine G yang tadinya bak dewa di langit ketujuh mendadak jatuh ke tanah dan mempertanyakan arti dirinya. Colman Domingo begitu baik menampilkan dua sisi Divine G: sebagai figur karismatik dengan suara berat yang mendorong orang untuk mematuhinya, juga individu rapuh yang perlahan meragukan makna dari segalanya. Di sisi lain, Clarence Maclin menghadirkan keotentikan sebagai pria yang kesulitan mengendalikan letupan emosi di tengah prosesnya mencari penebusan dosa.

Kesan otentik memang sesuatu yang diutamakan oleh Greg Kwedar selaku sutradara. Ketimbang memanipulasi, dia lebih berupaya memotret situasi, yang berujung melahirkan realisme emosional di tengah penceritaan dengan pacing rapi miliknya. Satu-satunya keluhan mungkin ditimbulkan oleh begitu gampang sekaligus instan cara yang filmnya pakai guna menyelesaikan sebuah konflik besar di paruh akhir, tatkala sang protagonis terjatuh ke dalam titik terendahnya. 

Sing Sing berhasil tampil menyentuh bukan karena pemandangan memilukan yang dibuat-buat atau momen emosional dengan luapan emosi besar-besaran, melainkan dari caranya mengingatkan penonton bahwa selalu ada cara untuk mengeluarkan diri dari jurang kegelapan. Para karakternya menolong diri mereka lewat akting. Latihan seni peran memberikan kebebasan menjadi siapa pun, pula berada di mana pun, berkat kekuatan imajinasi yang dapat menembus tembok penjara setebal apa pun. 


(KLIK FILM)

Tidak ada komentar :

Comment Page: