REVIEW - KOMANG
Raim Laode (Kiesha Alvaro), seorang pemuda Sulawesi beragama Islam, menjalankan salat sembari menghadap ke barat. Komang (Aurora Ribero), si gadis keturunan Bali pemeluk Hindu bersembahyang ke arah Timur. Kiblat keduanya berlawanan. Pun kelak, saat Raim merantau ke Jakarta, samudera menjadi pemisah luas di antara mereka. Tapi sebagaimana telah ditunjukkan oleh jutaan cerita romansa, kekuatan cinta bakal mengalahkan beragam batasan di atas.
Film yang sedikit banyak mengambil inspirasi dari lagu viral berjudul sama karya Raim Laode ini hadir dengan semangat serupa. Sekilas tak ada yang spesial. Apalagi mengingat kisahnya berbasis pada peristiwa nyata, sehingga 400 ribu orang yang telah menonton sampai tulisan ini dibuat pun rasanya tahu kalau akhirnya cinta bakal jadi pemenang.
Tapi Komang memang tak berniat mendobrak pakem. Naskah buatan Evelyn Afnilia, yang begitu piawai merangkai kata-kata bermakna tanpa harus menggunakan hiberpola berlebihan, seolah ingin mengingatkan bahwa jatuh cinta akan selalu terasa indah, tidak peduli seberapa klise peristiwa demi peristiwa yang dilewati oleh sepasang kekasih.
Pada momen perkenalan mereka, Komang mampu memancing tawa Raim dengan humor gelap mengenai mendiang ayahnya. Setelahnya pun, semua aktivitas kencan keduanya selalu diwarnai tawa. Bahkan kecanggungan antara dua manusia yang baru bersua pun dapat disikapi dengan positif melalui tawa.
Itulah alasan Komang begitu menyenangkan diikuti. Presentasinya jauh dari kekakuan. Begitu pula chemistry yang dijalin oleh Kiesha, yang akhirnya membuktikan kelayakannya sebagai aktor, dan Aurora, yang senantiasa jeli mengolah tutur kata. Dinamika yang terbangun memudahkan penonton meyakini bahwa Raim dan Komang memang dua individu yang saling menyayangi.
Pengarahan Naya Anindita yang kembali menyutradarai film layar lebar sejak Eggnoid enam tahun lalu pun mampu mencurahkan rasa manis lewat susunan momen-momen romantis yang membumi. Gestur seperti menggandeng tangan, dua mata yang saling menatap penuh rasa, atau perbuatan yang meski terkesan sederhana, membuktikan prinsip "talk less do more" dari protagonisnya, dipakai sebagai amunisi utama.
Penceritaannya memang menyisakan beberapa kejanggalan kecil, sebutlah selipan adegan soal kunjungan Raim ke Amsterdam yang tak pernah dijabarkan alasannya. Tapi satu poin yang agak mengganggu adalah paparannya yang cenderung berat sebelah mengenai cinta beda agamanya.
Ketika ibunda Komang, Meme (Ayu Laksmi), memandang sinis status Raim sebagai orang Islam, maka orang tua dari pihak si pria (Cut Mini dan Mathias Muchus) selalu bersikap toleran, termasuk saat enggan memasak sapi karena Komang makan bersama mereka. Sikap Meme sejatinya bisa dijustifikasi, mengingat trauma akibat "kehilangan" putri sulungnya yang juga berpindah agama. Tapi bagaimana dengan komentar miring para tetangga tentang isu tersebut, atau keluhan para kerabat soal ketiadaan lawar babi di menu masakan?
Untungnya di sekitar ketimpangan tersebut, Komang rutin membawa keunggulan yang lebih menonjol. Khususnya jika membicarakan penampilan dua aktris pemeran ibu masing-masing protagonis. Sewaktu Ayu Laksmi piawai mengutarakan rasa sakit menusuk di balik segala ketegasan yang terus Meme tampilkan di permukaan, Cut Mini mampu mengaduk-aduk emosi kala menampakkan ketabahan walau tengah dirundung duka. Mungkin humanisme yang dimunculkan para pelakonnya inilah yang membuat Komang memiliki rasa, alih-alih sebatas parade kata-kata puitis sok romantis.
Tidak ada komentar :
Comment Page: OldestLatestPosting Komentar