REVIEW - SORRY, BABY
Sorry, Baby selaku debut penyutradaraan Eva Victor, mengangkat isu soal kekerasan seksual terhadap perempuan, dan ia menanganinya dengan sensitivitas tinggi. Tidak ada bagian yang terasa eksploitatif, tiada pula adegan problematik atau kealpaan merangkai kata yang eksistensinya layak dipertanyakan. Sederhananya, semua terasa benar dalam film ini.
Narasinya dibagi jadi beberapa segmen yang merangkum tahun-tahun dalam hidup protagonisnya dan berjalan secara non-linear. Agnes (Eva Victor) tinggal sendiri di sebuah kota kecil, sembari bekerja sebagai dosen di universitas tempatnya dahulu berkuliah. Dia memilih menetap, meski kota dan kampus itu pernah mendatangkan peristiwa traumatis baginya. Agnes jadi korban perkosaan oleh Decker (Louis Cancelmi), pembimbingnya selama menulis tesis, di kediaman si dosen.
Sekilas dilihat, Agnes bak tak menyimpan luka. Sewaktu sahabat lamanya, Lydie (Naomi Ackie), datang berkunjung, mereka terus berbagi canda tawa. Kita pun turut dibuat tergelak, karena baik sebagai aktor, sutradara, maupun penulis naskah, Eva Victor, piawai menyelipkan kejenakaan, yang ada kalanya datang dalam wujud komedi kelam.
Sorry, Baby menolak stigma, bahwa perempuan korban kekerasan seksual harus selalu menampakkan penderitaan dan dilarang beranjak dari kesedihan. Agnes adalah individu yang tidak hanya didefinisikan dari kejadian tersebut. Bahkan bersama Lydie, ia bisa membicarakan sisi lucu dari aktivitas seksual. Film ini bukan soal kasus yang merenggut hidup individu, namun sebaliknya, tentang bagaimana si individu merebut kembali hidupnya untuk terus dijalani.
Berlawanan dengan gejolak yang masih acap kali mengusik batin karakternya, Victor mengetengahkan suasana damai kala bercerita. Penderitaan enggan ia sulap jadi komoditas narasi. Penonton tidak coba dimanipulasi, tapi diajak melewati proses observasi. Agnes yang sekilas nampak baik-baik saja, sejatinya memperlihatkan beberapa "pertanda", yang bakal dijelaskan pasca alur filmnya mundur ke tahun-tahun yang telah lalu. Mengapa Agnes merasa khawatir belum mengunci pintu? Apa pula alasan Lydie segera mematikan televisi yang menayangkan 12 Angry Men?
Kilas baliknya turut berfungsi melempar kritik terhadap cara masyarakat, entah dari institusi pendidikan, tenaga medis, hingga aparat hukum, perihal ketidaktepatan mereka memperlakukan korban kekerasan seksual. Perenungan menarik dihadirkan kala suatu ketika Agnes ditunjuk sebagai juri sebuah persidangan, dan definisi bagi "praduga tak bersalah" serta "saksi langsung" dibacakan. Terdengar masuk akal, sampai kita membahas kasus perkosaan di tempat privat sebagaimana dialami Agnes.
Sorry, Baby menegaskan bahwa pemahaman akan kondisi individu seperti Agnes bukanlah persoalan gender, menilik bagaimana beberapa perempuan pun gagal memberi respon sensitif di hadapan Agnes. Semua soal empati. Penuturan Victor dipenuhi empati. Pengadeganannya sarat empati, demikian pula kalimat-kalimat dalam naskahnya, yang penuh gambaran mengenai kompleksitas perasaan para penyintas kekerasan seksual.
Selepas peristiwa pemerkosaan (yang membuktikan bahwa adegan semacam itu tetap dapat terasa mencekam tanpa harus dipaparkan secara eksplisit), kita diajak mengamati perjalanan Agnes pergi dari rumah si pelaku. Kamera bergerak begitu hati-hati mengikuti Agnes, dan selama beberapa saat tetap bertahan di belakang si protagonis, enggan mengeksploitasi emosinya, seolah hanya ingin menjaga sembari memberi ruang bagi korban. Itulah yang semestinya kita lakukan.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar