REVIEW - ONE BATTLE AFTER ANOTHER
One Battle After Another melukiskan dinamika dunia kita sekarang, di mana pertikaian terus lahir tanpa akhir dan konflik jadi santapan sehari-hari. Sebuah 162 menit penuh kekacauan yang berpotensi jadi bencana sinematik andai bukan ditangani oleh pengarahan jawara seorang Paul Thomas Anderson (PTA), yang merevolusi genre aksi, memberinya ruang emansipasi dari tuntutan menyuguhkan hiburan tanpa isi.
Sekuen pembuka epiknya mengantar kita berkenalan dengan kelompok pejuang revolusi bernama French 75 yang tengah membobol pusat penahanan guna membebaskan para imigran. Sepasang kekasih, Perfidia Beverly Hills (Teyana Taylor) dan Bob Ferguson (Leonardo DiCaprio), termasuk pentolannya.
Kebanyakan sineas akan merasa cukup membuka karyanya dengan misi pembebasan di atas. Protagonis diperkenalkan, keseruannya pun cukup untuk mencengkeram atensi penonton. Tapi PTA bukan "kebanyakan sineas". Pasca misi, musik gubahan Jonny Greenwood, yang sepanjang durasi bereksperimen dengan bunyi-bunyian (khususnya perkusi) layaknya ilmuwan gila, dibiarkan terus mengalir, mengiringi perlawanan demi perlawanan French 75 yang jauh dari kata "usai".
Mengambil inspirasi dari novel Vineland karya Thomas Pynchon, One Battle After Another menangkap wajah rasis Amerika Serikat, di mana sekelompok pemegang kuasa diam-diam bersekutu dengan tujuan "memurnikan ras", sembari menamai diri mereka Christmas Adventurers Club.
Kolonel Steven J. Lockjaw (Sean Penn) merupakan white supremacist yang berharap dapat bergabung dengan Christmas Adventurers Club. Dialah kepala dari pusat penahanan yang French 75 serang di awal film. Pada penyerbuan tersebut, Perfidia menerobos ke kamar Steven, mempermalukannya, memaksa si kolonel membuat penisnya berdiri di bawah todongan senapan.
Interaksi keduanya menekankan kecerdikan PTA membangun studi karakter. Alih-alih terprovokasi oleh lontaran kata-kata beraroma perlawanan dari Perfidia, Steven sibuk menggigit bibir sambil menahan nafsu. Perfidia pun serupa. Mulutnya menyuarakan revolusi seolah untuk menyembunyikan tatapan matanya yang menyiratkan hasrat diri. Si laki-laki kulit putih yang begitu bangga akan maskulinitas dan rasnya justru ingin tunduk di bawah kaki perempuan kulit hitam, yang di balik segala gembar-gembor revolusinya, hanya ingin merengkuh kepuasan diri.
Itulah awal dari konflik belasan tahun yang bakal melibatkan pengejaran Steven terhadap anggota French 75, tidak terkecuali Bob beserta putrinya, Willa (Chase Infiniti), yang mendapat beberapa uluran bantuan termasuk dari Sergio St. Carlos (Benicio del Toro), pria Meksiko pemilik akademi ninja yang dipanggil "sensei" oleh murid-muridnya. PTA bak mengungkapkan kecintaan atas sinema eksploitasi, dari blaxploitation dengan deretan karakter bernama nyeleneh seperti Junglepussy, hingga nunsploitation.
Skala ceritanya begitu masif, tatkala PTA memberi gambaran bahwa tiap individu mempunyai pertarungan mereka masing-masing. Satu konflik berujung melahirkan konflik lain, ibarat efek domino, hanya saja tiap kejatuhan satu keping domino disertai ledakan penyulut huru-hara.
Bagaimana mungkin cerita sebegini besar nan liar mampu dituturkan tanpa menciptakan kekacauan naratif? PTA mengarahkan kisahnya bagai pembalap formula satu yang memacu mobilnya secepat kilat tanpa pernah kehilangan kendali berbekal refleks level dewa miliknya. One Battle After Another tak mengandung satu pun momen yang terasa percuma, pun secara konsisten menjaga intensitasnya selama hampir tiga jam.
Jajaran pelakonnya tak kalah hebat. DiCaprio tampil konyol tanpa harus menjadi karikatur. Sosok Bob diposisikannya selaku individu biasa yang kehilangan tujuan hidup, lalu beralih ke ganja guna mengisi kekosongan hatinya. Begitu pula Penn kala menghadirkan monster rasis yang ada kalanya amat mengerikan, namun kerapuhan maskulinitasnya tak jarang mengundang tawa. Di tengah keduanya, performa Benicio del Toro membuat saya terpukau oleh ketenangan berwibawa si "ninja Meksiko".
PTA memotret barisan karakternya sebagai manusia biasa melalui naskahnya yang menolak kedangkalan propaganda. Jajaran prajurit revolusi misalnya, yang diperlihatkan berkali-kali membocorkan rahasia kelompok kala berada di bawah ancaman militer. Tiada manusia sempurna di sini. Hebatnya, sang sineas memanusiakan karakternya tanpa terkesan mengerdilkan perlawanan mereka.
Haram hukumnya mengultuskan satu figur dalam perjuangan. Sebuah perjuangan semestinya berorientasi pada gagasan ketimbang sosok yang diidolakan secara berlebih. Pada akhirnya, para pejuang cuma manusia biasa dengan segunung kelemahan, juga memiliki orang-orang tercinta yang dapat dimanfaatkan oleh lawan untuk menyudutkan mereka. Tapi gagasan akan selalu abadi.
Klimaks One Battle After Another membawa penonton mengunjungi area terpencil di tengah padang gurun untuk menyaksikan kejar-kejaran mobil. Di satu titik, PTA menempatkan kita di perspektif mobilnya kala melaju kencang melintasi jalanan naik-turun yang membatasi jarak pandang. PTA bukan hanya memanfaatkan teknologi, pula elemen geografis dalam menyiasati adegan. Jenius! Revolusi tidak disiarkan di televisi, tapi dipancarkan oleh proyektor ke layar perak sinema.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar