REVIEW - SAMPAI TITIK TERAKHIRMU
Melalui jendela mes sempit salah satu tokoh utamanya di malam hari, kita bisa mengintip barisan gedung bertingkat memancarkan benderang kemewahan mereka yang dapat membutakan. Itulah mengapa Sampai Titik Terakhirmu lepas dari kategori eksploitasi murahan. Sebagaimana normalnya tearjerker, menguras air mata penonton tetap jadi tujuan, tapi pokok bahasan utamanya adalah perihal cahaya harapan di tengah ruang gelap yang sekilas tanpa harap.
Naskah buatan Evelyn Afnilia mengadaptasi perjalanan romansa nyata antara Albi Dwizky (Arbani Yasiz) dan Shella Selpi Lizah (Mawar Eva de Jongh). Penghuni mes tadi adalah Albi, yang merantau dari Medan lalu bekerja sebagai pekerja kasar di perusahaan penyelenggara acara. Meski seorang diri, Albi rutin melakukan panggilan video dengan mamaknya (Tika Panggabean) di kampung.
Shella tinggal bersama keluarga besar. Didin (Kiki Narendra), ayahnya, bekerja sebagai tukang ojek, sementara Erna (Unique Priscilla), ibunya, merupakan karyawan sebuah usaha penatu. Ada juga dua adiknya, Lydia (Yasamin Jasem) dan Dide (Shakeel Fauzi). Semua sibuk dengan rutinitas masing-masing, termasuk Shella yang aktif bermain sepak bola. Tapi tiap sore, meja makan di bawah tangga jadi ruang sempit yang selalu diisi tawa.
Paruh pertamanya hangat, bahkan tak jarang menggelitik. Entah karena kegemaran Lydia (Yasamin Jasem piawai menyeimbangkan sisi jahil dan penyayang karakternya) mengusili Dide, atau ocehan-ocehan trio tetangga tukang gosip: Nurul (Tj Ruth), Yeti (Siti Fauziah), dan Mamang Racing (Onadio Leonardo). Semua pemeran pendukung berjasa menjaga tingkat keefektifan humornya.
Kehangatan itu lalu berkembang jadi romantisme selepas Albi dan Shella bertemu, kemudian jatuh cinta. Kecanggungan Albi yang dibawakan secara meyakinkan oleh Arbani, keceriaan Shella yang dihidupkan oleh Mawar, memudahkan penonton menikmati kebersamaan keduanya. Tidak ada romantika yang dilebih-lebihkan. Hanya dua manusia dari pinggiran kota yang kebetulan menemukan cinta sederhana.
Sampai kesenduan mulai menghampiri kisahnya, sewaktu ditemukan kista di ovarium Shella. Kista itu membesar, begitu pula perutnya, memberi ilusi seolah ia tengah hamil, yang menyulut pergunjingan di kalangan tetangga. Poin ini penting, sebab jangankan di layar perak, di tatanan keseharian pun, kondisi medis tersebut masih jarang dibicarakan oleh masyarakat awam hingga berpotensi menyulut kesalahpahaman sebagaimana film ini perlihatkan.
Pengobatan demi pengobatan, rangkaian operasi yang tak kunjung usai, semuanya dilakukan namun kanker Shella malah terus memburuk. Dia tersiksa. Begitu pula batin orang-orang di sekelilingnya. Sampai Titik Terakhirmu tentu masih mengikuti beberapa pakem tearjerker bertema penyakit kronis yang menyoroti penderitaan tokoh-tokohnya. Tapi yang jadi pembeda, dia menolak berkutat di sana terlalu lama.
Beberapa tetes air mata justru berasal dari pemandangan bernuansa positif seperti potret kebersamaan antar anggota keluarga, kunjungan Shella ke sebuah acara bagi para penyintas kanker, hingga kesediaan menertawakan kepiluan. Secara khusus saya menyukai keterlibatan singkat karakter Mamak. Kehadirannya menyimbolkan penyatuan ikatan dua keluarga.
Di kursi sutradara, Dinna Jasanti tahu batas dalam hal dramatisasi. Bukan asal menumpahkan air mata atau memperdengarkan musik mengharu-biru, ada kalanya Dinna mengutamakan keintiman yang dimotori oleh performa jajaran pemainnya. Tengok saja saat Kiki Narendra dan Unique Priscilla beradu akting di adegan berlatar rumah sakit. Bukan sekadar menangisi penyakit, tapi lubang yang bakal diciptakannya dalam sebuah keluarga penuh kasih.

%20(1).png)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar