REVIEW - IF I HAD LEGS I'D KICK YOU

Tidak ada komentar

If I Had Legs I'd Kick You adalah film hebat, tapi pengalaman menontonnya sungguh berat. Sutradara sekaligus penulisnya, Mary Bronstein, seperti mengajak penonton menatap tepat ke pusat lubang hitam di hati manusia, tempat bersemayamnya kebenaran yang menyesakkan. Sebuah proses substansial guna memahami kemanusiaan melalui kefanaan. 

Kisahnya dibuka saat Linda (Rose Byrne) menemani putrinya menjalani pemeriksaan rutin di rumah sakit. Tidak diketahui pasti penyakit yang mengharuskannya dipasangi selang untuk makan, pun wajah sang anak tak sekalipun nampak sebelum momen penutup. Bronstein menghindari ranah melodrama yang mengemis belas kasih, dan sepenuhnya menggiring penonton untuk berfokus pada Linda. 

Itulah fungsi close-up ekstrim yang membuka filmnya. Bukan hanya memberi penekanan pada detail ekspresi dari performa luar biasa Rose Byrne (memenangkan Silver Bear for Best Leading Performance di Festival Film Berlin, pun nominasi Academy Awards rasanya tinggal menunggu kepastian) sebagai perempuan yang terus dihantam luka, tapi benar-benar menyedot penonton masuk ke dalam jiwanya. 

Jelas bahwa batin Linda telah berada di kondisi kritis. Dia seorang diri merawat putrinya yang progresnya mengalami stagnasi, sementara sang suami yang mesti pergi bekerja selama berbulan-bulan, secara egois terus menuntut kesempurnaan. Masalah bertambah kala langit-langit apartemennya jebol, menyisakan lubang besar sebagaimana hati Linda sendiri. 

Luka demi luka demi luka demi luka. Itulah yang mengisi 114 menit film ini. Tapi pengarahan Bronstein tak pernah menyulut aroma eksploitatif. Sensitivitas sang sineas mendorong penonton memahami, bahkan turut merasakan luka protagonisnya, alih-alih sekadar meratapinya. 

Cara naskahnya mengupas lapisan-lapisan ceritanya dengan penuh kesabaran pun begitu rapi. Ada kalanya fakta baru yang kita terima bakal terasa mengejutkan, tanpa filmnya harus mengesankan kalau ia baru melempar twist. Kita hanya belum cukup mengenal karakternya saat itu. Misal sewaktu diungkap bahwa Linda, dengan setumpuk masalahnya, berprofesi sebagai terapis yang sehari-hari dituntut mendengarkan setumpuk masalah klien.

Biarpun tidak dalam kondisi ideal untuk menangani pasien, Linda tetap berupaya mendengarkan cerita mereka, bahkan sesekali memberi saran mengenai langkah apa yang mesti diambil. Saran-saran yang sejatinya dapat menguraikan beban hidupnya sendiri. Linda tahu mesti berbuat apa. Otaknya brilian. Problematikanya bukan bersifat kognitif, melainkan ketiadaan figur selaku sistem pendukung bagi mentalnya. 

Dia memakai jasa rekan sekantornya (Conan O'Brien) guna berkeluh kesah, tapi si terapis hanya menambah panjang daftar karakter laki-laki dengan ketidakpekaan dan ketidakpedulian mereka. James (ASAP Rocky), karyawan di motel tempat Linda dan putrinya menginap selama apartemen mereka diperbaiki, sempat mengulurkan bantuan, namun itu saja belum cukup. 

James sempat mengajari Linda sebuah metode meditasi. Selama bermeditasi (melalui rentetan adegan bernuansa dreamy), Linda terbawa untuk menatap ke arah lubang hitam berisi rasa sakit terbesarnya. Mungkin manusia memang perlu sesekali mengunjungi lubang hitam tersebut. Seperti luka pasca operasi pula, mungkin lubang itu bakal sembuh lalu menutup dengan sendirinya. Tapi perjalanan yang harus diarungi sebelum tiba di destinasi tersebut sungguh menyakitkan.

Tidak ada komentar :

Comment Page: