REVIEW - WICKED: FOR GOOD
Bagaimana cara melebihi presentasi musikal epik yang membawa Wicked (2024) melambung tinggi mengangkangi gravitasi? Selepas menonton sekuelnya saya belum menemukan jawaban, sebab Jon M. Cu dan tim pun sepertinya tidak tahu. Sebagai entitas tersendiri, Wicked: For Good adalah musikal yang solid, namun ia terbang jauh di bawah tingkatan pendahulunya.
Kisahnya mengadaptasi babak kedua dari pertunjukan musikal Wicked (2003). Ada perbedaan mendasar. Jeda antar babak dalam musikal broadway hanya berlangsung sekitar 15 menit, bukan setahun layaknya versi film. Kita tetap akan mengingat poin-poin utama kisahnya, bisa pula menonton ulang, tapi tiada kontinuasi emosi. Mau tidak mau, koneksi dengan tokoh-tokohnya pasti merenggang meski sedikit.
Di ceritanya sendiri lima tahun telah berlalu. Elphaba (Cynthia Erivo) kini dipanggil "Wicked Witch of the West" dan ditakuti masyarakat Oz gara-gara propaganda dari Madame Morrible (Michelle Yeoh) dan Sang Penyihir Oz (Jeff Goldblum). Sebaliknya, Glinda (Ariana Grande) dipuja selaku suar harapan biarpun tak memiliki kemampuan sihir.
Terkait cerita, sejatinya naskah buatan Dana Fox dan Winnie Holzman mengandung subteks lebih kaya dibanding film pertama, pun dengan karakterisasi yang diperdalam. Gesekan utamanya membicarakan perihal "kepalsuan". Glinda yang sejak kecil terjebak kepalsuan guna memenuhi ekspektasi orang-orang di sekitarnya, termasuk soal hal kecil seperti senyuman, jadi cerminan negeri Oz, sedangkan Elphaba merupakan katalis yang menghapus kepalsuan tersebut.
Segalanya lebih politis, khususnya sentilan bagi manipulasi para pemegang kuasa. Di nomor musikal Wonderful, kita dipertontonkan cerminan menyesakkan dunia nyata, tatkala sang penguasa lalim menjual kebahagiaan-kebahagiaan palsu sebagai iming-iming supaya si pejuang mau mematikan perlawanan. Lalu jika sejenak mengalihkan atensi ke perjalanan Nessarose (Marissa Bode), terasa pula kepahitan seorang individu yang merindukan masa muda, di tengah kehidupan dewasa yang melenyapkan nurani serta kebahagiaan.
Wicked: For Good turut menebalkan modifikasi radikalnya atas cerita buatan L. Frank Baum. Semakin anda mengenal dunia The Wizard of Oz (minimal adaptasi layar lebar klasik arahan Victor Fleming), akan semakin mengagumkan modifikasi tersebut. Entah gambaran peristiwa pasca keberangkatan Dorothy menyusuri yellow brick road yang jadi ajang Ariana Grande memamerkan talenta komikal jeniusnya, atau kemampuan mengubah nuansa upbeat dari konklusi klimaks versi aslinya jadi situasi getir sarat ironi.
Masalah terbesar Wicked: For Good memang terletak di eksekusi musikalnya, baik mengenai lagu-lagu yang tak seberapa menempel di ingatan, maupun berkurangnya daya imaji dalam hal visualisasi. Nomor The Girl in the Bubble menawarkan eksplorasi teknis unik lewat beberapa peralihan sudut pandang, namun sisanya cenderung diisi oleh repetisi medioker dari barisan mahakarya film pertama.
A Wicked Good Finale terkesan bak penutup seadanya bila dibandingkan Defying Gravity di babak pertama, walau setidaknya, momen itu diselamatkan oleh kombinasi Cynthia Erivo dan Ariana Grande. Keduanya bertukar emosi, menari-nari di antara obrolan hati ke hati, lalu menyulap kata-kata jadi bukan hanya suara, tapi lantunan nada pembawa rasa.
Musikalnya memang menyisakan jejak-jejak kekecewaan, tapi sekali lagi, Wicked: For Good adalah cerita yang kaya. Terpenting, pada akhirnya ia enggan membebani protagonisnya dengan keharusan mengubah dunia. Bukan elu-elu selaku pahlawanan yang Elphaba dambakan, melainkan hak untuk berbahagia serta menerima cinta.

%20(1).png)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar