REVIEW - ABADI NAN JAYA

Tidak ada komentar

Sebuah mobil melaju tak terkendali, menerobos tarup acara pernikahan yang berdiri di depan rumah si pemilik hajatan. Seorang warga datang menghampiri mobil yang baru berhenti selepas menabrak alat pengeras suara itu, hanya untuk mendapati sang sopir adalah sesosok zombi. Begitulah Abadi Nan Jaya membuka presentasinya, yang biarpun tak mendobrak pakem klasik horor zombi, terasa unik berkat asimilasi antara formula genrenya dengan budaya Indonesia. 

Bukan cuma soal hajatan selaku pengganti pesta kebun ala dunia barat. Penyulut wabahnya pun "sangat Indonesia". Semua berawal dari ambisi Sadimin (Donny Damara) memproduksi jamu yang bisa membuat peminumnya awet muda. Efek jamu yang diberi nama "Abadi Nan jaya" itu langsung terasa, sebab hanya dalam hitungan menit, uban serta kerut di wajah Sadimin telah lenyap. Sayang, kemanusiaan Sadimin pun ikut lenyap. Abadi Nan Jaya mengubahnya jadi zombi.

Sadimin ingin melawan kenaturalan lewat upayanya menghadang penuaan. Natur dijadikan bak pasir tempatnya bermain-main sebagai Tuhan. Naskah hasil tulisan sang sutradara, Kimo Stamboel, bersama Agasyah Karim dan Khalid Kashogi, memposisikan serbuan zombi selaku dampak kenekatan manusia melawan kehendak alam. Nantinya, zombi pun diberi kelemahan unik, yakni suatu fenomena alam yang melambangkan penyucian atas kebusukan-kebusukan ciptaan manusia.

Pasca bertransformasi, Sadimin pun menyerang keluarganya sendiri: Putri sulungnya, Kenes (Mikha Tambayong), yang siap bercerai setelah mengetahui perselingkuhan suaminya, Rudi (Dimas Anggara); Karina (Eva Celia) si istri kedua yang tetap Sadimin nikahi kendati merupakan sahabat putrinya; dan Bambang (Marthino Lio) si bungsu yang alih-alih mencari pekerjaan, lebih memilih menghabiskan waktu bermain gim di kamar. Sederhananya, keluarga disfungsional. 

Seluruh karakternya problematik, dan itu jadi keunggulan. Apalagi jajaran ensambelnya tampil kuat, yang berjasa memoles dinamika cerita sebelum teror zombi mengambil alih sorotan utama. Rahman (Ardit Erwandha) si polisi muda, beserta Ningsih (Claresta Taufan), pacarnya yang berharap segera dinikahi, kelak turut jadi sorotan, sembari membuka jalan bagi filmnya untuk menyentil ketidakbecusan aparat menangani situasi darurat. Kejengahan para penulis akan kinerja polisi seolah diluapkan lewat suatu ledakan yang diposisikan sebagai puncak penceritaan. 

Skenario serangan zombi yang ditawarkan tidaklah baru. Karakter yang terkurung di sebuah bangunan, pasukan mayat hidup yang mengepung sumber suara, semuanya adalah pakem familiar yang bertanggung jawab membuat subgenre satu ini dianggap sudah usang. Menjadi lebih segar tatkala keklisean tersebut dikawinkan dengan pemandangan khas budaya Indonesia, sebutlah zombi yang menyerang rombongan tamu acara pernikahan di atas truk, spekulasi salah satu karakter bahwa kemunculan mayat hidup diakibatkan oleh kerasukan makhluk halus, dan lain-lain.

Unsur kekerasan yang ditawarkan pun tidak seberapa ekstrim, namun kejelian Kimo memainkan tempo guna menjaga keseruan selama sekitar 117 menit membuat "kejinakan" tersebut tidak perlu dipermasalahkan. Belum lagi tambahan daya hibur dari selipan kalimat-kalimat komedik yang memperkaya warna filmnya tanpa menimbulkan inkonsistensi tone, sebab beberapa di antaranya berbentuk celotehan yang wajar bila secara spontan terlontar dari mulut seseorang kala didera kepanikan, daripada usaha melawak tanpa kenal waktu. 

Abadi Nan Jaya masuk dalam golongan film zombi, di mana tokoh-tokohnya tak mengenali mayat hidup tersebut sebelum terjadinya serangan. Kata "zombi" tak sekalipun diucapkan, bahkan oleh Bambang yang senantiasa menghabiskan waktu di depan komputer. Kondisi itu dipakai guna melogiskan tindakan-tindakan karakternya yang (di mata penonton dengan segala pengetahuan kita mengenai zombi) terkesan bodoh. Membunyikan klakson mobil di area terbuka misalnya. Tapi, mengetahui seluk-beluk masyarakat Indonesia, saya rasa ketidaktahuan dan kebodohan tersebut memang mungkin terjadi. 

(Netflix)

Tidak ada komentar :

Comment Page: