REVIEW - BLACK PHONE 2

Tidak ada komentar

Kalau ada waralaba horor klasik yang pantas diberi kesempatan (lagi) untuk meneror layar lebar, tentu A Nightmare on Elm Street jadi kandidat terkuat dengan segala gagasan inventif miliknya. Belum ada kabar mengenai upaya menghidupkannya kembali, tapi Black Phone 2 adalah hal terdekat yang bisa kita dapat. Scott Derrickson seperti mencurahkan hasrat terpendamnya membuat ulang mahakarya ciptaan Wes Craven tersebut. 

Bagaimana membuat sekuel bagi film horor yang menutup kisahnya dengan kematian sang antagonis? Naskah yang Derrickson tulis bersama C. Robert Cargill punya jawaban tak terduga: Mengubahnya menjadi Freddy Krueger. Jika sebelumnya para korban dari The Grabber (Ethan Hawke) menyambangi dunia manusia demi membalas dendam, kini giliran si pembunuh berantai yang melakukannya. 

Telepon tetap memegang peranan penting. Adegan pembukanya memperlihatkan seorang perempuan (Anna Lore) dari tahun 1957 melakukan panggilan di kotak telepon. Destinasinya belum terungkap. Lompat ke 1982, empat tahun pasca peristiwa film pertama, kita pun bertemu lagi dengan Finney (Mason Thames), yang masih dikuasai trauma akibat perbuatan The Grabber. Mariyuana dan perkelahian dia jadikan pelarian. 

Di lain pihak, sang adik, Gwen (Madeleine McGraw), masih mendapat mimpi-mimpi aneh mengenai kematian sekelompok anak kecil, lengkap dengan petunjuk yang membawanya dan Finney mengunjungi kamp Kristen di Alpine Lake. Bersama adik Robin (salah satu korban The Grabber di film pertama), Ernesto (Miguel Mora), mereka datang sebagai konselor kamp guna menyibak rahasia yang rupanya menyimpan koneksi dengan The Grabber. Mungkin Derrickson juga ingin membuat ulang Friday the 13th. 

Ada kalanya dunia mimpi Gwen membaur dengan realita, tapi Derrickson memastikan penonton tidak kesulitan membedakannya lewat penerapan sebuah bahasa visual, yakni membungkusnya memakai tekstur gambar grainy. Sebagaimana trik yang ia gunakan untuk membungkus rekaman VHS di Sinister (2012), Derrickson tahu cara membangun atmosfer sureal nan mencekam lewat format gambar tersebut. 

Salah satu mimpi buruk paling mengerikan yang Dawn alami terjadi ketika ia menyaksikan wajah seorang anak terbelah oleh pecahan kaca. Potongan wajahnya terjatuh di lantai, sementara darah mengucur dari kepala si bocah yang tak lagi utuh, memperlihatkannya mengais sisa-sisa kehidupan yang masih tersisa. 

Masalahnya, entah dipicu kekhawatiran filmnya tampak konyol atau murni disebabkan minimnya kreativitas, naskah Black Phone 2 tidak banyak mengeksplorasi variasi teror dalam mimpi, yang semestinya merupakan dunia tanpa batasan. Gwen mondar-mandir mencari petunjuk di mimpinya, melihat kematian beberapa bocah, sedangkan Finney sibuk mengangkat panggilan telepon dari neraka yang cuma bisa ia dengar. Formula itu terus diulang. Repetitif. 

Pengarahan Derrickson yang menggunakan tempo lambat pun tidak membantu. Trik visual mencekamnya bakal segera terasa usang, menyisakan ketiadaan intensitas yang berpotensi membuat penonton diserang oleh satu hal yang amat Gwen takuti: Rasa kantuk. Setidaknya menyaksikan Ethan Hawke memberi kepribadian pada The Grabber lewat permainan gestur dan suara di balik topeng, lalu membangun kemiripan dengan Freddy tanpa terkesan meniru persona Robert Englund, merupakan rutinitas yang tak pernah membosankan. 

Pasca adegan "serangan di dapur" yang makin menguatkan komparasi dengan Elm Street, barulah daya tariknya mengalami eskalasi. Alurnya tak lagi stagnan, mulai berprogres mengeksplorasi misteri mengenai Alpine Lake, The Grabber, dan sosok perempuan yang di awal film nampak menelepon dari masa lalu. 

Sebagaimana mestinya, babak ketiga Black Phone 2 berhasil memberi puncak intensitas, biarpun rules terkait eksistensi The Grabber mencuatkan tanda tanya (Kalau ia bisa menyerang korban yang tengah terjaga, mengapa tak melakukannya sejak awal?). Menyaksikan si pembunuh meluncur memakai sepatu es "buatan sendiri", pula bagaimana para korban melakukan serangan balik layaknya protagonis dalam A Nightmare on Elm Street 3: Dream Warriors (1987) guna mengakhiri trauma kolektif yang telah sekian lama menghantui, saya pun yakin Derrickson takkan merusak warisan Wes Craven bila diberi kesempatan. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: