REVIEW - THE SMASHING MACHINE

Tidak ada komentar

The Smashing Machine adalah kendaraan bagi Dwayne "The Rock" Johnson untuk membuktikan bahwa sebagai aktor berpendapatan tertinggi tahun lalu berdasarkan data Forbes (juga di 2016, 2019, 2020, 2021), dia bisa lebih dari sekadar mengangkat alis dan melompat dari gedung tinggi sambil mengenakan kemeja safari atau kaus oblong. Johnson memakai riasan prostetik, beralih dari figur jagoan yang bisa menyelamatkan semua orang, menjadi manusia biasa yang butuh diselamatkan. 

Namanya Mark Kerr, atlet MMA dua kali juara UFC yang sejak tahun 1998 beralih ke kompetisi Pride FC di Jepang. Performanya trengginas, dengan empat gelaran berhasil dimenangkan. Kemampuan mengendalikan emosi jadi kunci. Setidaknya demikian penjelasan dari Mark, yang menyamakan dirinya dengan laser yang sinarnya terfokus, alih-alih sorotan senter yang berayun-ayun tanpa kejelasan. 

Ironisnya, kelak karir Mark bakal mengalami penurunan akibat kegagalan mengontrol emosi. Bukti bahwa ia manusia biasa yang tidak sempurna. Hanya saja, Mark punya pemikiran berbeda. Euforia kemenangan di atas ring membuatnya merasa bak dewa yang dipuja para pemirsa. Perasaan tersebut jadi pelecut motivasi terbesarnya. Puja-puji itu merupakan adiksinya yang pertama. 

Lalu kita menyaksikan hubungan romansanya yang volatil dengan Dawn Staples (Emily Blunt). Pertengkaran jadi pemandangan biasa, salah satunya akibat tingginya ego mereka, yang bisa membuat Burj Khalifa sekalipun nampak kerdil. Pertengkaran pun sempat pecah tepat sebelum Mark menaiki ring guna melawan Igor Vovchanchyn (Oleksandr Usyk), yang berujung pada kekalahan perdananya. 

Mark, yang di sebuah wawancara mengaku tidak tahu rasanya kalah, amat terpukul. Naskah buatan sang sutradara, Benny Safdie, pun memulai perjalanannya mengeksplorasi proses individu menerima fakta kalau dirinya bukanlah dewa. Mark belajar menerima kekalahan, belajar mengakrabi kerapuhan, dan tentunya, belajar menjadi manusia. 

Proses belajar tersebut jauh dari gampang. Apalagi, selain puja-puji penonton kala ia meraih kemenangan, Mark masih menyimpan satu adiksi lain, yakni terhadap obat penghilang rasa sakit. Obat itu terus ia suntikkan, namun rasa sakit terbesar yang menusuk-nusuk hatinya menolak hilang. Belum lagi konflik dengan Dawn yang senantiasa singgah. Ketika dua manusia self-destructive, timbul tendensi untuk saling merusak. 

Penyutradaraan Safdie, yang menyabet penghargaan Silver Lion di Venice Film Festival 2025, mengutamakan keintiman yang dibangun lewat gaya visual ala home video. Gambar grainy, gerak-gerik liar bak kamera handheld, semua diterapkan demi menghilangkan sekat antara narasi dan penonton. 

Babak keduanya sempat kehilangan pijakan, kala naskahnya seperti memasuki mode autopilot, menggerakkan pesawat bernama "cerita" di tengah jalur berupa formula klise kisah biografi kelam. Hasilnya membosankan. Untunglah The Smashing Machine disokong oleh jajaran pelakon dalam performa puncak mereka. 

Departemen tata rias memang memegang peranan penting lewat keberhasilannya menghadirkan perubahan natural di wajah sang aktor utama. Bukan berarti Johnson bermain seadanya. Akting The Rock mungkin tak se-transformatif tata rias tersebut (beberapa kali gerak-gerik serta suara khasnya masih nampak), namun berbekal pengalamannya di atas ring yang tentu familiar dengan manisnya kemenangan sekaligus pahitnya kekalahan, kerapuhan dari sesosok laki-laki berotot raksasa pun sanggup diperlihatkan. 

Saya justru lebih terpukau dengan kepiawaian Emily Blunt mengolah beragam metode untuk meluapkan emosi. Ada kalanya ia meletup-letup, tapi momen paling memikat hadir saat Blunt meredam kepiluan si karakter, lalu menumpahkannya sedikit demi sedikit, sebagaimana setetes air mata yang membasahi wajahnya, di sebuah adegan yang jadi contoh pemanfaatan efektif dari teknik close-up. 

Menarik pula mengamati cara Safdie mengeksekusi pertarungan di atas ring. Ketimbang rock menggelegar atau dentuman perkusi pemacu adrenalin, komposisi bernuansa jazz gubahan Nala Sinephro (debutnya mengisi scoring) justru dijadikan pengiring. Mungkin Safdie memandang musik jazz senada dengan MMA. Sama-sama eksploratif, liar, tak mengenal kotak pengekang, sarat improvisasi, pula penuh kejutan. Begitu pula prinsip penyutradaraannya. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: