REVIEW - GOOD FORTUNE
"Dulu aku sesosok makhluk surgawi, sekarang aku hanya perokok berat." Kalimat tersebut diucapkan oleh "malaikat ekonomis" yang dihukum menjadi manusia biasa, dan diperankan oleh Keanu Reeves. Saya rasa deskripsi di atas sudah memberi cukup gambaran mengenai absurditas menyenangkan yang Good Fortune tawarkan.
Aziz Ansari akhirnya melakoni debut sebagai sutradara sekaligus penulis naskah yang sempat tertunda akibat dibatalkannya proyek Being Mortal pasca kasus pelecehan oleh Bill Murray. Di sini Ansari turut berakting memerankan Arj, pembuat dokumenter yang terpaksa banting setir melakukan banyak pekerjaan serabutan demi menyambung hidup. Salah satunya menjadi asisten Jeff (Seth Rogen), si investor perusahaan teknologi kaya raya.
Di sinilah kejelian naskah buatan Ansari menampakkan diri. Jeff tidak diposisikan sebagai si kaya tanpa nurani. Sewaktu Arj hendak berkencan dengan mantan rekan sekantornya, Elena (Keke Palmer), Jeff bersedia meminjamkan jaket mahalnya. Masalahnya, kebaikan kecil itu berujung percuma, karena sebagai pemilik privilese sejak lahir, Jeff hidup dalam menara gading yang menjulang tanpa jendela sehingga tak pernah mengintip realita akar rumput di bawah.
Jeff pun merekomendasikan sebuah restoran mahal sebagai lokasi kencan, yang disetujui begitu saja oleh Arj dengan segala kepolosannya. Alhasil, Arj tak mampu membayar, lalu terpaksa memakai kartu kredit kepunyaan Jeff. Esoknya ia langsung dipecat. Arj pun makin terpuruk dan merasa hidupnya tak berarti.
Apakah perbuatan Arj salah? Tentu. Mencuri tetaplah mencuri. Tapi Good Fortune menyoroti problematika sosial ekonomi pada isu jurang kelas yang lebih kompleks daripada hitam/putih moralitas. Jeff menerapkan standar serupa bagi semua kalangan, termasuk Arj selaku penghuni kelas sosial di bawahnya, tanpa bersedia menaruh empati dengan memahami perbedaan perspektif keduanya.
Kemudian datanglah Gabriel (Keanu Reeves), malaikat berpangkat rendah (ditandai oleh sayapnya yang kecil) yang punya tugas spesifik: Melindungi manusia dari kecelakaan akibat memakai smartphone kala mengemudi. Kespesifikan itu merupakan sentuhan absurd kecil namun berdampak besar pada kelucuan film.
Sebagaimana Arj, Gabriel dengan tugas remehnya menginginkan hidup yang lebih bermakna. Tercetuslah ide yang (menurutnya) brilian. Gabriel berusaha menyadarkan si protagonis bahwa hidupnya berharga, dengan cara menukar takdir Arj dan Jeff. Harapannya, Arj sadar bahwa dunia Jeff yang bergelimang harta jauh dari kata sempurna dan tidak lebih baik dari hidupnya. Gabriel tinggal di menara gading yang jauh lebih tinggi dibanding Jeff. Tentu saja. Dia makhluk surgawi.
Awal dari serangkaian twist mengenai jalan takdir tokoh-tokohnya, yang membuat 97 menit Good Fortune tersaji menyenangkan, pun dimulai. Ansari enggan membuai penonton dengan pesan-pesan moral naif ala tuturan arus utama Hollywood, yang menyebut "uang tidaklah penting." Uang memang bukan segalanya, tapi jelas bisa menyelesaikan setumpuk permasalahan Arj.
Di tengah premis fantastisnya, Good Fortune memperlakukan isunya secara realistis. Si protagonis tidak kemudian dibuat jengah bermandi uang. Gabriel yang menyadari kesalahannya berniat membujuk Arj kembali bertukar takdir. Rumitnya, Arj harus benar-benar menginginkan kehidupan lamanya yang penuh derita. Mendengar itu, bahkan Jeff pun berujar, "Buat apa dia melakukan itu?!"
Ketidakadilan sistem sosial pun tak ketinggalan disentil. Semakin tebal dompet seseorang, ia justru semakin diperlakukan istimewa. Setelah mendapat kekayaan Jeff, Arj kembali ke restoran mahal yang dulu tak kuasa ia bayar, guna mengulang kencannya dengan Elena. Arj kini mampu membayar. Tapi pihak restoran malah memperbolehkannya makan gratis. Dunia berbasis materiel yang menafikan kemanusiaan memang serba terbalik.
Sayang, selepas barisan kritiknya yang setia berpijak pada realisme, Good Fortune, seolah kembali ke "setelan pabrik" selaku produk Hollywood, memilih konklusi yang cenderung memberi simplifikasi bagi fenomena sosial kisahnya demi akhir bahagia nan (maunya) inspiratif. Kehangatan yang coba dimunculkan pun terkesan semu.
Setidaknya daya hibur dari sindiran-sindiran yang dihantarkan dengan amat menyenangkan tidak sampai terkikis. Good Fortune bukan komedi yang akan membuat penontonnya tertawa sampai sakit perut, tapi kualitas komedinya merata, hingga tak menyisakan ruang bagi rasa bosan. Sedikit disayangkan, Keke Palmer luput diberi peluang memamerkan aset terbesarnya: Mulut tanpa "saringan" yang begitu efektif memancing tawa di film-filmnya yang lain.
Aziz Ansari dan Seth Rogen tampil menggelitik, namun tidak berlebihan rasanya menyebut Good Fortune sebagai "panggungnya Keanu Reeves". Mungkin inilah film yang paling berhasil memaksimalkan persona sang aktor yang serba canggung di tiap tutur kata maupun bahasa tubuhnya. Kecanggungan deadpan Reeves membawa satu kesan: Dia tidak manusiawi. Dan ya, dia memang malaikat.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar