REVIEW - RESURRECTION

Tidak ada komentar

Film dibuka dengan layar yang terbakar lalu pelan-pelan berlubang. Melalui lubang itu, dari sudut pandang orang pertama, kita mendapati orang-orang menatap balik ke arah layar. Seolah kali ini kita yang jadi objek tontonan...atau mungkin kita sedang menonton diri sendiri? Di Resurrection karya Bi Gan, film, pencipta, serta penikmatnya "mewujud" sebagai satu kesatuan. 

Total ada enam cerita dalam 156 menit durasinya, masing-masing mewakili pancaindra manusia (penglihatan, penciuman, pendengaran, pengecap, peraba) plus pikiran. Setiap indra dipaparkan lewat gaya sinematik berbeda, tapi ini lebih dari sebatas surat cinta pada sinema yang jamak kita temui. Ambisi Bi Gan mendorongnya melahirkan kapsul waktu berisi ciri teknis dari masing-masing bentuk sinema (kasat mata), juga ragam rasa yang dihasilkannya (tak kasat mata). 

Gagasan dasarnya membicarakan kondisi masa depan, di mana manusia berhasil memecahkan rahasia kehidupan abadi, yakni dengan berhenti bermimpi. Segelintir individu yang tetap mengidamkan bunga tidur dijuluki "Fantasmer" (secara literal punya arti "berfantasi"), dan mereka dianggap mengacaukan stabilitas sehingga mesti diburu. "Jika tak ingin kehabisan lilin, jangan nyalakan lilin itu!" Kurang lebih begitulah logika penghuni dunianya. 

Miss Shu (Shu Qi), dengan kekuatannya membedakan realita dan ilusi, termasuk salah satu pemburunya. Targetnya adalah sesosok monster (Jackson Yee) dengan wujud bak gabungan Count Orlok dan Quasimodo, yang tetap ngotot bermimpi, biarpun harus mengorbankan sisa usianya. Dipresentasikan memakai gaya film bisu, pula dilengkapi desain produksi cantik ala sinema ekspresionisme Jerman, segmen inilah benang merah penghubung cerita lainnya. 

Ada neo-noir tentang tersangka kasus pembunuhan (pendengaran), tuturan eksistensial beraroma cerita rakyat tentang lelaki yang bertemu Arwah Kepahitan (pengecap), drama keluarga soal pria yang mengajari trik sulap pada seorang bocah (penciuman), romansa berbumbu fantasi dengan estetika ala Wong Kar-wai seputar cinta sesosok pemuda pada perempuan yang baru dikenalnya di tengah isu akhir dunia jelang pergantian milenium (peraba), dan epilog yang membawa kita kembali ke awal (penglihatan). 

Semua protagonisnya diperankan oleh Jackson Yee, dan mereka memiliki kesamaan: Bersedia menderita demi merasakan percikan kehidupan kendati cuma sesaat. "Illusion may bring pain, but they're incredibly real", ucap si monster dari segmen pembuka. Sebaliknya, bagi mereka yang menutup hati, perjuangan (bahkan penderitaan), yang mesti dialami kala merumuskan karya seni termasuk sinema mungkin hanya kesemuan konyol. 

Resurrection turut membedah sifat ilusif milik sinema, di mana sineas mengakali kemustahilan, menciptakan keajaiban di layar perak dengan cara mengecoh persepsi penonton. Dibantu tim artistiknya yang luar biasa, terutama Dong Jingsong selaku sinematografer, Bi Gan menerapkan banyak trik sinematik dari permainan perspektif kamera, hingga efek visual macam reverse motion, untuk mengaburkan batasan ilusi dan realita. 

Mungkin tidak seluruh segmennya patut disebut "mahakarya". Segmen pendengaran cenderung paling lemah tatkala Bi Gan sendiri bak terjerat dalam kerumitan labirin khas noir. Sebaliknya, kisah "romansa akhir zaman" yang menyimbolkan indra peraba jadi puncak pencapaian eksplorasi teknis sang sutradara. Bergerak sekitar 40 menit tanpa putus (single take), secara lincah berubah-ubah sudut pandang, cerdik pula mengolah pencahayaan, kisah sarat kejutan yang dimotori pesona enigmatik Li Gengxi sebagai Tai Zhaomei si perempuan misterius ini adalah ilusi yang menghipnotis. 

Kemudian Resurrection ditutup oleh pemandangan puitis nan menggugah yang sekali lagi meleburkan "penonton", "yang ditonton", dan "menonton". Setelah adegan memudar seiring layar turut menghitam, karya Bi Gan ini tidak mati begitu saja. Dia hidup kembali, bangkit di dalam pikiran penontonnya, mengkreasi memori sebagai bahan perenungan maupun diskusi. Karena itulah sinema demikian indah. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: