REVIEW - SHELBY OAKS

Tidak ada komentar

Shelby Oaks berpusat pada misteri hilangnya Riley Brennan (Sarah Durn) beserta tiga temannya, yang dikenal publik sebagai "Paranormal Paranoids" lewat konten penelusuran mistis di YouTube. Keempatnya lenyap tanpa jejak pasca menginjakkan kaki di kota mati bernama Shelby Oaks. Mia (Camille Sullivan), kakak Riley, jadi salah satu narasumber untuk dokumenter mengenai kasus tersebut yang dibuat 12 tahun kemudian. 

Gaya mokumenter diterapkan oleh sang sutradara, Chris Stuckmann, yang melakoni debut setelah selama ini lebih dikenal sebagai kritikus film di kanal YouTube miliknya. Gaya, ditambah premis mengenai misteri orang hilang, bakal menciptakan komparasi dengan Lake Mungo (2008), yang dalam ulasannya, Stuckmann sebut sebagai "an underappreciated, underseen gem." 

Sampai di tengah wawancara bersama Mia, seorang laki-laki tak dikenal mendadak muncul di depan pintu rumah, kemudian melakukan tindakan mencengangkan, yang turut memantik keputusan tak kalah mengejutkan dari sang sutradara: Mengakhiri format mokumenter filmnya. Shelby Oaks seketika berubah jadi horor bergaya konvensional, yang sayangnya, tak pernah memberi cengkeraman sekuat intronya. 

Bagian terbaik dari mokumenter found footage adalah proses menyadari, bahwa di balik gambar berkualitas rendahnya, atau gumaman-gumaman tak jelas dari suaranya, tersimpan kunci memecahkan misteri, yang tak jarang mengundang rasa ngeri. Proses itu berlangsung menyenangkan karena secara aktif melibatkan penonton, mendorong kita menajamkan penglihatan serta pendengaran. Sedangkan horor konvensional cenderung hanya memposisikan kita sebagai penikmat pasif. 

Sewaktu Mia (didasari ketidakpercayaan pada polisi) nekat melakukan penyelidikan sendiri, antusiasme atas kasusnya pelan-pelan meredup. Naskah buatan Stuckmann pun tak cukup solid melandasi perjalanan selama 91 menit, karena praktis sejak kunjungan Mia ke perpustakaan guna mengumpulkan petunjuk, hampir seluruh pertanyaan telah menemukan jawaban, setidaknya secara tersirat. 

Stuckmann tahu betul cara melahirkan gambar-gambar mengerikan yang mengundang rasa tidak nyaman, piawai menentukan timing supaya jumpscare-nya memiliki daya kejut tinggi, pula menguasai trik memupuk intensitas melalui pergerakan kamera yang menyulut kecemasan penonton kala menantikan teror macam apa yang hendak dilemparkan ke layar. 

Masalahnya semua itu tak kuasa menambal kekosongan di babak kedua, di mana Stuckmann, alih-alih menebalkan misteri, memilih mengirim Mia dalam penelusuran kosong nan berlarut-larut yang dipaksa bergulir lebih lama dari seharusnya. Setidaknya Stuckmann menyadari pentingnya penceritaan visual. Beberapa pengungkapan misterinya dipaparkan menggunakan bahasa visual ketimbang eksposisi malas yang mencekoki paksa penonton dengan setumpuk fakta.

Shelby Oaks adalah pembuktian bahwa sebagai seorang kritikus, Chris Stuckmann memang memahami hal apa saja yang dapat menguatkan presentasi sebuah film. Poin tersebut nampak dari pilihannya untuk menutup narasi di tengah peningkatan intensitas yang terjadi setelah kehadiran suatu twist, yang menegaskan bahwa cerita bakal lebih berdampak bila diakhiri di titik tertinggi. Hanya saja, "memahami" tidak selalu bersinonim dengan "menguasai".

Tidak ada komentar :

Comment Page: