REVIEW - PATAH HATI YANG KUPILIH
Cinta beda agama merupakan isu pelik yang oleh sinema arus utama tanah air kerap disederhanakan menjadi romansa banal, sehingga acap kali memperlakukan agama secara murah, yang bak pakaian, bisa digonta-ganti dengan mudah, semata demi menjaga supaya beberapa kalangan tidak marah. Patah Hati Yang Kupilih setidaknya berhasil menghindari kategori kedua, kendati eksplorasi temanya cenderung generik.
Pertama-tama, perlu diingat bahwa cinta beda agama tidak harus berujung patah hati maupun transisi kepercayaan. Jika berani menempuh risiko, ada jalur yang dapat ditempuh, biarpun lebih kompleks, pula berpotensi menyulut kontroversi bagi para konservatif. Naskah buatan Junisya Aurelita, Ezra Cecio, dan Karina Nasir pun menempuh jalan aman, yang agak disayangkan namun sangat bisa dimengerti.
Pada permulaan cerita, kita berkenalan dengan Alya (Prilly Latuconsina), ibu tunggal dari buah hatinya yang masih kecil, Freya (Humaira Jahra). Sehari-hari, Alya mendapat bantuan dari ibunya, Rahma (Marissa Anita), pemilik warung mi yang mengedepankan perspektif religi, sehingga dahulu tak merestui hubungan putrinya dengan Ben (Bryan Domani) yang punya agama berbeda. Alya beragama Islam, sementara Ben Kristen.
Singkat cerita, Ben adalah ayah Freya, tapi tak mengetahui fakta tersebut akibat sebuah kebohongan, yang selama tahun-tahun berikutnya, menyulut kebohongan demi kebohongan lain yang terus mendatangkan luka-luka baru. Baik Prilly Latuconsina maupun Bryan Domani tampil solid sebagai dua individu yang terjerumus dalam pusaran dusta akibat jurang bernama "perbedaan agama".
Sedangkan di bawah penanganan Marissa Anita, Rahma si ibu ortodoks bukan sekadar jadi penghalang mengesalkan bagi cinta putrinya, melainkan figur yang mampu penonton pahami sudut pandangnya. Jangan lupakan juga bagaimana Humaira Jahra piawai mengatasi momen-momen yang menuntut akting kompleks untuk ukuran pelakon cilik.
Di ranah teknis, sebagaimana produksi Sinemaku Pictures lain, lain, Patah Hati Yang Kupilih membuktikan bahwa film drama tidak melulu pasrah dengan presentasi visual yang terkesan mentah, bermodalkan sinematografi garapan Amalia T.S., pula pengolahan warna di proses pasca-produk. Gambar-gambarnya cantik tanpa harus terkesan "sok pamer".
Babak kedua Patah Hati Yang Kupilih sempat tersandung penceritaan monoton yang hanya berkutat di tarik-ulur khas romantika bertema CLBK generik yang dua protagonisnya lalui, kemudian lalai mengupas lapisan-lapisan soal kepercayaan yang semestinya dikedepankan. Untunglah film ini setia mementingkan perspektif polos Freya. Di hadapan si bocah yang hanya ingin bahagia bersama orang tua, segala keruwetan "aturan hidup" orang dewasa bukan lagi jadi pertimbangan utama.
Eksplorasi temanya masih berkutat di permukaan akibat dipaksa mengalah supaya memberi ruang untuk elemen cerita yang lebih senada dengan selera pasar. Tidak ada penelusuran beraroma spiritual yang lebih dari sekadar kegalauan dua sejoli yang disakiti cinta mereka, pun perspektif masing-masing agama mengenai fenomenanya luput dikulik lebih jauh.
Tapi yang patut disyukuri, di fase konklusinya, Patah Hati Yang Kupilih menolak mengobral agama. Biarpun amat terbatas dalam hal kuantitas, didukung pengarahan Danial Rifki yang menjauhi pakem melodrama serba berlebihan, ada ruang bagi karakternya, (khususnya Ben selaku pemeluk agama minoritas yang kerap digambarkan begitu dangkal oleh film kita) guna merenungkan perihal kepercayaannya.

%20(1).png)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar