Tampilkan postingan dengan label Ana de la Reguera. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ana de la Reguera. Tampilkan semua postingan

REVIEW - ARMY OF THE DEAD

Sekuen kredit pembuka Army of the Dead, yang menampilkan versi Allison Crowe dan Richard Cheese untuk lagu Viva Las Vegas milik Elvis Presley, sebenarnya sudah merangkum plus minus filmnya. Bahwa Zack Snyder selalu membawa intensi baik serta ambisi tinggi terkait cerita, namun presentasinya terhalangi oleh gaya-gayaan meriah, yang meski melahirkan hiburan masif, membuat penuturannya berantakan. 

Berbeda dengan remake Dawn of the Dead (2004) selaku debutnya, menciptakan film zombie kelam bukan tujuan Snyder di sini. Mungkin inilah filmnya yang paling mengakomodasi komedi, termasuk lewat deretan kekonyolan disengaja. Tengok saja bagaimana naskah buatan sang sutradara bersama Shay Hatten (John Wick: Chapter 3 - Parabellum) dan Joby Harold (King Arthur: Legend of the Sword), menjelaskan alasan zombie outbreak, yang seperti berasal dari parodi atau judul-judul produksi The Asylum. 

Singkatnya, wabah zombie menyerang Las Vegas, sehingga pemerintah menutup seisi kota, kemudian mendirikan kamp karantina bagi orang-orang yang berpotensi terinfeksi. Ketika rencana membumihanguskan kota memakai nuklir dicanangkan, Bly Tanaka (Hiroyuki Sanada yang belum lama ini memerankan Scorpion di Mortal Kombat), seorang milyuner, menyewa jasa Scott Ward (Dave Bautista), guna mengambil uang senilai 200 juta dollar dari dalam brankas di kasino miliknya, yang terletak di tengah Las Vegas. Walau sempat ragu, Scott pun setuju membentuk tim. 

Di sisi lain, Kate (Ella Purnell), puteri Scott yang sekian lama membenci sang ayah, menjadi relawan di kamp. Bersama Kate, kita melihat bagaimana aparat bertindak sewenang-wenang di sana, dengan menjadikan uji infeksi zombie sebagai senjata (jika aparat menyatakan seseorang terinfeksi, walau kenyataannya tidak, maka tamatlah riyawat orang itu). Cerminan realita terkait persekusi aparat ini sayangya cuma dibahas sekilas, kemudian terlupakan, menghilangkan kesempatan Army of the Dead untuk melempar kritik sosial kuat sebagaimana jajaran film-film zombie terbaik. 

Sewaktu menyadari bahwa seorang penyelundup bernama Lily alias The Coyote (Nora Arnezeder) membantu salah satu kawannya memasuki Las Vegas, Kate memaksa bergabung dalam tim Scott, untuk melakukan penyelamatan. Tidak salah jika anda merasa prolognya cukup panjang, sebab kita baru menjejakkan kaki di "zona merah" saat durasi mencapai 50 menit. Sebelumnya, Army of the Dead didominasi pengenalan seisi tim, di mana selain Ludwig Dieter (Matthias Schweighöfer bakal kembali memerankan karakter ini sekaligus menyutradarai prekuel bertajuk Army of Thieves yang rencananya juga rilis 2021) si pembobol brankas dan Marianne Peters si pilot helikopter (Tig Notaro), penonton akan kesulitan memahami apa keahlian khusus tiap anggota.

Rangkaian kalimat konyol mengiringi pengenalan tersebut, yang sengaja dibuat atas nama komedi walau tak semuanya berhasil memancing tawa, sebelum akhirnya total fokus pada aksi. Selain zombie biasa, Army of the Dead turut memiliki Valentine, seekor zombie harimau, dan para alpha, yakni zombie yang bisa berpikir, bahkan merasakan. Zeus nama sang raja zombie, yang dari desain maupun karakteristik, bak modifikasi Bub, sosok ikonik dari Day of the Dead (1985) karya George A. Romero. 

Mari bahas lebih dulu elemen yang seperti dugaan banyak pihak, takkan berhasil dipresentasikan secara solid oleh Snyder. Apa lagi kalau bukan drama. Penokohannya datar, pun walau durasi mencapai 148 menit, waktu eksplorasi yang diluangkan amat minim. Bautista berusaha maksimal mengerahkan semua emosi, tapi kita tahu ia bukan aktor bersenjatakan sensibilitas tinggi. Dan bukankah drama emosional kurang cocok diterapkan di film semacam ini?

Tapi tak ada yang "berjasa" membunuh dampak emosinya ketimbang Kate. Snyder ingin berpesan soal "kebaikan (baca: kemanusiaan) yang belum hilang di tengah wabah zombie", namun alih-alih mengesankan kebaikan, sosok Kate malah tampil menyebalkan. Selalu mengeluh, memancarkan aura teen angst yang kurang simpatik, bahkan ia berkontribusi mengacaukan misi tim ayahnya (tentunya ada campur tangan keserakahan mengingat kisahnya berlatar Las Vegas). Lalu selepas segala kekacauan yang memakan banyak korban, Army of the Dead memilih konklusi yang membuat perjalanan selama hampir dua setengah jam terasa sia-sia.

Lupakan si remaja egois itu, karena kita tahu, seburuk apa pun penceritaannya, Snyder selalu menawarkan aksi memukau. Selain gore yang sama sekali tidak ditekan kadarnya, kali ini, aksi-aksi Snyder mampu mengecoh ekspektasi. Salah satu titik paling menarik adalah ketika korban pertama jatuh. Ide dasarnya menarik, menampilkan para zombie di tengah fase hibernasi, yang akan terbangun jika disenggol, atau mata mereka terkena cahaya. Demi menghindari spoiler, sebut saja si korban pertama adalah "X". 

Tatkala tidak sengaja menyentuh, X mesti berpacu dengan waktu, menusuk satu demi satu zombie sebelum mereka terbangun, menciptakan momen intens yang paling mendekati nuansa horor, ketika keseluruhan film berorientasi aksi. Di situ kita tahu ajal X sudah dekat. Tapi Snyder menolak menjadikannya cannon fodder. Berkali-kali X melewati lubang jarum, "menipu" penonton yang mengiranya akan tewas dengan mudah, bertarung hingga titik penghabisan. Kejutan-kejutan terus diulangi Snyder, entah berupa timing kematian tak terduga atau korban yang tak terduga. Biarpun one-dimensional, setidaknya mayoritas tokoh-tokohnya terbunuh dengan cara yang memorable. 

Babak puncaknya berlangsung sekitar 30 menit, berisi aksi tanpa henti dibungkus koreografi mumpuni. Bautista meluapkan amarah dengan menebaskan pisau ke arah pasukan zombie, hingga begitu kerennya Nora Arnezeder sebagai The Coyote, adalah beberapa highlight di third act-nya yang penuh keseruan, meski saya berharap Ana de la Reguera sebagai Maria, sahabat lama Scott, lebih diberi kesempatan unjuk gigi. Menyusul berikutnya adalah keputusan Snyder memakai lagu Zombie milik The Cranberries, guna mengiringi sekuen yang bahkan tidak diniati tampil menggelitik. Kepekaan memang (salah satu) kelemahan utama Snyder, sehinga di mayoritas filmnya, elemen drama gagal bekerja.

Beruntung, di sini pacing-nya membaik, biarpun filmnya masih membengkak akibat beberapa momen yang berlangsung terlalu lama, dan tentunya gerak lambat (kuantitasnya agak berkurang dibanding karya-karya Snyder sebelumnya). Tapi tidak pernah terasa membosankan, sebab seperti biasa, Snyder mengusung ambisi besar, juga visi unik. Army of the Dead bukan film zombie yang dipaksakan tersaji panjang. Terdapat gagasan, yang apabila ditangani pencerita yang lebih bertalenta, bisa berujung sebuah tontonan thought-provoking (Planet of the Apes versi zombie misalnya). Tapi pencerita hebat pun belum tentu sanggup menghibur penonton sebagaimana dilakukan Zack Snyder.


Available on NETFLIX