REVIEW - DUNE
Suguhan sci-fi Hollywood terbagi dua, yakni blockbuster berbujet raksasa dan proyek indie/arthouse minimalis. Sesekali muncul varian lain, namun jumlahnya tak cukup banyak untuk menghasilkan kubu ketiga. Monoton. Lalu datanglah adaptasi layar lebar kedua bagi novel Dune karya Frank Herbert ini.
Versi Denis Villeneuve ini sama sekali berbeda dibanding buatan David Lynch (1984), yang lebih dikenal karena konflik di balik layar. Disokong kucuran dana yang cukup untuk memproduksi film MCU (165 juta dollar), Dune memiliki tubuh blockbuster, namun berjiwa arthouse. Mungkin cuma 2001: A Space Odyssey (1968) yang mendekati bentuk Dune, sebagai sci-fi artsy berbiaya tinggi (92 juta dollar jika dikonversi ke nilai sekarang).
Tapi ini bukan sikap pretensius. Menulis naskahnya bersama Eric Roth (A Star Is Born, Mank) dan Jon Spaihts (Prometheus, Doctor Strange), Denis Villeneuve mengedepankan unsur spiritual pada tuturannya. Seperti para sineas arthouse terbaik, ia punya ketajaman rasa, guna menautkan proses batin manusia dengan semesta. Bahwa keduanya, meski berukuran amat berbeda, saling terhubung. Karenanya, berbagai shot berisi lanskap luas, maupun pesawat luar angkasa raksasa yang membuat manusia tampak kerdil, bukan sebatas pameran keindahan. Efek visualnya luar biasa. Megah sekaligus tampak nyata, namun bakal jadi percuma bila tanpa visi, yang mana dimiliki sang sutradara.
Kaitan terbesar antara alam dan manusia hadir lewat rempah bernama melange. Terdapat di planet gersang bernama Arrakis, melange punya beraneka fungsi, mulai dari memperpanjang umur, memaksimalkan kekuatan pikiran, hingga memungkinkan terjadinya perjalanan dengan kecepatan cahaya. Menguasai melange sama artinya menguasai semesta.
Terlalu panjang dan rumit bila harus menjelaskan detail mitologi Dune, tapi intinya, atas perintah penguasa semesta yang dipanggil "Emperor", kaum Atreides di bawah kepemimpinan Leto Atreides (Oscar Isaac), diberi tugas mengelola melange menggantikan Harkonnen yang dipimpin Baron Vladimir Harkonnen (Stellan Skarsgård). Apabila Harkonnen bertindak semena-mena pada para Fremen (suku asli Arrakis) Leto ingin menjalin kerja sama secara damai. Tentu tidak berjalan mulus, sebab tanpa ia tahu, ada konspirasi di balik penunjukkan Atreides untuk mengurusi melange.
Timothée Chalamet memerankan Paul Atreides, putera hasil hubungan Leto dengan selirnya, Lady Jessica (Rebecca Ferguson). Belakangan, pikiran Paul tengah diganggu oleh kemunculan mimpi mengenai Arrakis dan gadis Fremen misterius (Zendaya). Mimpi yang lebih terasa seperti gambaran masa depan ketimbang bunga tidur biasa.
Selain aura sendu yang tepat mewakili atmosfer film, rasanya perawakan Chalamet juga jadi alasan ia dipilih. Tubuhnya kecil. Kurus. Bukan sosok yang bakal dipandang sebagai jagoan oleh orang-orang. Melihatnya berdiri di antara bentangan alam masif, menggambarkan betapa tak berdayanya manusia di hadapan semesta.
Paul sendiri memang tak berdaya. Setidaknya di awal, sebelum ia mampu memaksimalkan potensinya. Bukan hanya potensi fisik hasil latihan bersama Gurney Halleck (Josh Brolin), sebab sang ibu, selaku anggota Bene Gesserit (perkumpulan wanita yang melatih tubuh dan mental agar dapat mendobrak batas-batas manusia), turut mengajari cara memakai "voice". Sebuah kekuatan mengontrol bawah sadar seseorang melalui warna suara.
Ketika kita pertama melihat Paul menggunakan kekuatannya, Villenueve menyelipkan beberapa shot yang menampilkan hal-hal di dekat Paul. Walau kekuatan itu tidak mempengaruhi kondisi di sekitar, shot-shot itu bukannya tanpa fungsi. Seolah Villeneuve menegaskan bahwa alam memegang peran dalam kemampuan super tersebut.
Semakin jauh alur bergerak, semakin kita mendapati dampak eksploitasi terhadap alam. Alih-alih mencari harmoni, keserakahan para penguasa yang berhasrat memonopoli melange menghadirkan kehancuran juga pertumpahan darah. Baik alam maupun manusia sama-sama musnah.
Di situlah muncul kisah mengenai juru selamat. Seorang messiah/mahdi. Orang-orang Fremen menyebutnya "Lisan al Gaib". Bisa ditebak, ada unsur religi di sini (banyak Islamic undertones), di luar perihal politik, tirani, dan lingkungan. Mitologinya memang amat kompleks, sehingga durasi 155 menit dan pemecahan menjadi dua film dapat dijustifikasi. Terkesan rumit di awal, namun berkat penceritaan rapi yang tahu kapan harus mulai menyuplai informasi baru, seiring waktu, labirin mitologinya bakal mudah ditelusuri.
Kelemahan Villeneuve hanya soal mengarahkan perkelahian jarak dekat. Biarpun mempunyai nama-nama seperti Jason Momoa sebagai Duncan Idaho si jago pedang dari Atreides dan Dave Bautista sebagai Giossu Rabban yang merupakan keponakan Baron Harkonnen, deretan aksi adu pedang maupun tangan kosong milik Dune tampil tak bertenaga. Pilihan angle Villeneuve pun cenderung canggung, juga kerap menyulitkan kita untuk mencerna apa yang sedang terjadi.
Untunglah Dune bukan sci-fi sarat aksi, sehingga kelemahan di atas tidak begitu mengganggu. Bagi sebagian penonton, mungkin minimnya aksi (pun membagi cerita menjadi dua bagian membuat Dune usai sebelum mencapai klimaks), durasi panjang, juga tempo lambatnya, membuat film ini kurang bersahabat. Tapi jika bisa menerima itu, bersama keindahan visual dan iringan musik atmosferik gubahan Hans Zimmer (karya terbaik sang komposer dalam beberapa tahun terakhir), anda akan mendapati suguhan sci-fi, yang mendefinisikan "epik" bukan cuma lewat skala cerita yang kasat mata, pula di ranah perenungan spiritual serta rasa.
REVIEW - ARMY OF THE DEAD
Sekuen kredit pembuka Army of the Dead, yang menampilkan versi Allison Crowe dan Richard Cheese untuk lagu Viva Las Vegas milik Elvis Presley, sebenarnya sudah merangkum plus minus filmnya. Bahwa Zack Snyder selalu membawa intensi baik serta ambisi tinggi terkait cerita, namun presentasinya terhalangi oleh gaya-gayaan meriah, yang meski melahirkan hiburan masif, membuat penuturannya berantakan.
Berbeda dengan remake Dawn of the Dead (2004) selaku debutnya, menciptakan film zombie kelam bukan tujuan Snyder di sini. Mungkin inilah filmnya yang paling mengakomodasi komedi, termasuk lewat deretan kekonyolan disengaja. Tengok saja bagaimana naskah buatan sang sutradara bersama Shay Hatten (John Wick: Chapter 3 - Parabellum) dan Joby Harold (King Arthur: Legend of the Sword), menjelaskan alasan zombie outbreak, yang seperti berasal dari parodi atau judul-judul produksi The Asylum.
Singkatnya, wabah zombie menyerang Las Vegas, sehingga pemerintah menutup seisi kota, kemudian mendirikan kamp karantina bagi orang-orang yang berpotensi terinfeksi. Ketika rencana membumihanguskan kota memakai nuklir dicanangkan, Bly Tanaka (Hiroyuki Sanada yang belum lama ini memerankan Scorpion di Mortal Kombat), seorang milyuner, menyewa jasa Scott Ward (Dave Bautista), guna mengambil uang senilai 200 juta dollar dari dalam brankas di kasino miliknya, yang terletak di tengah Las Vegas. Walau sempat ragu, Scott pun setuju membentuk tim.
Di sisi lain, Kate (Ella Purnell), puteri Scott yang sekian lama membenci sang ayah, menjadi relawan di kamp. Bersama Kate, kita melihat bagaimana aparat bertindak sewenang-wenang di sana, dengan menjadikan uji infeksi zombie sebagai senjata (jika aparat menyatakan seseorang terinfeksi, walau kenyataannya tidak, maka tamatlah riyawat orang itu). Cerminan realita terkait persekusi aparat ini sayangya cuma dibahas sekilas, kemudian terlupakan, menghilangkan kesempatan Army of the Dead untuk melempar kritik sosial kuat sebagaimana jajaran film-film zombie terbaik.
Sewaktu menyadari bahwa seorang penyelundup bernama Lily alias The Coyote (Nora Arnezeder) membantu salah satu kawannya memasuki Las Vegas, Kate memaksa bergabung dalam tim Scott, untuk melakukan penyelamatan. Tidak salah jika anda merasa prolognya cukup panjang, sebab kita baru menjejakkan kaki di "zona merah" saat durasi mencapai 50 menit. Sebelumnya, Army of the Dead didominasi pengenalan seisi tim, di mana selain Ludwig Dieter (Matthias Schweighöfer bakal kembali memerankan karakter ini sekaligus menyutradarai prekuel bertajuk Army of Thieves yang rencananya juga rilis 2021) si pembobol brankas dan Marianne Peters si pilot helikopter (Tig Notaro), penonton akan kesulitan memahami apa keahlian khusus tiap anggota.
Rangkaian kalimat konyol mengiringi pengenalan tersebut, yang sengaja dibuat atas nama komedi walau tak semuanya berhasil memancing tawa, sebelum akhirnya total fokus pada aksi. Selain zombie biasa, Army of the Dead turut memiliki Valentine, seekor zombie harimau, dan para alpha, yakni zombie yang bisa berpikir, bahkan merasakan. Zeus nama sang raja zombie, yang dari desain maupun karakteristik, bak modifikasi Bub, sosok ikonik dari Day of the Dead (1985) karya George A. Romero.
Mari bahas lebih dulu elemen yang seperti dugaan banyak pihak, takkan berhasil dipresentasikan secara solid oleh Snyder. Apa lagi kalau bukan drama. Penokohannya datar, pun walau durasi mencapai 148 menit, waktu eksplorasi yang diluangkan amat minim. Bautista berusaha maksimal mengerahkan semua emosi, tapi kita tahu ia bukan aktor bersenjatakan sensibilitas tinggi. Dan bukankah drama emosional kurang cocok diterapkan di film semacam ini?
Tapi tak ada yang "berjasa" membunuh dampak emosinya ketimbang Kate. Snyder ingin berpesan soal "kebaikan (baca: kemanusiaan) yang belum hilang di tengah wabah zombie", namun alih-alih mengesankan kebaikan, sosok Kate malah tampil menyebalkan. Selalu mengeluh, memancarkan aura teen angst yang kurang simpatik, bahkan ia berkontribusi mengacaukan misi tim ayahnya (tentunya ada campur tangan keserakahan mengingat kisahnya berlatar Las Vegas). Lalu selepas segala kekacauan yang memakan banyak korban, Army of the Dead memilih konklusi yang membuat perjalanan selama hampir dua setengah jam terasa sia-sia.
Lupakan si remaja egois itu, karena kita tahu, seburuk apa pun penceritaannya, Snyder selalu menawarkan aksi memukau. Selain gore yang sama sekali tidak ditekan kadarnya, kali ini, aksi-aksi Snyder mampu mengecoh ekspektasi. Salah satu titik paling menarik adalah ketika korban pertama jatuh. Ide dasarnya menarik, menampilkan para zombie di tengah fase hibernasi, yang akan terbangun jika disenggol, atau mata mereka terkena cahaya. Demi menghindari spoiler, sebut saja si korban pertama adalah "X".
Tatkala tidak sengaja menyentuh, X mesti berpacu dengan waktu, menusuk satu demi satu zombie sebelum mereka terbangun, menciptakan momen intens yang paling mendekati nuansa horor, ketika keseluruhan film berorientasi aksi. Di situ kita tahu ajal X sudah dekat. Tapi Snyder menolak menjadikannya cannon fodder. Berkali-kali X melewati lubang jarum, "menipu" penonton yang mengiranya akan tewas dengan mudah, bertarung hingga titik penghabisan. Kejutan-kejutan terus diulangi Snyder, entah berupa timing kematian tak terduga atau korban yang tak terduga. Biarpun one-dimensional, setidaknya mayoritas tokoh-tokohnya terbunuh dengan cara yang memorable.
Babak puncaknya berlangsung sekitar 30 menit, berisi aksi tanpa henti dibungkus koreografi mumpuni. Bautista meluapkan amarah dengan menebaskan pisau ke arah pasukan zombie, hingga begitu kerennya Nora Arnezeder sebagai The Coyote, adalah beberapa highlight di third act-nya yang penuh keseruan, meski saya berharap Ana de la Reguera sebagai Maria, sahabat lama Scott, lebih diberi kesempatan unjuk gigi. Menyusul berikutnya adalah keputusan Snyder memakai lagu Zombie milik The Cranberries, guna mengiringi sekuen yang bahkan tidak diniati tampil menggelitik. Kepekaan memang (salah satu) kelemahan utama Snyder, sehinga di mayoritas filmnya, elemen drama gagal bekerja.
Beruntung, di sini pacing-nya membaik, biarpun filmnya masih membengkak akibat beberapa momen yang berlangsung terlalu lama, dan tentunya gerak lambat (kuantitasnya agak berkurang dibanding karya-karya Snyder sebelumnya). Tapi tidak pernah terasa membosankan, sebab seperti biasa, Snyder mengusung ambisi besar, juga visi unik. Army of the Dead bukan film zombie yang dipaksakan tersaji panjang. Terdapat gagasan, yang apabila ditangani pencerita yang lebih bertalenta, bisa berujung sebuah tontonan thought-provoking (Planet of the Apes versi zombie misalnya). Tapi pencerita hebat pun belum tentu sanggup menghibur penonton sebagaimana dilakukan Zack Snyder.
Available on NETFLIX