Tampilkan postingan dengan label Dave Bautista. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dave Bautista. Tampilkan semua postingan

REVIEW - DUNE

Suguhan sci-fi Hollywood terbagi dua, yakni blockbuster berbujet raksasa dan proyek indie/arthouse minimalis. Sesekali muncul varian lain, namun jumlahnya tak cukup banyak untuk menghasilkan kubu ketiga. Monoton. Lalu datanglah adaptasi layar lebar kedua bagi novel Dune karya Frank Herbert ini. 

Versi Denis Villeneuve ini sama sekali berbeda dibanding buatan David Lynch (1984), yang lebih dikenal karena konflik di balik layar. Disokong kucuran dana yang cukup untuk memproduksi film MCU (165 juta dollar), Dune memiliki tubuh blockbuster, namun berjiwa arthouse. Mungkin cuma 2001: A Space Odyssey (1968) yang mendekati bentuk Dune, sebagai sci-fi artsy berbiaya tinggi (92 juta dollar jika dikonversi ke nilai sekarang). 

Tapi ini bukan sikap pretensius. Menulis naskahnya bersama Eric Roth (A Star Is Born, Mank) dan Jon Spaihts (Prometheus, Doctor Strange), Denis Villeneuve mengedepankan unsur spiritual pada tuturannya. Seperti para sineas arthouse terbaik, ia punya ketajaman rasa, guna menautkan proses batin manusia dengan semesta. Bahwa keduanya, meski berukuran amat berbeda, saling terhubung. Karenanya, berbagai shot berisi lanskap luas, maupun pesawat luar angkasa raksasa yang membuat manusia tampak kerdil, bukan sebatas pameran keindahan. Efek visualnya luar biasa. Megah sekaligus tampak nyata, namun bakal jadi percuma bila tanpa visi, yang mana dimiliki sang sutradara.

Kaitan terbesar antara alam dan manusia hadir lewat rempah bernama melange. Terdapat di planet gersang bernama Arrakis, melange punya beraneka fungsi, mulai dari memperpanjang umur, memaksimalkan kekuatan pikiran, hingga memungkinkan terjadinya perjalanan dengan kecepatan cahaya. Menguasai melange sama artinya menguasai semesta.

Terlalu panjang dan rumit bila harus menjelaskan detail mitologi Dune, tapi intinya, atas perintah penguasa semesta yang dipanggil "Emperor", kaum Atreides di bawah kepemimpinan Leto Atreides (Oscar Isaac), diberi tugas mengelola melange menggantikan Harkonnen yang dipimpin Baron Vladimir Harkonnen (Stellan Skarsgård). Apabila Harkonnen bertindak semena-mena pada para Fremen (suku asli Arrakis) Leto ingin menjalin kerja sama secara damai. Tentu tidak berjalan mulus, sebab tanpa ia tahu, ada konspirasi di balik penunjukkan Atreides untuk mengurusi melange.

Timothée Chalamet memerankan Paul Atreides, putera hasil hubungan Leto dengan selirnya, Lady Jessica (Rebecca Ferguson). Belakangan, pikiran Paul tengah diganggu oleh kemunculan mimpi mengenai Arrakis dan gadis Fremen misterius (Zendaya). Mimpi yang lebih terasa seperti gambaran masa depan ketimbang bunga tidur biasa. 

Selain aura sendu yang tepat mewakili atmosfer film, rasanya perawakan Chalamet juga jadi alasan ia dipilih. Tubuhnya kecil. Kurus. Bukan sosok yang bakal dipandang sebagai jagoan oleh orang-orang. Melihatnya berdiri di antara bentangan alam masif, menggambarkan betapa tak berdayanya manusia di hadapan semesta. 

Paul sendiri memang tak berdaya. Setidaknya di awal, sebelum ia mampu memaksimalkan potensinya. Bukan hanya potensi fisik hasil latihan bersama Gurney Halleck (Josh Brolin), sebab sang ibu, selaku anggota Bene Gesserit (perkumpulan wanita yang melatih tubuh dan mental agar dapat mendobrak batas-batas manusia), turut mengajari cara memakai "voice". Sebuah kekuatan mengontrol bawah sadar seseorang melalui warna suara. 

Ketika kita pertama melihat Paul menggunakan kekuatannya, Villenueve menyelipkan beberapa shot yang menampilkan hal-hal di dekat Paul. Walau kekuatan itu tidak mempengaruhi kondisi di sekitar, shot-shot itu bukannya tanpa fungsi. Seolah Villeneuve menegaskan bahwa alam memegang peran dalam kemampuan super tersebut. 

Semakin jauh alur bergerak, semakin kita mendapati dampak eksploitasi terhadap alam. Alih-alih mencari harmoni, keserakahan para penguasa yang berhasrat memonopoli melange menghadirkan kehancuran juga pertumpahan darah. Baik alam maupun manusia sama-sama musnah. 

Di situlah muncul kisah mengenai juru selamat. Seorang messiah/mahdi. Orang-orang Fremen menyebutnya "Lisan al Gaib". Bisa ditebak, ada unsur religi di sini (banyak Islamic undertones), di luar perihal politik, tirani, dan lingkungan. Mitologinya memang amat kompleks, sehingga durasi 155 menit dan pemecahan menjadi dua film dapat dijustifikasi. Terkesan rumit di awal, namun berkat penceritaan rapi yang tahu kapan harus mulai menyuplai informasi baru, seiring waktu, labirin mitologinya bakal mudah ditelusuri.

Kelemahan Villeneuve hanya soal mengarahkan perkelahian jarak dekat. Biarpun mempunyai nama-nama seperti Jason Momoa sebagai Duncan Idaho si jago pedang dari Atreides dan Dave Bautista sebagai Giossu Rabban yang merupakan keponakan Baron Harkonnen, deretan aksi adu pedang maupun tangan kosong milik Dune tampil tak bertenaga. Pilihan angle Villeneuve pun cenderung canggung, juga kerap menyulitkan kita untuk mencerna apa yang sedang terjadi. 

Untunglah Dune bukan sci-fi sarat aksi, sehingga kelemahan di atas tidak begitu mengganggu. Bagi sebagian penonton, mungkin minimnya aksi (pun membagi cerita menjadi dua bagian membuat Dune usai sebelum mencapai klimaks), durasi panjang, juga tempo lambatnya, membuat film ini kurang bersahabat. Tapi jika bisa menerima itu, bersama keindahan visual dan iringan musik atmosferik gubahan Hans Zimmer (karya terbaik sang komposer dalam beberapa tahun terakhir), anda akan mendapati suguhan sci-fi, yang mendefinisikan "epik" bukan cuma lewat skala cerita yang kasat mata, pula di ranah perenungan spiritual serta rasa.  

REVIEW - ARMY OF THE DEAD

Sekuen kredit pembuka Army of the Dead, yang menampilkan versi Allison Crowe dan Richard Cheese untuk lagu Viva Las Vegas milik Elvis Presley, sebenarnya sudah merangkum plus minus filmnya. Bahwa Zack Snyder selalu membawa intensi baik serta ambisi tinggi terkait cerita, namun presentasinya terhalangi oleh gaya-gayaan meriah, yang meski melahirkan hiburan masif, membuat penuturannya berantakan. 

Berbeda dengan remake Dawn of the Dead (2004) selaku debutnya, menciptakan film zombie kelam bukan tujuan Snyder di sini. Mungkin inilah filmnya yang paling mengakomodasi komedi, termasuk lewat deretan kekonyolan disengaja. Tengok saja bagaimana naskah buatan sang sutradara bersama Shay Hatten (John Wick: Chapter 3 - Parabellum) dan Joby Harold (King Arthur: Legend of the Sword), menjelaskan alasan zombie outbreak, yang seperti berasal dari parodi atau judul-judul produksi The Asylum. 

Singkatnya, wabah zombie menyerang Las Vegas, sehingga pemerintah menutup seisi kota, kemudian mendirikan kamp karantina bagi orang-orang yang berpotensi terinfeksi. Ketika rencana membumihanguskan kota memakai nuklir dicanangkan, Bly Tanaka (Hiroyuki Sanada yang belum lama ini memerankan Scorpion di Mortal Kombat), seorang milyuner, menyewa jasa Scott Ward (Dave Bautista), guna mengambil uang senilai 200 juta dollar dari dalam brankas di kasino miliknya, yang terletak di tengah Las Vegas. Walau sempat ragu, Scott pun setuju membentuk tim. 

Di sisi lain, Kate (Ella Purnell), puteri Scott yang sekian lama membenci sang ayah, menjadi relawan di kamp. Bersama Kate, kita melihat bagaimana aparat bertindak sewenang-wenang di sana, dengan menjadikan uji infeksi zombie sebagai senjata (jika aparat menyatakan seseorang terinfeksi, walau kenyataannya tidak, maka tamatlah riyawat orang itu). Cerminan realita terkait persekusi aparat ini sayangya cuma dibahas sekilas, kemudian terlupakan, menghilangkan kesempatan Army of the Dead untuk melempar kritik sosial kuat sebagaimana jajaran film-film zombie terbaik. 

Sewaktu menyadari bahwa seorang penyelundup bernama Lily alias The Coyote (Nora Arnezeder) membantu salah satu kawannya memasuki Las Vegas, Kate memaksa bergabung dalam tim Scott, untuk melakukan penyelamatan. Tidak salah jika anda merasa prolognya cukup panjang, sebab kita baru menjejakkan kaki di "zona merah" saat durasi mencapai 50 menit. Sebelumnya, Army of the Dead didominasi pengenalan seisi tim, di mana selain Ludwig Dieter (Matthias Schweighöfer bakal kembali memerankan karakter ini sekaligus menyutradarai prekuel bertajuk Army of Thieves yang rencananya juga rilis 2021) si pembobol brankas dan Marianne Peters si pilot helikopter (Tig Notaro), penonton akan kesulitan memahami apa keahlian khusus tiap anggota.

Rangkaian kalimat konyol mengiringi pengenalan tersebut, yang sengaja dibuat atas nama komedi walau tak semuanya berhasil memancing tawa, sebelum akhirnya total fokus pada aksi. Selain zombie biasa, Army of the Dead turut memiliki Valentine, seekor zombie harimau, dan para alpha, yakni zombie yang bisa berpikir, bahkan merasakan. Zeus nama sang raja zombie, yang dari desain maupun karakteristik, bak modifikasi Bub, sosok ikonik dari Day of the Dead (1985) karya George A. Romero. 

Mari bahas lebih dulu elemen yang seperti dugaan banyak pihak, takkan berhasil dipresentasikan secara solid oleh Snyder. Apa lagi kalau bukan drama. Penokohannya datar, pun walau durasi mencapai 148 menit, waktu eksplorasi yang diluangkan amat minim. Bautista berusaha maksimal mengerahkan semua emosi, tapi kita tahu ia bukan aktor bersenjatakan sensibilitas tinggi. Dan bukankah drama emosional kurang cocok diterapkan di film semacam ini?

Tapi tak ada yang "berjasa" membunuh dampak emosinya ketimbang Kate. Snyder ingin berpesan soal "kebaikan (baca: kemanusiaan) yang belum hilang di tengah wabah zombie", namun alih-alih mengesankan kebaikan, sosok Kate malah tampil menyebalkan. Selalu mengeluh, memancarkan aura teen angst yang kurang simpatik, bahkan ia berkontribusi mengacaukan misi tim ayahnya (tentunya ada campur tangan keserakahan mengingat kisahnya berlatar Las Vegas). Lalu selepas segala kekacauan yang memakan banyak korban, Army of the Dead memilih konklusi yang membuat perjalanan selama hampir dua setengah jam terasa sia-sia.

Lupakan si remaja egois itu, karena kita tahu, seburuk apa pun penceritaannya, Snyder selalu menawarkan aksi memukau. Selain gore yang sama sekali tidak ditekan kadarnya, kali ini, aksi-aksi Snyder mampu mengecoh ekspektasi. Salah satu titik paling menarik adalah ketika korban pertama jatuh. Ide dasarnya menarik, menampilkan para zombie di tengah fase hibernasi, yang akan terbangun jika disenggol, atau mata mereka terkena cahaya. Demi menghindari spoiler, sebut saja si korban pertama adalah "X". 

Tatkala tidak sengaja menyentuh, X mesti berpacu dengan waktu, menusuk satu demi satu zombie sebelum mereka terbangun, menciptakan momen intens yang paling mendekati nuansa horor, ketika keseluruhan film berorientasi aksi. Di situ kita tahu ajal X sudah dekat. Tapi Snyder menolak menjadikannya cannon fodder. Berkali-kali X melewati lubang jarum, "menipu" penonton yang mengiranya akan tewas dengan mudah, bertarung hingga titik penghabisan. Kejutan-kejutan terus diulangi Snyder, entah berupa timing kematian tak terduga atau korban yang tak terduga. Biarpun one-dimensional, setidaknya mayoritas tokoh-tokohnya terbunuh dengan cara yang memorable. 

Babak puncaknya berlangsung sekitar 30 menit, berisi aksi tanpa henti dibungkus koreografi mumpuni. Bautista meluapkan amarah dengan menebaskan pisau ke arah pasukan zombie, hingga begitu kerennya Nora Arnezeder sebagai The Coyote, adalah beberapa highlight di third act-nya yang penuh keseruan, meski saya berharap Ana de la Reguera sebagai Maria, sahabat lama Scott, lebih diberi kesempatan unjuk gigi. Menyusul berikutnya adalah keputusan Snyder memakai lagu Zombie milik The Cranberries, guna mengiringi sekuen yang bahkan tidak diniati tampil menggelitik. Kepekaan memang (salah satu) kelemahan utama Snyder, sehinga di mayoritas filmnya, elemen drama gagal bekerja.

Beruntung, di sini pacing-nya membaik, biarpun filmnya masih membengkak akibat beberapa momen yang berlangsung terlalu lama, dan tentunya gerak lambat (kuantitasnya agak berkurang dibanding karya-karya Snyder sebelumnya). Tapi tidak pernah terasa membosankan, sebab seperti biasa, Snyder mengusung ambisi besar, juga visi unik. Army of the Dead bukan film zombie yang dipaksakan tersaji panjang. Terdapat gagasan, yang apabila ditangani pencerita yang lebih bertalenta, bisa berujung sebuah tontonan thought-provoking (Planet of the Apes versi zombie misalnya). Tapi pencerita hebat pun belum tentu sanggup menghibur penonton sebagaimana dilakukan Zack Snyder.


Available on NETFLIX

STUBER (2019)

Di tengah kurangnya asupan film bagus (sejak The Lion King belum sekalipun saya memberi penilaian positif), saya tak menempatkan ekspektasi tinggi terhadap Stuber, mengingat belakangan, buddy action comedy bermutu semakin jarang. Sampai Dave Bautista dan Kumail Nanjiani datang, memperlihatkan bagaimana semestinya sub-genre satu ini diperlakukan.

Victor (Dave Bautista) adalah polisi tangguh yang terobsesi meringkus bandar narkoba bernama Tedjo (Iko Uwais). Obsesi itu merenggangkan hubungannya dengan sang puteri, Nicole (Natalie Morales). Bahkan Victor melupakan malam pameran karya seni Nicole, lalu menjadwalkan operasi lasik beberapa jam sebelumnya, membuat penglihatannya terganggu sepanjang hari. Berusaha memastikan kehadiran ayahnya, Nicole memaksa Victor mengunduh Uber.

Seperti kita ketahui bersama, kedatangan Victor bakal terganggu. Gangguan itu berbentuk laporan dari seorang informan bahwa malam itu Tedjo akan melakukan transaksi. Akibat kondisi mata yang tak memungkinkannya menyetir, Victor pun memesan Uber. Di situlah ia bertemu Stu (Kumail Nanjiani), sopir Uber yang susah payah mempertahankan rating empat, sebab kurang dari itu, ia akan kehilangan pekerjaan.

Stu tidak kalah buru-buru. Selepas mengakhiri hubungan dengan pacarnya, Becca (Betty Gilbin), gadis yang diam-diam Stu cintai, memintanya datang untuk berhubungan seks (sambil mabuk dan menonton When Harry Met Sally). Intinya, Becca ingin menjadikan Stu pelampiasan. Sebuah bumper. Sial bagi Stu, ini bukan perjalanan bintang lima mulus sebagaimana dia harapkan.

Alih-alih melesat menuju rumah Becca, Stu terjebak bersama Victor dalam satu hari gila penuh baku tembak, kejar-kejaran mobil, dan mayat-mayat bergelimpangan. Karena kondisi penglihatan Victor tengah memburuk, kebutuhannya akan bantuan Stu jadi suatu hal logis. Setidaknya, elemen itu bisa meminimalisir rasa janggal di benak penonton, karena keduanya sama-sama terpaksa, tidak berdaya, dan tak punya opsi lain.

Buddy movie wajib punya dua protagonis dengan kepribadian berlawanan, dan Stuber memenuhi itu, bahkan menjadikan perbedaan mereka jalan menyentil konsep maskulinitas. Bagi Victor laki-laki tidak boleh menangis, hatinya mesti sekeras batu, dan menganggap kelembutan sebagai kelemahan. Sebaliknya, Stu adalah sosok sensitif yang cenderung mengandalkan otak, pula percaya jika laki-laki berhak meneteskan air mata.

Naskah karya Tripper Clancy (Four Against the Bank, Hot Dog) belum maksimal memanfaatkan ciri menarik para protagonis, di mana Stuber cenderug menggambarkan gesekan mereka lewat adu mulut repetitif nan seadanya, ketimbang gambaran kreatif saat Victor dan Stu saling mengisi lewat keunggulan masing-masing, semisal saat Stu membantu Dave menggali informasi dengan cara “menyiksa” seorang penjahat.

Daya bunuh humornya juga terpengaruh, karena perihal mengocok perut pun filmnya main aman. Leluconnya minim kegilaan pendukung premis “kacaunya”, pula tak seberapa segar selaku pemicu tawa-tawa tak terduga. Untung ada Dave dan Kumail. Kunci sukses keduanya terletak di keengganan tampak konyol secara berlebih. Bahkan mereka bak tidak sedang melawak, tapi menunjukkan respon wajar kala dua orang terjebak dalam situasi yang sukar dipercaya. Khususnya Kumail. Didasari kebutuhan membangun dinamika, tokoh utama buddy comedy wajib diisi satu figur serius dan seorang “badut”, dan saya lelah melihat para badut bersikap seolah mereka adalah manusia terbodoh di dunia. Kumail berbeda. Stu histerikal, namun sesuai kondisi dan situasi.

Satu elemen lagi yang menghalangi Stuber menjadi “perjalanan bintang lima” adalah adegan aksinya. Baku hantam komedik Stu melawan Victor di pusat perbelanjaan memang percampuran sempurna aksi dengan komedi, namun selain itu, gampang dilupakan. Koreografi garapan Iko (memadukan bela dirinya dan street fighting brutal milik Dave) dilemahkan oleh penyutradaraan Michael Dowse (FUBAR, Goon, What If) yang terjangkit penyakit  quick cuts dan close up”. Bicara soal Iko, meski hanya diberi screen time pada sekuen pembuka dan klimaks, tidak seperti Triple Threat, Stuber menghormati sang aktor, di mana kehadirannya berpengaruh, pun ia berkesempatan membuat Dave Bautista babak belur.  

GUARDIANS OF THE GALAXY VOL. 2 (2017)

James Gunn dan Guardians of the Galaxy adalah contoh sempurna bagaimana menjalankan waralaba lewat proses menanam dan menuai. Tiga tahun lalu, langkah berani memperkenalkan lima a-holes tak dikenal sukses melahirkan idola baru berkat penokohan solid pula interaksi menarik. Hasilnya, begitu penonton bertemu mereka lagi di sekuelnya, timbul kelekatan secara emosional guna memaksimalkan penceritaan yang lebih personal. Selain mempertahankan kejeniusan Gunn merangkai komedi, Vol. 2 menegaskan posisi franchise ini sebagai drama keluarga, tepatnya tentang sekelompok individu yang kehilangan keluarga, menemukan satu sama lain, tumbuh bersama membentuk keluarga baru.

Kisahnya didasari pertanyaan film sebelumnya mengenai identitas ayah Peter Quill / Star-Lord (Chris Pratt), yang rupanya adalah sosok celestial bernama Ego (Kurt Russell). Demi menebus hangatnya hubungan ayah-anak yang tak pernah mereka punya, Ego mengundang Peter, Drax (Dave Bautista) dan Gamora (Zoe Saldana) ke planet miliknya, sedangkan Rocket (Bradley Cooper) dan Baby Groot (Vin Diesel) tinggal guna memperbaiki Milano pasca pertempuran melawan pasukan Sovereign sambil menjaga Nebula (Karen Gillan). Sementara Ayesha (Elizabeth Debicki), sang Pendeta Sovereign menyewa Yondu (Michael Rooker) dan Ravagers untuk menangkap Guardians yang mencuri barang kepunyaannya. 
Guardians of the Galaxy dipersenjatai winning formula yang saking ampuhnya, memberi template bukan hanya bagi film MCU (warna vibrant), pula rilisan studio lain dalam pemakaian lagu era 70 hingga 80-an. Ada rasa khawatir Gunn dan tim berlebihan menggunakan formula tersebut. Kekhawatiran itu sempat menguat di 15-20 menit awal kala lagu-lagu bertumpuk silih berganti terdengar, setiap kalimat karakternya berintensi melucu, sampai eksploitasi Baby Groot pada opening credit. Terasa melelahkan ketimbang menyenangkan akibat kesan memaksakan diri menyamai bahkan menggandakan keasyikan pendahulunya. Tanpa pemanasan, penonton langsung diajak mengarungi parade sok asyik yang Gunn jejalkan.

Kondisi berubah setelah Ego datang membawa Mantis (Pom Klementieff), alien berkemampuan emphatic yang ia besarkan. Tidak pernah mengalami interaksi sosial membuatnya polos (cenderung bodoh), sisi utama pemancing gelak tawa. Bicara kebodohan, tentu Guardians memiliki Drax yang selalu bicara terus terang. "Mulut busuk" Drax plus keluguaan Mantis menciptakan interaksi komedi kelas satu, di mana kepiawaian Bautista melontarkan ejekan (baca: kejujuran pedas) menggelitik direspon sempurna ekspresi kosong Klementieff. Tiap kali keduanya bersama adalah jaminan tawa tak berujung, "memanaskan" penonton supaya siap terhibur oleh deretan humor berikutnya.
Selanjutnya, Guardians of the Galaxy Vol. 2 bagai mesin penghasil tawa yang enggan berhenti beroperasi. Gunn jeli melihat sisi lucu bermacam hal, dan berbeda dengan paruh awal durasi, makin pintar memilih timing menyelipkan beragam lelucon, entah olok-olok nama Taserface (Chris Sullivan) atau humor seksual. Ketika Drax dan Mantis berjasa di comic timing, Baby Groot merupakan salah satu tokoh paling menggemaskan yang pernah hadir di layar lebar. Lebih naif dari Groot dewasa, tingkahnya mengundang kecintaan, menyesakkan sewaktu melihatnya terancam bahaya di puncak pertempuran.

Dibanding film pertama dengan politik luar angkasa ditambah pencarian infinity stone, Vol. 2 berjalan sederhana dibalut cerita yang layak disebut tipis. Namun fokus filmnya memang bukan kompleksitas alur, melainkan hubungan karakter yang ditautkan benang merah berupa kekeluargaan antara anggota Guardians, Gamora dan Nebula, sampai Peter dan ayahnya. Salah satu credit scene pun memperlihatkan Guardians of the Galaxy tak ubahnya perjalanan tumbuh kembang dalam keluarga. Poin itu berhasil sebab kita sudah terikat dan terpikat dengan karakternya sedari film pertama, dan sekuel ini berfungsi menegaskan bahwa di samping tingkah seenaknya pun saling ejek yang rutin terjadi, para penjaga galaksi ini menyimpan kebaikan hati, peduli satu sama lain.
Niat Gunn menjadikan filmnya bukan saja spectacle megah terlaksana kala klimaks. Bukan epic macam The Avengers, pertarungan menyakitkan ala Captain America: Civil War, maupun keunikan kreatif seperti Ant-Man (tiga third act terbaik MCU sejauh ini), Guardians of the Galaxy Vol. 2 mengutamakan dampak emosional hasil dramatic arc-nya. Melihat Peter meluapkan kesedihan seorang anak, Yondu si father figure coba menebus dosa, saling tolong Nebula dan Gamora selaku dua saudari yang selalu berseteru, hingga usaha Drax menolong Mantis memancing gejolak perasaan. Gunn sanggup menekankan ikatan erat para protagonis beserta aksi heroik mereka ketimbang pertunjukan bombastis belaka. 

Proses menanam dan menuai tak berakhir di tataran karakter, juga soal masa depan Marvel Cinematic Universe khususnya seputar dunia kosmik. Pengenalan sosok celestial, peran singkat Sylvester Stallone, dua dari lima credit scene, bahkan cameo Stan Lee menanam benih yang berpotensi mengembangkan dunia kosmik ke jangkauan lebih luas yang bukan tidak mungkin bakal berperan besar pada MCU pasca invasi Thanos berakhir di kemudian hari. Tapi untuk sekarang, nikmati dahulu kembalinya tim pahlawan super Marvel yang lebih mampu mengocok perut pula mencuri hati ketimbang Avengers di Bumi lengkap dengan kemeriahan visual berhiaskan warna-warna mencolok.