Tampilkan postingan dengan label Ralph Fiennes. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ralph Fiennes. Tampilkan semua postingan

REVIEW - THE KING'S MAN

Semakin anda tahu soal figur dan peristiwa-peristiwa bersejarah yang ada di The King's Man, semakin anda bisa menikmatinya.....atau sebaliknya, malah semakin terganggu oleh caranya mengolah fiksi spekulatif berbasis rumor. Agar bisa menikmati prekuel bagi dua seri film Kingsman ini, kita memang perlu memandangnya murni sebagai hiburan ringan, meski pada beberapa bagian, itu cukup sulit dilakukan.

Latarnya mundur jauh ke masa sebelum Perang Dunia I pecah, guna memaparkan awal berdirinya Kingsman. Duke Orlando Oxford (Ralph Fiennes) adalah pacifist, yang selepas kematian tragis istrinya, bersikap overprotektif terhadap sang putera tunggal, Conrad (Harris Dickinson). Tatkala Perang Dunia I berlangsung, di mana terdapat pihak-pihak yang sengaja mengadu domba para pemimpin negara, prinsip Orlando pun diuji.

Pihak yang dimaksud merupakan kelompok misterius, yang terdiri atas versi fiktif dari figur-figur seperti Grigori Rasputin (Rhys Ifans), Erik Jan Hanussen (Daniel Brühl), hingga Mata Hari (Valerie Pachner). Wajah sang pemimpin yang dipanggil "The Shepherd" disembunyikan, namun takkan sulit menebak identitasnya. 

Apakah ini drama ayah-anak, film anti-peperangan, kisah nasionalisme, atau apa? Memikirkan itu tidak akan ada habisnya. Naskah yang ditulis sang sutradara, Matthew Vaughn, bersama Karl Gajdusek memang carut marut. Bahkan menjaga konsistensi tone saja enggan diperhatikan, ketika The King's Man bisa berubah dari tragedi menjadi tontonan konyol hanya dalam beberapa menit. 

Vaughn dan Gajdusek jelas tak memedulikan aturan-aturan di atas. Tujuan mereka cuma ber-cocoklogi, mengaitkan satu peristiwa (atau teori soal) sejarah dan yang lain, mengubahnya jadi suguhan spionase over-the-top. Sehingga saat Polly (Gemma Arterton), pelayan Orlando sekaligus seorang penembak jitu, dapat dengan mudah merekrut seluruh pelayan jajaran petinggi dunia sebagai mata-mata, penonton cuma (dan harus) bisa memakluminya. Suspension of disbelief diperlukan di sini.

Beberapa penggemar mungkin bakal mengeluhkan, bagaimana The King's Man menanggalkan kekhasan serinya, yang dibangun berdasarkan asas "manners maketh man". Tapi itu wajar, mengingat latarnya adalah pre-Kingsman. 

Sebagai gantinya, aksi bertenaga selaku ciri Kingsman dipertahankan. Vaughn sekali lagi sukses mengemas laga penuh gaya, serba berlebihan, dengan bumbu kekerasan, yang ditangkap oleh kamera Ben Davis, yang bergerak bak tengah kesetanan. Momen ketika nyala suar menyinari terjebaknya Conrad di garis depan medan perang, jadi contoh kepiawaian Vaughn mengemas aksi megah, tapi yang terbaik adalah pertarungan foursome melawan Rasputin.

Vaughn menyuguhkan versi liarnya terkait satu dari sekian banyak teori mengenai kematian Rasputin, melalui adu pedang kinetik, dilengkapi koreografi unik. Film yang menampilkan Rasputin mengayunkan pedang sambil menari balet patut diacungi dua jempol. Inilah satu dari sedikit momen dalam The King's Man, tatkala keseriusan (Rasputin jadi antagonis intimidatif nan mengerikan) bercampur mulus dengan kekonyolan. 

Fiennes, Arterton, Ifans, bahkan Djimon Hounsou sebagai Shola, tampil tangguh, badass, sanggup bersinar sesuai porsi masing-masing dalam gelaran aksi filmnya. Walau tersisa kekecewaan mendapati Brühl tak diberi peluang unjuk gigi. 

Batu sandungan terbesar justru bukan dari penceritaan berantakan atau inkonsistensi tone, melainkan beberapa elemen problematik, atau minimal mendekati problematik. Menjadikan gay sebagai materi humor misal, atau penggambaran Mata Hari selaku mata-mata penggoda yang hingga kini diperdebatkan keabsahannya (apakah nyata atau aksi mencari kambing hitam yang mudah dipercaya berkat kacamata seksis dunia), jadi beberapa contoh. Tapi apabila anda ingin melanjutkan antusiasme blockbuster pasca kehebohan Spider-Man: No Way Home, maka The King's Man merupakan pilihan terbaik.

REVIEW - NO TIME TO DIE

No Time to Die melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan film Bond lain, yakni memberi closure. Sejak era Sean Connery sampai Pierce Brosnan, petualangannya cenderung "lepas". Beberapa sekuel meneruskan kisah sebelumnya, tapi bukan sebagai saga yang berkelanjutan dan saling berpengaruh. Ditambah lagi kontinuitas ambigu serinya, yang sampai memunculkan beragam teori.  

Tapi sejak Casino Royale 15 tahun lalu, era Craig memang mendobrak berbagai pola, termasuk memanusiakan Bond sebagai pria dengan trauma yang dipicu kehilangan demi kehilangan. Ketika Vesper Lynd (Eva Green) tewas di Casino Royale, kita tahu ini berbeda dengan kematian Tracy di Vicenzo dalam On Her Majesty's Secret Service (1969). Dampak kehilangan Lynd terus Bond rasakan, membentuknya menjadi figur yang terluka dan sulit menaruh rasa percaya. 

Pasca berhasil menangkap Blofeld (Christoph Waltz), Bond pensiun dari MI6 guna menjalani hidup baru bersama Madeleine (Léa Seydoux) di Italia. Sampai serangan para anggota Spectre membangkitkan traumanya, membuatnya mempertanyakan intensi Madeleine. Lima tahun berselang, sebuah kelompok teroris di bawah pimpinan Lyutsifer Safin (Rami Malek) menebar ancaman lewat senjata biologis mematikan, sehingga memaksa Bond kembali beraksi.

Ditulis oleh duo Neal Purvis dan Robert Wade yang telah melahirkan naskah Bond sejak The World Is Not Enough (1999), juga Phoebe Walter-Bridge serta sang sutradara, Cary Joji Fukunaga, sekilas tiada perubahan signifikan antara film ini dengan Skyfall (2012) dan Spectre (2015), selaku kombinasi formula klasik dan modern serinya. Antagonis dengan rencana merusak tatanan dunia; petualangan di berbagai negara, alat canggih ciptaan Q (Ben Whishaw); M (Ralph Fiennes) dan Moneypenny (Naomie Harris) yang tak lagi hanya duduk di belakang meja; dan lain-lain.

Serupa. Tapi, tidak sama. Konflik maupun motivasi karakter, bermuara pada gejolak batin si agen rahasia, ketimbang berdiri sendiri sebagai plot device, menegaskan bahwa film-film Craig merupakan character-driven. Konklusinya mungkin memecah opini penggemar, namun jelas pantas menutup cerita tentang individu yang berusaha memaafkan diri sendiri, sambil belajar cara mencintai. Setelah hampir enam dekade, Bond akhirnya berubah total, dari playboy yang rutin berganti wanita, menjadi pria yang meneteskan air mata sembari tersenyum karena cinta.

Sebagaimana Casino Royale, kelayakan Craig menyabet nominasi Oscar kembali diutarakan banyak kritikus. Tentu peluangnya amat kecil, namun poin utamanya bukan soal berhasil meraih penghargaan atau tidak, tetapi bagaimana Craig memanusiakan Bond, menjadikannya lebih dari sekadar ikon keren, melainkan sosok yang perasaannya bisa penonton pahami. 

Jajaran bond girls pun terus berevolusi, naik kelas, bukan cuma pemanis semata. Léa Seydoux bakal mencatatkan namanya di buku sejarah James Bond karena alasan yang tidak bisa saya sebut demi menghindari spoiler. Pastinya, meneruskan jejak Vesper, Madeleine berkontribusi menambah bobot emosi penceritaan. Sedangkan Ana de Armas sebagai Paloma si agen CIA, meski cuma muncul sejenak, turut membawa angin segar. Dia canggung, playful, tapi begitu mengangkat senjata, jelas bahwa masa di mana bond girls adalah damsel in distress yang selalu butuh ditolong, telah berakhir. Paloma is the first bond girl that deserves a spin-off. 

Bond yang lebih manusiawi, gadis-gadisnya yang makin modern, semua menyangkut relevansi. Mungkin itu juga, kenapa bagi saya, amunisi Safin lebih mengerikan dari kebanyakan musuh Bond. Senjata biologis yang menyasar target secara spesifik melalui DNA, pun bisa menyebar hanya lewat satu sentuhan layaknya virus mematikan. Bagaimana jika kita menularkan virus itu ke tubuh orang terdekat? Teror Safin memainkan salah satu rasa takut terbesar manusia, yaitu terpisahkan dari orang-orang tercinta. Bakal berbeda jika dipakai lima tahun lalu, tapi sekarang, senjata tersebut jadi lebih nyata, dan memunculkan ketidakberdayaan yang terasa sangat dekat.

Berkatnya, Safin naik kelas. Malek memang tampil cukup baik, dengan ekspresi serta cara bicara dingin, yang membuatnya tampak tak manusawi (berlawanan dengan Bond). Tapi ganti terornya, semisal dengan alat pengendali nuklir, ditambah eksplorasi latar belakang setengah matang, maka ia tak ubahnya antagonis megalomania lain yang sudah sering jagoan kita hadapi. 

No Time to Die bukannya tanpa kelemahan. Durasi 163 menitnya (film 007 terpanjang) sulit dijustifikasi. Mengulangi kekurangan Spectre, banyak momen berjalan terlalu panjang (mayoritas berupa eksposisi), pula minim upaya menjadikannya menarik. Bandingkan dengan Casino Royale. Second act-nya didominasi permainan poker, yang secara cerdik, disulap jadi alat pembangun dinamika antara Bond dengan antagonis dan tokoh-tokoh pendukung lain. Satu peristiwa yang terdengar membosankan, rupanya menyimpan banyak fungsi.

Cukup melelahkan, setidaknya sampai adegan aksi mengisi layar. Melalui sekuen pembuka yang meminjam elemen home invasion horror dan baku tembak di tengah hutan berkabut, Fukunaga membawa Bond ke ranah lebih atmosferik, di samping aksi bombastis khas franchise-nya (dan satu sekuen long take). Solid, meski belum seintens Casino Royale, belum pula menandingi pencapaian artistik Skyfall. Begitu pun keseluruhan filmnya. Walau bukan judul terbaik dalam era Craig, No Time to Die merupakan perpisahan yang pantas. James Bond akhirnya berproses, berkembang, dan "merasakan".