PHILOMENA (2013)

Tidak ada komentar
Film ke-21 dari sutradara Stephen Frears yang dulu sempat mempersembahkan komedi romantis klasik berjudul High Fidelity ini berhasil meraih begitu banyak nominasi dan penghargaan. Empat nominasi Oscar termasuk Best Picture, empat nominasi juga di BAFTA kali ini dengan kemenangan di kategori Best Adapted Screnplay untuk naskah yang ditulis Steve Coogan dan Jeff Pope, sampai kesuksesan besar di Venice Film Festival dengan 9 piala ternasuk naskah terbaik menjadikan Philomena menjadi salah satu film terbaik dari Britania Raya tahun 2013 lalu. Dengan mengandalkan dua aktor besar dari Inggris sebagai pemeran utama yakni Steve Coogan (sekaligus penulis naskah) dan Judi Dench sang aktris senior, Philomena sendiri adalah sebuah film yang diangkat dari kisah nyata dari seorang wanita bernama Philomena Lee dalam usahanya mencari puteranya yang telah terpisah darinya selama 50 tahun. Kisah tersebut kemudian dituliskan kedalam sebuah buku berjudul The Lost Child of Philomena Lee oleh wartawan BBC bernama Martin Sixsmith. Naskah yang ditulis oleh Coogan dan Pope sendiri merupakan adaptasi dari buku tersebut dengan sedikit penambahan sebagai bumbu.

Philomena akan memperkenalkan kita langsung pada kedua karakter utamanya, Martin (Steve Coogan) dan Philomena sendiri (Judi Dench). Martin adalah mantan wartawan BBC yang baru saja kehilangan pekerjaannya sebagai penasihat pemerintahan dan kini sedang berniat untuk menulis buku tentang sejarah Russia. Tapi segala rencananya tersebut berubah saat takdir mempertemukannya dengan Philomena Lee, seorang wanita tua penganut Katolik yang taat dari Irlandia. Philomena sendiri baru saja membuka rahasia besar yang selama ini telah ia simpan rapat-rapat selama 50 tahun kepada puterinya. Selama ini Philomena ternyata mempunyai seorang putera yang ia dapat dari sebuah hubungan "terlarang". Karena merasa hal itu adalah sebuah aib, sang ayah pun mengirim Philomena ke sebuah ruah penampungan yang diurus oleh para Suster. Disana Philomena bekerja sebagai tukang cuci dan selalu dibatasi dan dipersulit untuk bertemu dengan puteranya yang masih balita. Tidak hanya Philomena, karena ada banyak ibu-ibu muda lain yang harus bekerja disana sementara anak-anak mereka dijauhkan dan dirawat oleh para suster, menunggu kedatangan orang kaya untuk membeli anak-anak tersebut. Berawal dari pengakuan rahasia inilah perjalanan Philomena bersama Martin untuk mencari puteranya yang hilang dimulai.
Saya menonton film ini tanpa tahu apapun mengenai latar belakang kisahnya. Saya tidak tahu siapa itu Philomena (bahkan saya tidak tahu kalau judul filmnya adalah nama karakter utamanya) dan saya juga tidak tahu kasus macam apa yang menimpanya. Pada awalnya saya pun sempat mengira bahwa Philomena akan menjadi sebuah drama yang berjalan lambat dan sedikit membosankan karena banyak diisi interaksi dua karakter utaanya yang salah satunya sudah berusia diatas 80 tahun. Tapi semuanya berubah dan jadi semakin menarik disaat topik yang bersinggungan dengan agama mulai merangsek masuk. Film ini menarik perhatian saya saat mulai mengangkat kontroversi yang terjadi diantara para suster itu. Saya pribadi termasuk orang yang amat membenci orang-orang bermoral bejat yang mengatas namakan agama dalam aksi mereka dan bertingkah sok suci dengan membenarkan segala perbuatan mereka dengan alasan menegakkan agama. Ya, secara personal saya sanagt membenci orang-orang busuk seperti itu. Dalam film ini kita akan melihat para suster yang sekilas benar-benar taat pada ajaran Katolik tapi mereka justru melakukan hal yang sama dengan perbudakan bahkan jual beli anak di bawah umur. Dengan isu yang diangkat itu, film ini sukse membuat saya geram dan bersumpah serapah atas segala perbuatan busuk yang ada. Tapi meskipun menjadikan Katolik dan para suster sebagai sorotan utama, Philomena  tetap terasa universal karena di agama-agama lain pun saya menjumpai isu yang serupa.
Banyak kritikus dan pihak-pihak lain yang mengkritisi film ini karena dianggap anti-Katolik, tapi saya sendiri tidak setuju. Bagi saya ini lebih kepada teriakan penuh amarah yang juga ingin saya keluarkan terhadap penyalah gunaan agama disertai dengan pertanyaan-pertanyaan kritis dan nakal yang tersurat dalam beberapa dialognya tentang ajaran agama dan Tuhan itu sendiri. Tapi saya tidak pernah merasa film ini anti terhadap agama. Buktinya ada di sosok Philomena itu sendiri. Dari awal sampai akhir kita diperlihatkan pada Philomena yang polos dan begitu taat pada ajaran agama.Sedangkan Martin adalah sosok yang berlawanan, yaitu seorang pria yang bicara semaunya dan kurang simpati dan tidak percaya pada agama maupun Tuhan. Jika film ini anti-Katolik mudah saja membuat sosok Martin sebagai sosok yang "benar" dan Philomena adalah orang "bodoh" karena ketaatan yang ia tunjukkan. Tapi itu sama sekali tidak terlihat. Yang ada justru interaksi menarik antara dua sosok yang bertolak belakang tersebut. Kita akan melihat bagaimana keduanya perlahan saling mengisi dan belajar banyak dari perbedaan yang melahirkan perspektif baru itu. Interaksi antara mereka berdua pun diisi oleh berbagai selipan komedi menggelitik yang mampu menyegarkan suasana ditengah kisah dramatis nan mengharukan ini.

Philomena juga berhasil menjadi sebuah film yang begitu emsional. Tidak hanya bisa menghadirkan momen mengharukan lengkap dengan iringan musik melankolis, film ini berhasil melakukan yang lebih dengan menaik turunkan emosi saya. Rasa haru, marah hingga senang muncul secara bergantian dengan begitu cepat. Selain itu bagi orang-orang seperti saya yang tidak tahu menahu tentang kasusnya sebelum menonton film ini akan ada "bonus" berupa sebuah twist yang tak terduga dan begitu mengharukan. Semuanya juga ditunjang oleh akting memukai serta chemistry kuat dari Judi Dench dan Steve Coogan. Hampir menginjak 80 tahun ternyata tidak membuat Judi Dench kehilangan kemampuannya dalam mneghadirkan emosi-emosi yang begitu kuat meski hanya lewat ekspresi atau dialog yang sederhana Sedangkan Steve Coogan berhasil mengesampingkan sisi komedinya dan berhasil menjadi sosok Martin yang anti terhadap hal-hal berbau agama dan berlidah tajam tanpa perlu terasa menyebalkan. Dari sosok Martin pula film ini sedikit mengangkat keburukan dari para pemburu berita yang seringkali tidak memperhatikan perasaan dari narasumber yang ada dan hanya memikirkan berita yang ia kejar. Hal itu pun makin memeprkaya cerita dari Philomena dan makin mengukuhkan film ini sebagai sebuah film yang begitu kuat baik dari aspek cerita maupun emosi yang dibangun. Semuanya tersaji dengan begitu baik lengkap dengan pemandnagan indah Irlandia yang menyejukkan.

Tidak ada komentar :

Comment Page: