PETAK UMPET MINAKO (2017)

12 komentar
Hitori Kakurenbo. Mendengar namanya saja bulu kuduk langsung berdiri. Banyak permainan mistis lain, termasuk Jailangkung di Indonesia, tapi permainan terkutuk asal Jepang ini paling sempurna mendefinisikan kata "horor". Sejak kecil saya menganggap petak umpet punya ketegangan di tingkat berbeda karena perasaan tidak berdaya sebagai target yang hanya bisa bersembunyi. Tambahkan kegelapan lokasi, kesendirian, makhluk halus, dan kematian sebagai harga kekalahan, lengkap sudah ketakutan mendasar manusia. Menarik garis kultural, dalam konteks film, ciri serupa pun jadi khas J-Horror yang mengandalkan atmosfer. 

Petak Umpet Minako karya sutradara/penulis naskah Billy Christian (Rumah Malaikat, Tuyul Part 1) mengetengahkan reuni SMA yang berujung mencekam tatkala Vindha (Regina Rengganis), mengajak teman-temannya kembali ke sekolah lama untuk bermain hitori kakurenbo. Tujuannya tak lain membalas bullying yang ia terima dahulu, modal cerita sekaligus penokohan kuat yang gagal Billy perdalam, berakhir di permukaan. Memakai boneka Minako milik Vindha selaku perantara, ejekan ketidakpercayaan berubah jadi teriakan ketika Minako sungguh-sungguh "hidup", membantai mereka satu per satu. 
Keengganan Billy mengumbar jump scare (kelemahan terbesar Rumah Malaikat) patut diapresiasi. Dibiarkannya alur mengalir tanpa diganggu penampakan murahan lima menit sekali. Berkatnya, Minako terjaga sebagai sosok mistik misterius yang kemunculannya berarti. Sayangnya amunisi alternatif urung disiapkan, sebutlah atmosfer mencekam yang membuat video hitori kakurenbo   meski keasliannya diragukan  viral beberapa tahun lalu. Video itu berhasil karena penekanan rasa klaustrofobik hasil ketakutan seseorang yang terjebak sendirian di tengah kesunyian. Sedangkan Petak Umpet Minako, meski karakternya terkurung di sekolah, dapat berlari ke area lain yang cukup luas, banyak alternatif persembunyian, serta beberapa teman. Di semua unsur, filmnya lebih besar pula ramai dibanding permainan yang jadi sumber inspirasi, dan itu menurunkan kengerian secara drastis.

Petak Umpet Minako mengandung potensi terkait gaya horor Jepang, juga detail permainannya. Ketiadaan atmosfer pekat jelas menanggalkan nuansa J-Horror, dan Billy sepertinya memang enggan bereksplorasi ke sana, sehingga walau meminimalisir jump scare, sisi generik masih menyelimuti. Ditambah "gore malu-malu" yang sekedar disiratkan melalui percikan darah, filmnya semakin kekurangan taji. Turut sirna harapan digiring menelusuri hitori kakurenbo. Ketimbang menebar misteri di penjuru durasi guna memancing pertanyaan pemicu ketertarikan, kita justru diberi paparan ringkas berbentuk eksposisi malas, bagai sekedar memindahkan materi riset dari internet ke buku harian Vindha, yang kemudian dibacakan oleh Baron (Miller Khan) selaku informasi ala kadarnya bagi penonton.
Tanpa sentuhan-sentuhan di atas, Petak Umpet Minako hanya menyisakan usaha tokoh-tokohnya melarikan diri, itu pun nihil ketegangan akibat tidak adanya alasan peduli pada mereka. Vindha si korban bully, Randy (Nicky Tirta) yang menyimpan rahasia, Gaby (Wendy Wilson) yang dikuasai trauma, Mami (Natasha Gott) si penindas, Destra (Gandhi Fernando) si pengikut Mami yang tak kalah "kejam", semua pion dua dimensi belaka. Miller Khan sebagai Baron, kekasih Gaby, bisa menjadi protagonis mumpuni andai perawakan "menjual" miliknya diimbangi akting dan penokohan kuat. Usaha mendekatkan penonton dengan karakter lewat obrolan (terlalu) panjang, alih-alih membangun momen personal justru membosankan, dipicu dangkalnya karakterisasi dan penulisan dialog. Apalagi banyak konten pembicaraan sejatinya tak perlu. Petak Umpet Minako terlampau mengandalkan eksposisi verbal.

Kental aspek kultural Jepang, film ini mestinya sanggup menjadi pembeda, angin segar di tengah semarak horor yang kembali menancapkan kuku di industri perfilman tanah air namun hanya segelintir punya kualitas baik (sejauh ini baru The Doll 2). Apa daya, unsur kultural tersebut berujung sampul luar semata. Unlike most of our horror movies this year, 'Petak Umpet Minako' doesn't rely on excessive, annoying jump scare, yet lacks of the scare itself, also short on thrills. Sangat disayangkan mengingat setumpuk modalnya, termasuk Minako yang sesungguhnya amat potensial jadi sosok ikonik.

12 komentar :

Comment Page:
Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

modal bagus ada, tapi setelah lihat trailer nya langsung males

agoesinema mengatakan...

Ada rencana mereview Jembatan Pensil bang?

Eko Yudianto mengatakan...

Nunggu Pengabdi Setan aja dah

Anonim mengatakan...

review the big sick dong

Rasyidharry mengatakan...

Adegan Minako keluar di akhir trailer itu lumayan serem, di filmnya ambles

Rasyidharry mengatakan...

Lewat yang satu itu :D

Rasyidharry mengatakan...

Yeah, tinggal itu harapannya. Masih agak ragu sama Ruqyah

Rasyidharry mengatakan...

Sudah masuk daftar tunggu kok :)

agoesinema mengatakan...

Liat trailernya sih menarik. Tp ragu utk nonton di bioskop.

Unknown mengatakan...

Ruqyah agak kayak film munafik gak sih menurut mas?

Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

perasaan saya sih iyak mirip, ya mengikuti suksesor sebelumnya exorcism sama munafik.
entah perasaan saya aja juga, jose poernama banyak film horrornya akhir akhir ini

Rasyidharry mengatakan...

Intinya sih pakai pakem "Agama vs Setan" lewat exorcism yang dibuat populer sama The Exorcist dulu.
Jose kan memang khasnya horor, cuma 4 dari 18 filmnya yang bukan