REVIEW - THE FIRST OMEN
"Mereka menginginkan anak laki-laki", ucap karakter The First Omen saat menjelaskan modus operandi orang-orang yang hendak membangkitkan antichrist. Mengingat status film ini sebagai prekuel The Omen (1976), mudah berasumsi bahwa kalimat di atas sebatas referensi terkait Damien Thorn.
Tapi ternyata para pembuatnya punya gagasan lain, dengan memakai pernyataan tersebut untuk membuka rute baru bagi franchise-nya. Sebuah kisah mengenai perempuan, yang oleh masyarakat dianggap cuma berfungsi sebagai tempat mengandung. Sekadar batu loncatan yang memuluskan jalan laki-laki menuju kekuasaan.
Persoalan tersebut baru nampak begitu kisahnya tuntas. Sedangkan selama hampir dua jam sebelumnya, The First Omen enggan terdistraksi oleh pesan-pesan maupun komentar sosial. Filmnya cuma mengusung satu misi, yakni melahirkan horor penuh rasa tidak nyaman, dan ia berhasil.
Margaret (Nell Tiger Free) adalah gadis Amerika yang dikirim ke Roma untuk memulai pengabdian kepada gereja dengan bekerja di suatu panti asuhan. Tidak butuh waktu lama bagi Margaret untuk merasa terganggu oleh cara para suster mendisiplinkan anak-anak di sana, terutama Carlita (Nicole Sorace) yang dianggap biang masalah sehingga kerap dikurung di kamar sempit.
Lalu terjadilah pertemuan dengan pendeta bernama Brennan (Ralph Ineson), yang mewanti-wanti Margaret soal konspirasi gereja radikal untuk membangkitkan antichrist. Tujuannya adalah menebar ketakutan di jiwa orang-orang, yang di masa itu (filmnya berlatar tahun 70-an) dirasa tak lagi memercayai agama, dengan harapan mereka bakal kembali ke gereja.
Biarpun tersirat, perspektif yang dibawa naskah buatan sang sutradara, Arkasha Stevenson, bersama Tim Smith dan Keith Thomas, tidak sukar untuk dibaca: agama tidak seharusnya bersikap anti terhadap gerakan-gerakan progresif hingga membungkam kebebasan bicara, dan tentunya, bukan menjual ketakutan semata. Jika terjadi hal-hal demikian, maka radikalisme telah mengakar kuat.
Terkait bagaimana pesannya dibungkus, Stevenson kentara banyak terpengaruh oleh karya-karya sineas Eropa. The First Omen memang cenderung menjauh dari formula horor arus utama Hollywood. Filmnya bukan pertarungan generik antara hitam melawan putih. Ketimbang pertunjukan soal upaya kebaikan menghapus kebatilan, rasanya seperti tengah menyaksikan proses yang mustahil dihindari tatkala keburukan menelan kebaikan hingga nyaris tak bersisa.
Alhasil muncul perasaan tidak nyaman yang senantiasa mencengkeram. Teknik pewarnaan serta pilihan tata kamera ala horor lawas (minus tata suara yang tidak lagi mono), keberhasilan Mark Korven menggarap ulang musik gubahan Jerry Goldsmith termasuk nomor legendaris Ave Satani, sampai deretan kematiannya berjasa menguatkan ketidaknyamanan tersebut.
Cara sang sutradara mencabut nyawa karakter (yang masing-masing merupakan tribute terhadap deretan kematian di film orisinal) bukan sekadar fokus pada "seberapa sadis". Bukan pula pada daya kejut. Sebaliknya, penonton diberi waktu untuk menyadari bahwa seorang karakter bakal tewas. Antisipasi itulah yang memancing perasaan tak nyaman. Perasaan saat kita tahu hal buruk akan segera menghampiri, tanpa tahu kapan pastinya, serta bagaimana hal itu datang.
Seperti telah disinggung sebelumnya, The First Omen banyak terinspirasi oleh horor Eropa. Salah satunya adalah Possession (1981). Film ini memberi penghormatan untuk karya Andrzej Żuławski tersebut, khususnya dalam sebuah adegan yang memberi kesempatan pada Nell Tiger Free memamerkan totalitas aktingnya yang bagaikan tengah kerasukan Isabelle Adjani. Dialah mesin penggerak dalam upaya The First Omen membangun wajah baru yang lebih relevan untuk franchise-nya.
25 komentar :
Comment Page:ini bukan hollywood, ini slowburn khas gaya itali eropa
busyet dah, ML sama Binatang...WoW
dikira film recehan, ternyata FILM DISTURBING BANGET CUY
nggak bisa nafas gue nonton
peringatan bagi ibu hamil, lansia dan jantungan jangan menonton film ini
gilm penistaan agama
pelecehan aseksual ini omen
homo lagi homo lagi
serem njirrrr
komedi terbaik the first omen
beda kalau garapan film ala hollywood dengan ala eropa style
dark scene never ever made it
terlalu komedi dark, gue beri skor 9/10
agama bisa di permainkan se enak udel, duh kalau made in indonesia pasti nggak lolos sensor
bisa ya bikin film sebagus ini, memuaskan
fetish extrem
gaya seksual yang menyakitkan
film triple XXX porno berat
tidak cocok untuk di tonton manula, ibu hamil menyusui, dan jantungan serta para bocil jangan diajak nonton oleh ortu ke bioskop
trigger nya bikin nafsu nafas tersendat
film kelas wahid
lesbian drama
bubur ayam ini film
konak kocak komedi 2024
Film Jelek Banget
Posting Komentar