REVIEW - THE FIRST OMEN

25 komentar

"Mereka menginginkan anak laki-laki", ucap karakter The First Omen saat menjelaskan modus operandi orang-orang yang hendak membangkitkan antichrist. Mengingat status film ini sebagai prekuel The Omen (1976), mudah berasumsi bahwa kalimat di atas sebatas referensi terkait Damien Thorn. 

Tapi ternyata para pembuatnya punya gagasan lain, dengan memakai pernyataan tersebut untuk membuka rute baru bagi franchise-nya. Sebuah kisah mengenai perempuan, yang oleh masyarakat dianggap cuma berfungsi sebagai tempat mengandung. Sekadar batu loncatan yang memuluskan jalan laki-laki menuju kekuasaan. 

Persoalan tersebut baru nampak begitu kisahnya tuntas. Sedangkan selama hampir dua jam sebelumnya, The First Omen enggan terdistraksi oleh pesan-pesan maupun komentar sosial. Filmnya cuma mengusung satu misi, yakni melahirkan horor penuh rasa tidak nyaman, dan ia berhasil.

Margaret (Nell Tiger Free) adalah gadis Amerika yang dikirim ke Roma untuk memulai pengabdian kepada gereja dengan bekerja di suatu panti asuhan. Tidak butuh waktu lama bagi Margaret untuk merasa terganggu oleh cara para suster mendisiplinkan anak-anak di sana, terutama Carlita (Nicole Sorace) yang dianggap biang masalah sehingga kerap dikurung di kamar sempit. 

Lalu terjadilah pertemuan dengan pendeta bernama Brennan (Ralph Ineson), yang mewanti-wanti Margaret soal konspirasi gereja radikal untuk membangkitkan antichrist. Tujuannya adalah menebar ketakutan di jiwa orang-orang, yang di masa itu (filmnya berlatar tahun 70-an) dirasa tak lagi memercayai agama, dengan harapan mereka bakal kembali ke gereja. 

Biarpun tersirat, perspektif yang dibawa naskah buatan sang sutradara, Arkasha Stevenson, bersama Tim Smith dan Keith Thomas, tidak sukar untuk dibaca: agama tidak seharusnya bersikap anti terhadap gerakan-gerakan progresif hingga membungkam kebebasan bicara, dan tentunya, bukan menjual ketakutan semata. Jika terjadi hal-hal demikian, maka radikalisme telah mengakar kuat. 

Terkait bagaimana pesannya dibungkus, Stevenson kentara banyak terpengaruh oleh karya-karya sineas Eropa. The First Omen memang cenderung menjauh dari formula horor arus utama Hollywood. Filmnya bukan pertarungan generik antara hitam melawan putih. Ketimbang pertunjukan soal upaya kebaikan menghapus kebatilan, rasanya seperti tengah menyaksikan proses yang mustahil dihindari tatkala keburukan menelan kebaikan hingga nyaris tak bersisa. 

Alhasil muncul perasaan tidak nyaman yang senantiasa mencengkeram. Teknik pewarnaan serta pilihan tata kamera ala horor lawas (minus tata suara yang tidak lagi mono), keberhasilan Mark Korven menggarap ulang musik gubahan Jerry Goldsmith termasuk nomor legendaris Ave Satani, sampai deretan kematiannya berjasa menguatkan ketidaknyamanan tersebut. 

Cara sang sutradara mencabut nyawa karakter (yang masing-masing merupakan tribute terhadap deretan kematian di film orisinal) bukan sekadar fokus pada "seberapa sadis". Bukan pula pada daya kejut. Sebaliknya, penonton diberi waktu untuk menyadari bahwa seorang karakter bakal tewas. Antisipasi itulah yang memancing perasaan tak nyaman. Perasaan saat kita tahu hal buruk akan segera menghampiri, tanpa tahu kapan pastinya, serta bagaimana hal itu datang. 

Seperti telah disinggung sebelumnya, The First Omen banyak terinspirasi oleh horor Eropa. Salah satunya adalah Possession (1981). Film ini memberi penghormatan untuk karya Andrzej Å»uÅ‚awski tersebut, khususnya dalam sebuah adegan yang memberi kesempatan pada Nell Tiger Free memamerkan totalitas aktingnya yang bagaikan tengah kerasukan Isabelle Adjani. Dialah mesin penggerak dalam upaya The First Omen membangun wajah baru yang lebih relevan untuk franchise-nya.

25 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

ini bukan hollywood, ini slowburn khas gaya itali eropa

Anonim mengatakan...

busyet dah, ML sama Binatang...WoW

Anonim mengatakan...

dikira film recehan, ternyata FILM DISTURBING BANGET CUY

Anonim mengatakan...

nggak bisa nafas gue nonton

Anonim mengatakan...

peringatan bagi ibu hamil, lansia dan jantungan jangan menonton film ini

Anonim mengatakan...

gilm penistaan agama

Anonim mengatakan...

pelecehan aseksual ini omen

Anonim mengatakan...

homo lagi homo lagi

Anonim mengatakan...

serem njirrrr

Anonim mengatakan...

komedi terbaik the first omen

Anonim mengatakan...

beda kalau garapan film ala hollywood dengan ala eropa style

Anonim mengatakan...

dark scene never ever made it

Anonim mengatakan...

terlalu komedi dark, gue beri skor 9/10

Anonim mengatakan...

agama bisa di permainkan se enak udel, duh kalau made in indonesia pasti nggak lolos sensor

Anonim mengatakan...

bisa ya bikin film sebagus ini, memuaskan

Anonim mengatakan...

fetish extrem

Anonim mengatakan...

gaya seksual yang menyakitkan

Anonim mengatakan...

film triple XXX porno berat

Anonim mengatakan...

tidak cocok untuk di tonton manula, ibu hamil menyusui, dan jantungan serta para bocil jangan diajak nonton oleh ortu ke bioskop

Anonim mengatakan...

trigger nya bikin nafsu nafas tersendat

Anonim mengatakan...

film kelas wahid

Anonim mengatakan...

lesbian drama

Anonim mengatakan...

bubur ayam ini film

Anonim mengatakan...

konak kocak komedi 2024

Anonim mengatakan...

Film Jelek Banget